Omar merasa tidak enak dengan Maita, apalagi ketika Eva tiba-tiba pergi begitu saja meninggalkannya. Omar segera mengejar Eva menggunakan mobilnya. Namun, sialnya dia kehilangan jejak taxi yang ditumpangi oleh Eva, ketika berada di lampu merah. Omar juga menghubungi Eva beberapa kali.
Sayangnya bukan mendapatkan jawaban, Eva malah mematikan panggilannya. Bahkan Omar sudah mengirimi pesan beberapa kali untuk Eva, lagi-lagi pesannya hanya diabaikan oleh Eva.
Karena Omar juga baru mengenal Eva, dia tidak tahu banyak mengenai wanita yang kini telah menjadi istrinya itu. Omar memutuskan untuk mencari Eva di rumahnya, dia berharap sang istri berada di sana saat ini.
Kebetulan, rumah Eva dan butik Maita tidak terlalu jauh, hanya butuh lima belas menit dia sudah sampai di tempat tujuan.
Ketika Omar sampai, dia bertemu dengan Leon yang hendak berangkat ke kantor. “Kenapa kamu ke sini sendiri, mana Eva?” Leon mengedarkan pandangannya, namun apa yang dia cari tidak ada di sana. Perasaan curiga mulai berkecambuk di dalam diri Leon saat ini.
“Sudah, saya pergi, By! Nanti telat, kamu bilang tadi ada meeting jam sebelas,” kata Raina mencoba menetralkan keadaan.
Leon menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Leon mengangguk, kali ini dia tidak mungkin meninggalkan meeting dengan client pentingnya itu. Bisa-bisa berantakan semua pekerjaannya. Dia juga tidak bisa mengharap Raihan di situasi ini. Entah, mengapa beberapa hari ini Raihan sering absen dari kantor. Entah apa yang dilakukan oleh adik iparnya itu.
“Aku berangkat kerja dulu, ya? Kabari jika ada masalah besar!” kata Leon. Dia berpamitan kepada Omar kemudian segera menaiki mobilnya.
“Mari masuk!” ajak Raina kepada Omar. Kebetulan anak-anak Raina sedang pergi jalan-jalan dengan ibu mertuanya.
“Saya hanya ingin mencari Eva, apakah dia pulang ke rumah?” tanya Omar dengan sedikit ragu. Padahal sudah jelas jawabannya. Namun Omar masih berusaha bertanya.
“Eva kabur?” pekik Raina. Bukan hal aneh, jika Eva terbiasa dengan kebebasan. Namun mungkin ini yabg akan menjadi kesulitan untuk Omar nantinya.
“Masuk dulu, deh. Baru jelasin di dalam sambil minum teh!” ajak Raina. Tanpa menunggu lama, Omar segera mengikuti Raina ke dalam.
Setelah menceritakan masalah yang sedang dialaminya, Omar memutuskan segera pamit, untuk melanjutkan mencari Eva.
“Maaf, ya. Dia memang anak yang sedikit ngeyel, kamu yang sabar, ya!” kata Raina mencoba menjelaskan keadaan. Selama beberapa tahun tinggal dengan Eva, dia sudah tahu karakter sang adik ipar.
“Saya pamit dulu, terimakasih informasinya. Jika tidak seperti ini, mungkin saya tidak akan mengenal Eva lebih jauh lagi.” Omar sedikit bersyukur mendapatkan cerita dari Raina, meskipun tidak terlalu detail.
Omar berpamitan kepada Raina, dia ingin mencari Eva ke tempat yang sering dikunjunginya.
Omar segera bergegas menuju ke mobilnya. Katika baru keluar dari pintu, Omar melihat sebuah mobil terparkir di depannya, kaca mobil kebetulan transparan. Dia bisa melihat siapa yang ada di dalam sana. Eva dan juga Raihan.
Omar juga melihat adegan ciuman singkat antara keduanya. Namun, dia tak tahu harus melakukan apa sekarang.
“Om-mar?” gumam Eva ketika melihat Omar sudah berdiri di hadapannya. Tanpa menunggu lama, Omar segera menarik tangan Eva, membawanya memasuki mobil.
“Lepasin, Gue bisa jalan sendiri!” cicit Eva.
Raihan yang melihat dari dalam mobil tidak bisa melakukan apapun saat ini. Antara kesal dan marah, bercampur hingga membuat kakinya berat untuk melangkah ke luar. “Bahkan Gue nggak bisa lakuin apapun, Va,” gumam Raihan sembari mengepalkan jemarinya.
Omar segera meninggalkan halaman rumah, memacu laju kendaraan yang dia kendarai dengan kecepatan tinggi.
