Eva menyandarkan kepalanya di jendela kaca mobil. Entah pikirannya ke mana saat ini, dia sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Semua yang terjadi serba mendadak, dan dirinya juga tak tahu harus berbuat apa. Perasaannya benar-benar sangat kacau saat ini. Sesekali Eva melirik ke luar jendela mobil.
“Kita mau ke mana, Mbak?” Sopir taxi itu bertanya untuk ketiga kalinya, karena Eva tidak menjawab pertanyaan sang sopir sebelumnya. “Mbak?” ulang sang sopir.
“Jalan saja, Pak. Nanti saya bayar,” kata Eva yang tidak bisa fokus sama sekali. Taxi yang dia tumpangi juga hanya melaju tanpa tujuan sedari tadi. Eva sama sekali tidak memiliki arah tujuan. Entah ke mana arah akan membawanya berlabuh.
Eva meraih ponselnya yang bergetar sedari tadi. Tanpa menunggu lama, dia segera menggeser tombol berwarna hijau ke arah kanan.
“Ya, kenapa?” tanya Eva kepada Raihan, yang belum mengatakan apa ‘pun kepadanya.
‘Bisakah kita bertemu? Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu,’ kata Raihan dari seberang panggilannya.
“Atur saja di mana Elo mau ketemu,” jelas Eva segera mematikan sambungan teleponnya.
Sesaat setelah dia mengakhiri panggilannya, notifikasi pesan dari Omar masuk secara beruntun. Ada perasaan ragu untuk membuka pesan dari, pria yang kini telah berstatus sebagai suaminya.
Namun, Eva penasaran, dengan pesan apa saja yang ditulis oleh Omar kepadanya. “Cih, dasar nyebelin,” lirih Eva.
Eva mulai membuka pesan dari Omar satu-persatu. Isinya tak lebih menanyakan di mana keberadaannya dan mengapa dirinya tiba-tiba pergi begitu saja dari tempat Maita. Bukan itu yang Eva harap dari semua isi pesan itu.
Entah mengapa mendengar nama Maita di akhir pesan, membuat Eva merasa semakin malas, untuk membalas pesan itu. Eva menuju ke sebuah tempat rahasia di mana dirinya biasa nongkrong bersama dengan Raihan. Karena Raihan telah mengabari jika dirinya berada di sana.
Dalam waktu lima belas menit dia sampai di tempat tujuan. Ternyata Raihan memang sudah menunggu dirinya sejak tadi. Eva menghampiri Raihan. Yang tengah duduk di sebuah bangku ayunan.
“Hai, udah lama, Lo?” Eva menepuk pundak Raihan pelan. Seketika itu juga Raihan memeluk tubuh Eva dengan posisi yang masih sama.
“Elo kenapa, sih? Lepasin Rai, geli Gue!” pekik Eva. Eva merasa risih dengan sikap Raihan saat ini. Tak biasanya dia seperti itu kepadanya.
“Biarin, Gue gini sebentar aja, Va,” lirih Raihan dengan sedikit terisak.
Mendengar isakan Raihan, Eva sedikit terjengit kaget. “Rai, Elo, oke?” tanya Eva berusaha melihat ke arah wajah Raihan.
Namun usaha Eva sia-sia, karena Raihan semakin menenggelamkan wajahnya ke dalam perut Eva. Eva yang masih bingung hanya mengusap puncak kepala Raihan dengan lembut.
“Gue nggak tahu masalah, Elo. Tapi jangan gini juga dong!” teriak Eva seraya menjitak kepala Raihan, hingga sang empu merintih kesakitan . Eva di sini yang butuh teman untuk curhat, malah menjadi sandaran untuk Raihan yang menurutnya tidak jelas sama sekali.
“Va, Elo nggak kira-kira, Gue tuh lagi sedih banget tau. Tapi Elo malah giniin Gue. Tega, Lo ya?” celetuk Raihan sembari mengusap kepalanya yang masih terasa panas karena jitakan Eva.
“Gue yang mau cerita, bukan Elo!” sungut Eva.
“Ya udah cerita aja, entar Gue juga,” kata Raihan. Dia begitu bahagia ketika melihat wajah Eva yang kini berdiri di hadapannya.
Kali ini dia tidak boleh mundur untuk mengutarakan perasaan yang telah lama dipendam olehnya.
“Rai, Gue belum siap nikah. Kenapa semua serba dadakan gini, sih. Gue masih mau kuliah. Elo tahu kan, ini pernikahan nggak Sah,” kata Eva, yang sudah diambang frustasi. Entah sejak kapan, pikirannya begitu penuh dengan masalah. Belum usai masalahnya Dengan Max, kini sudah muncul yang lain.
“Iya, Va. Gue juga nggak setuju. Kalo Elo nikah sama si b******k itu,” jawab Raihan dengan begitu antusias. Apalagi ketika mendengar Eva juga tak menyukai pernikahan itu. Mungkin ini bisa menjadi jembatan untk Raihan menyeberangi masalahnya.
“Gimana kalo kita kawin lari aja, Va,” ajak Raihan. Dia segera berdiri di hadapan Eva, meraih jemari-jemari kecil milik Eva. Entah apa yang Raihan pikir saat ini, itu sungguh di luar nalar pikiran Eva.
Eva menarik paksa jemarinya dari genggaman Raihan. “Gila Lo, ngomkng itu dipikir dulu kali,” pekik Eva. Lagian dirinya sudah menikah, masak mau menikah lagi. Itu adalah ide yang begitu aneh dan gila bagi Eva.
