Pesta di adakan pukul tujuh malam, disalah satu hotel ternama di kota Jakarta.
Tamu undangan bahkan sudah memenuhi aula pertemuan yang sudah di sulap menjadi indah dengan hiasan bunga segar memenuhi seluruh ruangan.
Eva kini sudah bersiap dengan mengenakan sebuah dress berwarna merah maroon yang membuat penampilannya menjadi pusat perhatian seluruh kaum Adam yang berada di dalam ruangan.
Merasa jenuh dengan suasana membosankan pesta yang diadakan oleh sang Kakak, Eva memutuskan untuk pergi secara diam-diam dari pesta itu.
“Va ... lo main ke mana?” tanya Raihan yang juga menghadiri pesta undangan karena dirinya juga termasuk pemegang saham di perusahaan sang Kakak.
“Gue ... em ... gue mau ke toilet sebentar,” kata Eva mencari alasan.
“Oh ... gue kira lo mau kabur,” tebak Raihan yang memang sangat mengenal gelagat Eva.
Kalo ini tebakan Raihan memang tepat.
“Menurut lo?” sahut Eva memutar bola matanya jengah.
Dengan cepat Eva berjalan meninggalkan pesta menuju ke toilet wanita.
Karena merasa ribet dengan gaun yang dia kenakan, Eva malah mengambil gunting dari dalam handbagnya untuk membuang bagian yang menurutnya menghambat langkah kakinya.
Eva berjalan menuju ke Bar yang ada di lantai paling atas hotel.
“Loh Di, kamu ngapain di sini?” tanya Eva sedikit terkejut ketika melihat sahabat karibnya ada di bar.
Bukannya apa, Dias memang di kenal sebagai gadis baik dan tidak pernah macam-macam, tidak seperti Eva.
“Pasti pikiran lo nggak bener kan?” tebak Dias.
“Ya iya lah ... ya kan secara elo kan biasanya jadi anak rumahan, bukan malah di sini,” cetus Eva.
“Gue cuma anterin peselanan di sini kok, nih.” Dias mengangkat keranjang yang dia pakai mengantar pesanan di club. “Gue balik dulu ya. Elo jangan pulang kemaleman. Jangan minum gak baik,” nasehat Dias.
Dia sebenarnya tahu Eva tidak akan minum jika tidak sedangvada masalah.
“Iya ... gue cuma sebentar kok,” kata Eva.
Eva segera duduk di meja bartander.
Ia segera memesan minuman yang biasa dia minum ketika dirinya merasa suntuk.
Eva bukanlah perempuan yang polos seperti anak remaja seusianya. Dirinya diam-diam suka berkelana memasuki bar dan club malam di Jakarta tanpa sepengetahuan keluarganya.
Kecuali Raihan, lelaki itu selalu mengawasi pergerakan Eva dari jaman mereka masih SMP dulu.
Namun akhir-akhir ini Raihan semakin sibuk karena urusan perusahaan yang akan segera berpindah tangan kepadanya.
“Satu lagi mas,” kata Eva meminta segelas minuman.
Pikiran Eva semakin ke mana-mana karena Mengingat kejadian tadi siang yang menimpa dirinya dan sang kekasih.
Eva hanya mampu meratapi nasib buruk dan sialnya hari ini.
Banyak lelaki yang duduk di samping Eva mencoba merayu gadis itu namun dia mampu menolaknya dengan telak.
Seperti kejadian saat ini.
“Hai manis, boleh kenalan nggak?” tanya lelaki yang sudah berjalan dengan sempoyongan karena kebanyakan minum itu.
Eva melanjutkan minumnya tanpa menghiraukan setiap godaan dari lelaki-lelaki buaya itu.
Tanpa Eva sadari ada seorang lelaki yang dari tadi memperhatikan dirinya dari sudut ruangan dengan pencahayaan yang minim.
“Ayolah bro, kamu harus melupakan wanita itu dan memulai hidup baru,” rayu teman dari lelaki yang menatap Eva terus menerus.
“Kamu lihat apa sih?” tanya Kevin penasaran dengan apa yang dilihat oleh sahabatnya itu.
Melihat Eva yang sudah dikerumuni oleh banyak pria. Lelaki misterius itu segera beranjak mendekati Eva.
“Manis.”
