Eva berlari keluar hotel dan segera menaiki taxi yang baru saja tiba, sialnya dia hanya mengenakan kemeja kedodoran, yang entah milik siapa itu. Sementara dirinya kebingungan setengah mati setelah mencari ke mana-mana pakaian yang dia kenakan semalam. Karena hanya menemukan kemeja itu, Eva segera mengenakannya begitu saja tanpa memikirkan siapa pemiliknya.
Eva masih mengingat pria yang tertidur memunggungi dirinya, sembari mengingat kejadian semalam.
“Arrgh ... sial,” teriak Eva tanpa sadar di dalam taxi setelah mengingat kejadian tadi malam. Dia bahkan sangat merutuki kebodohan yang telah dilakukannya. Ternyata putus cinta membuat dirinya menjadi manusia bodoh seutuhnya.
“Kenapa, Mbak?” suara Eva membuat supir taxi itu sedikit tersentak, ia melirik ke arah spion tengah mobil sembari mengernyitkan dahinya.
“Ah, tidak kok, Mas.” Eva hanya menjawabnya dengan singkat, kemudian segera memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil. Rona merah muncul di bagian pipi gadis itu karena merasa malu.
Mobil yang ditumpangi Eva melaju dengan cepat menuju alamat rumahnya. Hanya berselang beberapa menit taxi sudah sampai di depan gerbang depan rumahnya. Setelah menyerahkan uang satu lembar berwarna merah, Eva segera berlari meninggalkan taxi tanpa menoleh lagi.
“Mbak, ini kembaliannya?” teriak supir yang masih muda itu.
“Ambil saja,” ujar Eva.
Eva mengamati sekeliling rumahnya alias mengendap-endap. Dia sedikit bernapas lega, karena menurutnya orang rumah masih tidur.
Eva membuka pintu rumah perlahan, lalu menutupnya dengan begitu pelan. Namun, yang namanya pintu, terkadang malah tidak bisa diajak kerja sama ya ‘kan. Suara derit pintu membuat Eva mengeluarkan sumpah serapahnya di dalam hati. Padahal jika hari biasa dia sudah berteriak sembari mengeluarkan umpatan ajaibnya. Karna ini adalah kondisi darurat, umpatan itu tak dia keluarkan.
“Dari mana kamu, Eva?”
Deg.
Seketika itu juga jantung Eva seperti akan berhenti berdetak. Eva memejamkan matanya dalam. Ia sudah bisa menebak ekspresi seperti apa yang akan dia lihat saat ini, dari wajah Kakak tercintanya itu.
Ralat, tercinta jika ada maunya saja. Begitulah rumus hidup Eva. Eva masih mematung di tempatnya berdiri saat ini, dengan perasaan yang tak bisa dia gambarkan lagi. Tangannya saja sudah mulai tremor.
“Jawab, Eva. Kamu dari mana?” teriak Leon dengan lantang. “Apa kamu sekarang sudah belajar menjadi lacur, hah?” lanjut Leon. Leon melangkah mendekati adiknya.
Hanya satu kalimat yang membuat d**a Eva berdenyut nyeri seolah tercubit. Eva tak pernah berpikir jika Leon akan mengatakan hal sejahat ini. Dia bahkan berpikir, jika sang Abang tak pernah memikirkan dirinya selama ini.
“Abang!” teriak Eva tak kalah nyaring, dia segera membalik tubuhnya menghadap ke arah Leon.
Leon segera melempar beberapa lembar foto yang ada di tangannya tepat mengenai wajahnya, dan berakhir di lantai marmer.
Eva tak mampu berkata-kata lagi, hanya lelehan butiran bening yang perlahan membasahi pipinya perlahan. Bukti yang kuat membuat Eva tak mampu berkata-kata lagi.
“Ini tak seperti yang Abang kira, aku bisa jelaskan semuanya,” ujar Eva, sembari memunguti lembar demi lembar potret dirinya yang entah siapa yang mengambilnya semalam.
Eva sedikit ternganga setelah melihat beberapa potret dirinya bersama dengan pria memasuki kamar hotel. Ya, kamar yang ditempati semalam.
“Jelaskan? Apalagi yang akan kau jelaskan kepadaku, Eva. Katakan siapa si b******k yang telah menidurimu semalam?” teriak Leon dengan penuh emosi. Mungkin selama ini dia berpikir telah terlalu memanjakan Eva, hingga adiknya itu lepas dari kendalinya.
Bagi Leon, dia adalah sosok pengganti sang papa semenjak mendiang papanya meninggal dunia beberapa tahun silam. Jadi Eva adalah adik sekaligus anak bagi dirinya.
“Aku, Aku juga tak tau siapa pria itu, Bang?” jerit Eva yang sudah tak mampu menahan rasa nyeri di dalam dadanya.
“Tidak tahu? Kamu bahkan tidak tahu?” Leon mengusap wajahnya dengan gusar. Dia sudah ingin mengangkat tangannya yang hendak dia layangkan ke pipi mulus adiknya itu.
“Hentikan Leonard Emillio!” teriak Raina yang baru saja muncul dari tangga bersama Orion di pelukannya. Raina takut jika Leon lepas kendali. Dia bahkan tahu betul jika suaminya panik dan tak bisa tidur semalaman. Lihat saja wujudnya yang suram saat ini.
