Safira : Ar, makasi ya. Mas tato bilang kalian makan siang bareng.
Me : Masama. Sebenernya gw bingung fir.
Safira : Bingung kenapa?
Me : Gilang lu tolak, Anka malah lu perjuangin.
Safira : Nanti kamu tahu, kalau sudah merasakan cinta Ar.
Me : preett
Safira : Greg nya dikasih status lah
Me : udah. FWB!
Safira : Buka hati kamu Ar, biar cinta menemukan jalannya.
Apasih? Alay nih Fira.
Ariana mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk membalas pesan-pesan, Greg sedang memandanginya.
Glek!
Ia menelan ludah pelan, senyum pria itu mengembang.
"Pesan apa?" Tanyanya, jarinya mendorong menu di atas meja.
Buka hati? Pada Greg?
Ariana akui, pria berambut coklat itu menarik. Lebih dari menarik. Greg tampan, baik, sabar, selalu mengalah dan yang terpenting Greg setia. Meski tanpa ikatan apapun, Greg tidak pernah berpaling darinya.
Tapi sampai kapan ia setia? Pria dan segala rasa bosannya. Ariana membuang lagi pikiran soal membuka hati dan sebagainya. Begini saja cukup, batinnya mengangguk mantap.
Kecupan-kecupan kecil di sepanjang tengkuknya membangunkan Ariana, desah napas berat seorang pria berhembus di sana. Dia menautkan jari-jarinya pada pria itu, Greg tertawa kecil, menggigit daun telinganya.
"I miss you." Greg berucap tiba-tiba.
"Dari kemarin kamu kan nginep di sini, G." Ariana mengelus lengan berotot Greg.
"Entahlah, rindu yang aneh."
Ariana memutar kepalanya, melihat ke arah Greg, menaikkan satu alisnya.
"Pernah enggak kamu rindu seseorang yang justru ada di depan mata?"
"Enggak ngerti."
Greg menyelipkan rambut Ariana yang lolos terjuntai, "seperti rindu sosok yang lama, sedangkan yang di depan mata itu sosok yang baru."
"Aku?" Ariana menunjuk dadanya, "baru?"
Greg tertawa, "kamu sedang ada problem ya? Sensitif banget."
"Enggak ah." Ariana menggeleng mantap.
"Seminggu ini, kamu berbeda, Babe. Enggak sehangat biasanya." Ariana duduk.
"Lebih jelas lagi coba?"
"Entah, aku merasa ada yang beda dari kamu sejak aku tanyakan status kita."
Ariana memejamkan mata dan memijat pelipisnya, mesti banget diungkit lagi ya?
"Kamu nyaman enggak kayak gini?"
Ariana melemparkan pertanyaan, Greg bangkit duduk menyamakan posisinya.
"Sangat. Yang aku ingin, kejelasan bahwa kamu kepunyaan aku."
"Greg, aku manusia bukan benda. Aku enggak suka istilah kepemilikan kayak gitu."
Greg mengangkat kedua alisnya, terkejut.
"Tapi harus."
"Kenapa harus?"
"Jaminannya apa kalau kamu akan bertahan hanya denganku?"
"Apa kamu pernah lihat aku bawa pria lain ke dalam sini selama kita menjalani ini?"
"Memang enggak pernah."
"Yasudah!" Jawab Ariana, final.
Greg tahu, gadis ini tidak bisa didebat. Apapun keputusannya.
"Kalau saya yang begitu?" Tanya Greg lagi, hati-hati.
"Terserah! Tapi aku enggak mau kena penyakit apapun yang berpotensi kamu bawa!" Ariana beranjak dari tempat tidur.
"Babe." Greg menghela napas. Lelah.
"Aku sudah katakan di awal, s*x only, no feeling involved. Jika kamu mau, kita lanjutkan. Kalau keberatan, silakan. Cari perempuan lain yang mau kamu ikat!" Tegas Ariana, ditinggalkannya Greg yang sedang berkecamuk dengan batinnya sendiri.
Greg menyukai Ariana, lebih dari itu, Greg mencintainya. Ingin menjalani hubungan dengan tujuan yang jelas. Tidak mesti menikah, tapi setidaknya mereka punya keterikatan secara emosional. Punya status yang bisa menjaga satu sama lain untuk tetap bertahan. Alasan untuk saling memperjuangkan. Tapi sepertinya ia telah kalah, Ariana benar-benar keras kepala soal ini. Keputusannya bulat, jatuh cinta tidak pernah jadi tujuan dalam hidup gadis berwatak Alpha itu.