“Stop menganggu kekasih saya!” kata lelaki itu mencekal tangan pria yang menggoda Eva.
Entah keberanian dari mana pria itu malah mengakui Eva sebagai kekasihnya.
Eva menatap ke arah pria misterius itu dengan penglihatan yang sudah mulai kabur.
Eva segera berdiri lalu meraih tangan pria itu, hendak membawanya keluar dari Club.
“Mbak bayar dulu!” teriak bartander kepada Eva.
Pria misterius itu segera menaruh beberapa lembar uang merah di atas meja lalu mengikuti Eva.
Entah apa yang dipikirkan oleh pria itu, atau mungkin juga karena efek mabuk dirinya malah ikut ke mana Eva pergi.
Eva memasuki sebuah kamar yang memang sudah dia pesan sebelumnya.
Lelaki itu masih mematung di depan pintu menatap Eva yang sudah menutup pintu kamarnya.
Lelaki itu tersenyum menyerigai menyadari kekonyolannya.
Lelaki itu kembali ke dalam bar lalu kembali minum.
.
Eva menanggalkan dress-nya dan seluruh pakaiannya lalu menenggelamkan dirinya ke dalam selimut tebal miliknya.
.
“Gue kira lo dapat mangsa baru,” kata Kevin.
“Diam lo!” bentaknya lalu meneguk gelas terakhirnya.
Lelaki itu kembali ke menuju ke kamar, namun sepertinya karena mabuk dia salah mengenali kamar yang telah di pesannya.
Sebelum memasuki kamar, notifikasi dari ponselnya membuatnya kembali tersadar.
‘Gue sudah sediakan wanita di kamar lo’
begitulah kira-kira isi pesannya.
Lelaki itu hanya tersenyum lalu memasuki kamar yang salah, namun anehnya pemilik kamar juga tidak mengunci kamarnya. Jadi pria itu menganggap dirinya tidak salah memasuki kamar miliknya.
Pria itu segera mengunci pintu kamarnya.
Karena merasa panas dirinya segera menanggalkan seluruh pakaiannya, dan hanya menyisakan celana boxernya saja, lalu ia berjalan menuju ke arah tempat tidurnya.
Karena pencahayaan lampu tidur yang tidak terlalu terang Lelaki itu langsung memasuki selimut lalu terlelap mengarungi alam mimpinya.
.
Pagi menjelang, cahaya mentari menerobos ke dalam kamar Eva. Seolah menantang gadis itu agar segera terbangun dari mimpi indahnya.
Ralat mimpi omesnya.
Ya Eva bahkan mimpi sedang bercinta dengan orang asing.
Sungguh mimpi yang membuatnya menjadi panas dingin dan malu sendiri.
Eva segera membuka matanya karena perutnya yang semakin terasa sesak dan berat karena ulah lelaki misterius yang menindih perutnya.
Eva yang belum terlalu sadar segera menyingkirkan lengan kekar yang menindih dirinya.
“Enggh ... menyingkir!” gumam Eva yang merasa keberatan dan sesak.
Namun lelaki itu malah semakin mempererat pelukan di bagian perut Eva.
Embusan napas hangat pria itu tepat mengenai tengkuk Eva.
Satuhan kulit tubuhnya dengan lelaki itu membuat Eva tersadar dengan segera.
Deg.
Eva segera duduk lalu menarik selimut untuk menutupi bagian tubuhnya.
“Oh God, apakah mimpiku semalam nyata, bagaimana bisa aku melakukan hubungan dengan lelaki asing?” Eva terperanjat melihat posisinya yang naked sama seperti dengan pria asing itu.
“Gawat, bisa mati berdiri jika Kak Leon mengetahui aku tidur di kamar yang salah. Ya Tuhan ... apa yang harus aku lakukan?” ujar Eva merutuki kebodohannya.
Eva mencoba mengingat apa yang sedang terjadi dengan dirinya.
Ralat.
Lebih tepatnya antara dirinya dengan lelaki asing itu.
Bagaimana bisa dirinya bisa seranjang dengannya.
Bahkan dirinya sama sekali tidak mengenal siapa pria asing itu.
Namun Eva sama sekali tidak mengingat apapun selain dirinya yang hanya minum di bar semalam.
Selebihnya dirinya sama sekali tidak ingat sedikitpun.