Raihan menggeleng pelan. Dia menyuruh Eva untuk duduk di ayunan. Kemudian dirinya berlutut di hadapan Eva, menatap wajah yang selama ini dia gilai. “Va, tatap mata Gue!”
Eva mengerutkan dahinya bingung. “Nggak ada belek ataupun jerawat, Elo ganteng, kok,” puji Eva dengan tulus, namun diselingi dengan kekehan khas Eva. Wajah Raihan memang begitu tampan. Namun tidak untuk dijadikan pasangan oleh Eva, baginya selama ini, Raihan hanyalah sebatas seorang Kakak laki-laki untuknya.
“Ck, bukan itu, Va. Tatap mata Gue, kali ini gue serius!” Raihan berdecak kesal.
“Apaan, sih. Lama-lama Elo jadi Romy siapa yang pesulap itu?” tanya Eva dengan sedikit mengingat, salah seorang pesulap yang sering mengucapkan jorgan itu.
“Rafael. Tapi, Gue lagi nggak bercanda, Va. Please, trust me!” lirih Raihan.
Melihat Raihan yang mulai serius, akhirnya Eva menurut. “Oke, katakanlah. Gue bakalan denger, kok.” Eva menatap Raihan dengan intens. Dia juga merasakan jika kali ini, Raihan sedang tidak bercanda kepadanya.
“Entah, Gue harus memulai pernyataan ini dari mana. Tapi, kali ini Gue nggak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengerin baik-baik, Va. Gue nggak mau Elo salah nangkep ucapan, Gue.”
“Ya udah, tinggal bilang doang, apa susahnya, sih? Kalo Elo lama, Gue pergi ke rumah Dias aja deh,” ancam Eva.
“Gue suka sama Elo, Va.”
“Hem.”
“Hem doang?” Raihan mengernyitkan dahinya bingung. Sungguh bukan ini jawaban yang dia harapkan.
“Iya, Gue tau, Rai. Bahkan sejak dulu juga Gue tau,” jawab Eva dengan wajah biasa saja.
“Terus? Kita bisa dong, nikah?”
Eva menggeleng pelan, tatapan matanya mengunci manik mata Raihan. “Raihan, kau bukan seorang pria bagiku. Bukan karena kau tak menarik, tapi posisi kita yang membuat kita tidak bisa.” Eva menghentikan ucapannya, seolah ada rasa sesak ketika mengatakan itu kepada Raihan.
“Tapi kenapa?”
Eva menggeleng. “Tidak mungkin kita menikah dengan status keluarga kita seperti ini. Bagi Gue, Elo hanyalah seorang Kakak lelaki. Nggak lebih, Rai.”
“Nggak, Va. Gue udah memendam perasaan ini sejak lama. Elo nggak bisa beginiin, Gue,” Kata Raihan mengacak rambutnya frustasi.
Eva meraih jemari Raihan. Menggenggamnya dengan erat. “Maafin, Gue. Kita memang nggak ditakdirkan untuk berjodoh, tolong mengerti, Rai. Gue nggak mau.”
Raihan melepas genggaman Eva, lalu membalik tubuhnya. Dia berlutut di depan tebing yang tidak terlalu tinggi. “Arrgh ... Tuhan, kenapa takdir sekejam ini!” teriak Raihan dia bang frustasi.
“Maafin, Gue Rai,” lirih Eva. Tanpa disadari butiran bening berjatuhan membasahi pipi Eva. Kenyataannya, dia pernah jatuh hati pada pria di hadapannya itu dulu. Sebelum dia mengetahui jika mereka tidak memiliki hubungan.
Ketika perasaan mulai menguasainya, Eva memilih menjauh dan membangun benteng friendzone dengan Raihan.
“Gue pamit.” Eva berdiri dan berlari meninggalkan Raihan begitu saja. Kali ini Eva benar-benar begitu kalut dengan situasi yang tengah dia hadapi.
Permasalahan dengan Omar belum selesai, kini Raihan malah menambahi beban pikirannya. Eva mencari taxi untuk pulang. Namun, Raihan tak membiarkan dirinya lepas begitu saja.
“Naik! Gue anterin Lo sampai rumah.”
Tanpa berpikir panjang, Eva segera menaiki mobil Raihan.
Sesakit-sakitnya Raihan, dia tidak akan membiarkan Eva pulang sendirian. Kebiasaan menjaga Raihan sudah mendarah daging jika menyangkut urusan dengan Eva. Keduanya tak saling mengatakan apapun ketika berada di dalam mobil.
Raihan membawa Eva pulang ke rumah Leon. Dia tak mau mengantarkan Eva ke rumah Omar. Mobil yang dibawa Raihan berhenti di halaman rumah Leon.
“Makasih.”
“Eva tunggu!” Raihan meraih tangan Eva, agar dia tak keluar dari mobilnya.
“Apa lagi? Cukup sampai di sini, Rai!”
Raihan menarik tangan Eva kemudian menautkan bibirnya kepada Eva.
Plak!
“Sialan, Lo!” teriak Eva menampar Raihan, hingga dia menoleh ke kiri.
Raihan terkekeh, matanya memerah. Amarahnya kini sudah membuncah. Raihan memukul setir mobilnya, hingga membunyikan klakson dengan nyaring.
Eva segera menuruni mobil, diliputi dengan kekesalannya.
“Om–mar?” lirih Eva, ketika Omar menatap ke arah mobil Raihan dengan wajah yabg begitu syok.