***
Greg memutuskan pergi, mengalah pada prinsip Ariana yang tidak mau diubahnya. Tidak ada rencana ingin bertemu siapa-siapa, Ariana memilih membereskan kamar. Membuang segala sesuatu yang ada Greg di dalamnya. Jauh di lubuk hati gadis itu, tidak tega juga.
Tapi Ariana sudah bersikeras, bahwa ia tidak akan terikat dengan apapun, tidak akan menikah dengan siapapun. Bisa saja, bermula dari hubungan asmara, Greg meminta yang lebih jauh. Ariana tidak mau itu terjadi, tidak akan.
Ponselnya bergetar.
Safira : Ar, ayah mas tato sudah pulang. Kamu enggak mau jenguk?
Me : Baru tahu, iya nanti aku ajak teman2 kantor. Kamu jenguk juga?
Safira : Aku segan klo sendiri, bareng ya.
Me : oke
***
GFC Squad
Me : Pak Gito udah di rumah gaes, mau jenguk kapan?
Dena GFC : Serius? Alhamdulillah, yuk sekarang. Dena lg di rumah. Gk kmna2
Benni GFC : Jomblo mau kemana emang Den?
Dena GFC : Ih koko
Melani GFC : Boleh, nanti sore ya
Kevin GFC : Yah gw mau nonton nih, guardian galaxy
Benni GFC : Nonton sendiri aja Vin, udah besok aja sama gw
Kevin GFC : Ar, nonton yuk?
Melani GFC : Gasss terooosss epin
Me : Ayok, pulangnya aja.
Kevin GFC : Serius?
Me : mau enggak? Klw enggak yaudah enggak jdi
Kevin GFC : mau mau mau, oke baiklah
Dena GFC : Ikut
Me : Ikut aja semua, Benni yg bayar
Benni GFC : Eh kampret kenapa jadi gw
Me : hahahaa
Melani GFC : Gw bawa laki ya
Dena GFC : Hahahaha
Me : Yaudah jam 4 yah ketemu di apt gw aja, sekalian jemput
Kevin GFC : Siap!
Benni GFC : Oke
Dena GFC : Aku tunggu di CK deket rumah aja ya, kan lewat
Me : oke
Melani GFC : baiklah
***
Me : Jam 4 mau?
Safira : boleh, Fira wa mas tato ya minta alamat lengkapnya
Me : Kevin tw kok, temenku
Safira : oke
Ariana menelpon mamanya, dari kemarin mama belum menghubungi dia. Biasanya repot banget ngajak nonton atau makan di luar.
"Halo, Yang? Mama lagi meeting sama klien, nanti lagi deh ya?"
"Hhm iya, jangan lupa makan Mamah." Seru Ariana.
Tok...tok...tok...
Ariana bergegas membuka pintu, dan kaget mendapati Anka yang berdiri di sana.
"Lho Pak? Kirain di rumah."
"Ini mau pulang, saya mau jemput Safira. Kamu ikut ya?"
Ha? Apa-apaan ini.
"Kamu kan tahu, Safira enggan berduaan dalam mobil."
Damn! Ariana mengutuk situasinya dengan Anka dan Safira. Andai saja dia tidak tahu hubungan mereka, andai saja Safira tidak kaku – kaku amat mengenai hal ini, dan anda saja – anda saja yang lain.
"Tapi saya masih repot, lagian sudah janjian sama yang lain jam 4 ke rumah Bapak."
Anka tampak berpikir, "yaudah, Safira suruh kesini aja ya? Gimana?"
"Ya terserah!" Jawab Ariana, mempersilahkan pria itu masuk.
Anka tampak mengetik sesuatu di ponsel, Ariana menunjuk kursi, mengajaknya duduk.
"Oke, dia mau kesini." Anka mengangkat kepalanya, disambut anggukan enggan Ariana.
Trus? Tunggu di kamar lu aja keles.
Anka tampak enggan pergi, diedarkan pandangannya ke seluruh kamar Ariana.