“Pelan-pelan bisa nggak, sih!” teriak Eva panik. Dia begitu ketakutan melihat sorot mata Omar saat ini.
Omar tak menghiraukan ucapan Eva, dia malah semakin memacu mobilnya lebih cepat lagi, membelah keramaian kota.
Omar membawa Eva segera pulang ke rumah, baginya hanya rumahlah yang cocok dengan suasana saat ini. Dia harus menyelesaikan permasalahan yang terjadi antara dirinya dan juga Eva.
Mobil telah terparkir dengan sempurna di halaman rumah Omar. Eva menghela napas panjang. Jujur saja, jantungnya masih terasa tertinggal di rumah Leon rasa-rasanya.
Omar segera meninggalkan Eva yang masih berdiam diri di dalam mobil menetralkan napas yang masih naik turun.
“Dasar Om-om gila, bisa-bisanya dia melakukan ini. Apa dia dulunya pembalap ya, bikin jantungan aja,” gumam Eva.
Eva masih enggan untuk turun dari mobil, dia masih bingung akan menjelaskan apa kepada Omar nanti.
“Apa Gue kabur lagi aja, ya?” gimana. Eva lagi.
Namun akhirnya dia segera keluar dari mobil dan menyusul Omar ke dalam kamar.
Eva langsung masuk tanpa mengetuk seperti kebiasaan yang selalu dia lakukan sebelumnya di rumah. Kali ini tidak ada yang aneh. Dia tidak menemukan Omar yang sedang berganti baju atau semacamnya.
“Duduk!” titah Omar ketika melihat Eva kini sudah berdiri di hadapannya. Eva sangat ingin lari dari suaminya. Akan tetapi itu justru akan menimbulkan masalah lagi dan lagi.
Eva duduk. “Apa?” tanya Eva dengan nada ketus.
“Aku tidak akan menanyakan hubungan antara kalian berdua, tapi tolong jangan melakukan hal seperti itu di tempat umum. Tadi baru Aku yang memergoki kalian. Jika sampai Leon atau yang lain, apa yang akan Kamu jelaskan?”
“Sejak kapan kau berdiri di sana?” selidik Eva begitu penasaran.
“Sejak mobil memasuki halaman.”
“Jadi?”
Omar hanya mengangguk. Dari anggukan itu, semua jawaban sudah jelas, jika Omar melihat kejadian antara dirinya dan juga Raihan.
Omar sendiri tidak yakin dengan apa yang dia rasakan saat ini. Antara kesal dan juga kecewa ketika melihat Eva dan juga Raihan. Bahkan ada sesuatu yang mencubit kecil di relung hatinya saat ini.
Namun dirinya sama sekali tidak menyadari perasaan apa itu.
“Gue nggak ada apa-apa,” jelas Eva tiba-tiba.
‘Ya, Tuhan. Dia kan nggak nanya, kenapa malah Gue jelasin sih, lagian apa yang harus Gue cemasin, ini kan pernikahan gagal.’ Eva merutuki kebohongan yang telah dia lakukan tanpa sadar.
“Aku memutuskan untuk memindahkan kuliahmu di Indonesia, aku juga akan mendaftarkan kamu di salah satu kampus lokal yang ada di daerah kita,” jelas Omar, yang tiba-tiba segera beranjak dari tempat duduknya.
“Hei! Apa hakmu melakukan hal itu kepadaku!” geram Eva. Bahkan dia merasa pernikahan yang baru dua hari ini sudah membuat dirinya tersiksa.
“Ikuti saja apa yang Aku mau, jadilah istri yang baik!”
Eva menarik baju Omar bagian belakang, yang membuat Omar menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Omar menoleh ke arah Eva yang masih menggenggam erat bajunya.
“Lepasin, atau.” Omar menyeringai jahil. Omar menarik punggung Eva hingga menempelkan tubuhnya kepada Omar. “Kamu mau melanjutkan kegiatan panas kita tadi malam?” bisik Omar. Embusan napas Omar berhasil membuat seluruh tubuh Eva meremang. Eva berusaha melepaskan dirinya dari pelukan Omar yang begitu kuat.
“Sepertinya aku harus menghukummu!” Bisik Omar lagi.
Rasanya, Eva begitu sulit menelan saliva yang begitu besar dari tenggorokannya.
“Lepasin,” rintih Eva. Bisa dipastikan jika pipinya saat ini sedang semerah tomat.
“Ehm, sepertinya sangat rugi, jika aku tidak melakukan apapun kepada istri mudaku ini,” bisik Omar sembari mengangkat tubuh Eva.
“Lepasin nggak! Dasar Om-om m***m!” teriak Eva.