Eva bahkan sudah menutup kedua maniknya dengan rapat, dia sudah bersiap dengan rasa sakit yang akan dirasakannya.
Satu detik dua detik Eva tak merasakan apapun.
Melihat Eva ketakutan membuat Leon merasa tak tega. Leon yang tak tega, malah memeluk tubuh adiknya dengan begitu erat.
Eva yang menyadari pelukan hangat dari sang kakak, menangis tersendiri di dalam dadanya. “Huhuhu ... Maafkan Eva, Bang, maaf,” ucapnya tergugu.
“Eva tidak bermaksud membuat malu keluarga kita.”
Leon mengusap punggung sang adik berusaha menenangkan, baginya setiap masalah tidak perlu diselesaikan dengan kekerasan. Apalagi kepada orang-orang yang disayanginya.
“Kamu tenang saja, aku akan menyelesaikan masalah ini. Cukup katakan siapa pria itu?” cecar Leon di tengah pelukannya.
“Eva, tidak tahu, Bang?”
Raina yang melihat kedua kakak beradik saling berpelukan seperti teletubis itu sedikit bernapas lega. Dia sempat mengira jika suaminya akan menampar adiknya. Raina tersenyum lega.
“Kamu tenang saja, seburuk-seburuknya, Leon. Dia tidak akan menyelesaikan masalahnya dengan kekerasan, apalagi dengan orang yang di sayangnya.” Raina mengangguk, entah sejak kapan Ibu mertuanya berada di sampingnya, bersama dengan Celena dalam pelukannya.
Suasana haru, menyelimuti keluarga itu. Masih ada satu PR lagi untuk Leon, dia harus menemui pria yang ada di foto yang diberikan fotografer bayarannya, yang sengaja dia sewa untuk memantau pergerakan adiknya. Bahkan Leon melakukan hal-hal yang tak disadari oleh keluarga tercintanya.
Leon tak ingin kejadian di masa lalu terulang kembali.
Sementara di hotel, Omar masih mondar-mandir menunggu Jackson. Pintu kamar di ketuk oleh seseorang. Omar sudah tahu siapa gerangan yang berada di balik pintu itu.
Tanpa menunggu lama, Omar segera membukakan pintu itu untuk sepupunya.
“Lama sekali sih, Bro?”
“Ya, aku kan harus mengantar Mecca ke sekolah dulu. Belum lagi aku harus mengacak-acak kamarmu untuk menemukan ini,” kata Jackson sembari mengangkat selembar segitiga bermuda yang membuat Omar mengumpat seketika itu juga.
“Dasar sinting!” teriak Omar seraya menyambar aset berharganya itu. Terlebih lagi, di ambang pintu ada Maita yang memperhatikan mereka berdua sejak tadi. Biar bagaimanapun juga, wanita itu masih menduduki posisi teratas di singgasana hatinya. Entah kapan posisi itu akan tergeser oleh orang lain, Omar tak yakin akan hal itu. Mampukah dia melupakan pujaan hatinya yang tak akan pernah dia menangkan.
“Ya udah, kami ke Resto dulu ya, jangan lupa tanggung jawabin anak orang!” kata Jackson sembari menepuk bahu Omar.
“Apaan sih, Lo?” sungut Omar.
Setelah kepergian Jackson dan juga Maita. Omar kembali duduk sembari melirik ke arah seprei yang terlihat dengan jelas bercak darah di atasnya.
“s**t!” Omar merutuki kebodohannya, dia bahkan berani bersumpah tak akan mampu menatap wajah Maita lagi. Dia bahkan masih memikirkan apa yang akan dipikirkan oleh Maita kepadanya, setelah melihat kejadian hari ini.
Lima belas menit kemudian Omar sudah sampai di rumah sakit tempatnya bekerja. Dia masih berpikir jika harus menemukan wanita yang dari tadi membuatnya menggila.
Suara ketukan kaca mobil membuyarkan lamunan Omar. Dokter Kevin sudah tersenyum menatapnya mengisyaratkan agar dia segera turun dari mobilnya.
Omar berdecak kesal melihat serigai yang terlihat jelas di wajah Kevin. Sudah jelas dirinya akan menjadi bulan-bulanan teman sejawatnya itu. Omar membuka kaca mobilnya menatap Kevin dengan tatapan jengah. Dia sudah bisa menebak, jika gosip tentang dirinya sudah menyebar di satu rumah sakit.
“Jadi, Dok. Gimana-gimana?” tanya Kevin dengan begitu antusias.
“Apanya yang gimana sih, dok?” jawab Omar dengan santai seolah tak terjadi apapun. Omar segera keluar dari mobilnya sembari membawa tas kerjanya. Dia berjalan beriringan dengan dokter Kevin. Sungguh, bukan dokter Kevin jika tingkat kekepoannya tidak tinggi.
“Ayolah, aku kan penasaran. Padahal aku sudah memberikan hadiah spesial buat dokter semalam.”
Omar mengedipkan matanya sembari menggosoknya, setelah melihat sosok yang membuatnya gila dari tadi. Tanpa menunggu lama, Omar menaruh tasnya di d**a Kevin.
“Nitip bentar,” kata Omar sembari berlari.
“Eh dok, kita mau apel lho ini?” teriak dokter Kevin dengan wajah polos plus bingungnya.
“Tunggu!” teriak Omar ketika wanita yang dikerjarnya hendak memasuki ruang obgyn.