"Sendiri? Greg mana?" Tanyanya, mata polos Anka yang teduh terasa menusuk mata Ariana.
Ya ampun, Ar. Dia cuma nanya Greg.
"Pulang." Sahut Ariana, beranjak mengambil minum untuk bos tampan yang sedang menatap punggungnya.
"Makasi." Anka mengambil minuman yang disodorkan Ariana. "Saya kira kalian tinggal bersama di sini." Lanjutnya lagi.
"Oh enggak, dia dapat fasilitas apartemen. Lebih dekat ke kantor."
"What happen?" Anka meletakkan kaleng minuman di atas meja, kakinya disilangkan dengan anggun.
Ya ampun, kenapa pria-pria ini peka banget sih sekarang. Apa mereka bosan dibilang tidak peka terus ya?
Hanya Anka pria putih, tinggi dan tampan yang bisa terlihat seanggun sekaligus se-seksi model celana dalam saat duduk dan menatap mata lawan jenisnya seperti itu.
Tanpa sadar, Ariana mengerjap. Kagum.
"Enggak ada, he wants more. I dont want."
"Why?"
"Apa yang kenapa?"
"Kenapa kamu enggak ingin lebih?"
"Kayaknya saya enggak bisa sharing ini sama bos deh." Ariana tertawa canggung.
"Sebagai teman?"
"Kita enggak sedekat itu untuk bahas hal ini."
"Anggap saja kita sedang diskusi, bertukar pikiran."
"Fine! Karena saya enggak mau terikat."
"Status itu mengikat, menurut kamu?"
"Kurang lebih."
"Kamu bisa hidup sendiri, selamanya?"
Ariana menghembuskan napas.
"Saya tahu, kalau saya makhluk sosial. Saya butuh orang, sometimes. Tapi teman, mama, itu cukup."
"Apa selamanya mereka siap kapanpun kamu ada?"
"Bapak akan surprise melihat bagaimana mama saya akan datang jam 2 pagi jika tahu anaknya demam karena flu."
Anka tertawa dan itu seksi.
"Apa mama kamu selamanya stand by untuk kamu?"
"Selama ini, ya."
"Apa kamu selalu mendiskusikan hal-hal sensitif dengan mama kamu?"
"Of course."
"Tentang seks juga?"
Ariana diam, matanya memicing menatap Anka sinis.
"Selalu ada yang tidak bisa kita bicarakan ke beberapa orang."
"Exactly!" Anka menepuk tangannya sekali, "karena seks hanya akan kamu bicarakan dengan pasangan. Bukan yang lain." Anka meneguk minumannya lagi.
"Teman tidur, juga termasuk kan?" Ariana masih enggak mau kalah.
"Mau sampai tua kamu panggil partner hidupmu sebagai teman tidur? Do nothing, have nothing? Selain seks?"
"Namanya teman, bisa diajak nonton, curhat, jalan-jalan."
"Maksa!"
Ariana melotot.
"Saat teman tidurmu menolak diajak nonton, dengan alasan dia akan pergi dengan teman-temannya. Kamu enggak bisa melarang. Saat temanmu enggak bisa ikut jalan-jalan dengan alasan pekerjaan, of course kamu bukan prioritas karena kalian bukan pasangan, kamu enggak bisa ngambek. Saat temanmu itu enggak bisa diajak having s*x dengan kamu, beralasan bosan dan mencari partner baru, kamu enggak punya power untuk menahannya. Toh kalian hanya teman."
Ariana tertawa,
"Justru itu, ikatan hanya membuat saya enggak bebas, Pak! Seperti yang Bapak sebutkan tadi, partner tidur saya enggak punya hak untuk mengatur atau memaksa saya."
Anka menatap Ariana dengan gemas, "tapi, apa kamu yakin selalu berada di posisi yang dibutuhkan? Bagaimana kalau suatu saat kamu berada di posisi yang membutuhkan? Keadaan berbalik, kamu ditinggalkan? Kamu masih percaya bahwa hubungan mengikat kamu dari kebebasan?"
Telak. Ariana diam.
Dalam hati Ariana bersumpah, lebih menyukai Anka yang pelit bicara daripada Anka yang cerewet seperti di hadapannya ini.
"Menyerahlah, tanyakan pada hatimu sendiri." Lanjut Anka lagi, Ariana mendengar ponselnya berdering.
•••