“Oke Eva ... tenang, tarik napas lalu buang. Ini nggak bener, semua ini nggak bener,” lirih Eva lalu pelan-pelan beranjak dari ranjangnya.
Eva terkejut karena dirinya mendapati bercak darah di sepreinya.
Seketika itu Eva berpikir jika dirinya telah kehilangan mahkotanya di tangan lelaki asing itu.
Eva mendadak lupa di mana meletakkan pakaiaanya semalam.
Ia hanya menemukan pakaian lelaki itu lalu segera mengenakannya.
Sebelum pergi Eva meninggalkan sebuah catatan dan sejumlah uang di nakas lalu segera meningkatkan kamar itu dengan sedikit penyesalan.
.
waktu menunjukkan pukul sepuluh dini hari.
Lelaki asing itu terbangun karena suara ponselnya yang seolah membuat gendang telinganya akan pecah.
“Duh ... di mana ponselku?” ujarnya dengan mata yang masih terpejam.
Dia segera bangun lalu menatap ke sekeliling.
Perasaan nya mendadak menjadi aneh dan bingung.
Tentu saja karena kamar yang dia tempatinya sekarang bukanlah kamar yang dia pesan.
Lelaki itu segera mengambil ponselnya yang berada di nakas.
Ia terkejut karena hari sudah siang.
“Gawat aku telat,” gumamnya laku segera beranjak membuka selimut.
Deg.
Pandangannya tertuju ke pada sprei dengan bercak noda merah.
“Ya Tuhan ... semalem aku ngapain?‘ katanya yang terlihat semakin bingung.
Lelaki itu segera duduk lalu mantap dirinya dari pantulan cermin yang hanya mengenakan boxernya.
Ia segera mencari pakaiannya dan hendak meninggalkan kamarnya.
Namun dia malah tidak menemukan apa yang dia cari, dia hanya menemukan sebuah dress berwarna merah dan bra berwarna senada.
Ponselnya kembali berbunyi, lalu ia segera mengangkatnya.
“Halo kamu di mana dok?” sapa orang di seberang sana.
“Kevin, jelasin semua ini!” katanya dengan kesal.
“Loh dok, seharusnya anda yang menjelaskan kepada saya. Karena anda tidak memakai perempuan yang saya kirimkan di kamar anda,” jelas dokter Kevin.
“Aku emang nggak memakainya? tapi ... ah sudah lah,” lelaki itu segera mematikan sambungan teleponnya.
“Jika kata Kevin aku tidak memakai wanita itu lalu siapa yang tidur seranjang denganku?” gumam Omar.
“Bisa gawat kalo Mama tahu aku udah merusak anak orang.”
Omar mengusap wajahnya dengan gusar.
Lelaki yang dari tadi sibuk mencari keberadaan pakaiannya yang hilang.
Sebejat-bejatnya Omar dia tidak mungkin melakukan ONS dengan wanita asing.
Yang lebih mengejutkan lagi wanita itu malah meninggalli Omar sepucuk surat dan sejumlah uang.
‘Maaf, gue tidak mengenal elo siapa. Yang jelas kita semalem udah melakukan kesalahan. Jika elo butuh tanggung jawab gue pasti akan bertanggung jawab penuh. Ini uang ganti rugi buat lo. Maaf jika cuma segitu. Lain kali gue akan menambahinya lagi. Silahkan hubungi nomor ini jika memang anda merasa dirugikan’
Omar melotot setelah membaca isi surat itu.
“Aneh, bukankah seharusnya perempuan yang harus meminta pertanggung jawaban. Ini malah dia yang memberika uang,” gumam Omar sambil terkekeh.
Ia yang tadinya kesal malah merasa lucu dengan kejadian yang telah menimpanya.
“Astaga, dua ratus ribu? dia kira aku Om-om pemuas hasrat kali ya,” kekeh Omar semakin keras.
Apalagi jika ia membayangkan wanita itu pergi mengenakan pakaiannya, dan bagaimana tatapan orang-orang terhadapnya.
Omar hanya mampu menggelengkan kepalanya.
“Aku pasti akan menemukan kamu,” kata Omar berjanji pada dirinya sendiri.
.
.
“Dari mana kamu Eva?”
Suara bariton itu membuat tubuh Eva bergetar hebat.