“Ini plastiknya, A.”
Dua helai plastik diberikan Andri kepada Narendra. Di tengah kesibukannya menyiapkan pesanan pengunjung Warung Kembar, sempat-sempatnya lelaki itu minta plastik dan juga lakban. Awalnya Andri mengira plastik yang diminta untuk membungkus makanan yang akan dibawa pulang pembeli.
Namun, dia hanya bisa geleng-geleng kepala saat melihat Narendra malah membungkus dua lembar uang yang notabene bukan uang baru. Ukuran plastik yang lebih besar membuat Narendra harus teliti dengan cara melipat plastiknya agar sama dengan ukuran uang, direkatkannya plastik dengan lakban.
Dilihat dari cara Narendra mempelakukan uang itu Andri bisa menebak kalau itu berarti meski nominalnya hanya tujuh ribu rupiah.
“Ngapain lo ngeliatin terus, kerja lagi sana,” usir Narendra merasa malu karena Andri melihatnya terus.
Yang ditegor senyum-senyum lalu kembali bekerja melayani beberapa pembeli yang baru saja tiba ke warung Kembar.
“Pantas saja Andri melongo, toh gue juga dari tadi heran, ngapain lo bungkusin uang sambil nyengir sampai gigi lo kering?”
“Gak apa-apa, takut uang ini tertukar sama uang yang lain aja, terus kepake buat kembalian.”
“Iya, alasan gak mau uangnya tertukar buat kembalian karena apa? Pasti ada alasan jelas,” desak Zen.
Narendra tersenyum benar saja, dia lantas mengingat kejadian siang tadi saat bertemu dengan Ditha. Senyum gadis itu lantas terbayang sampai saat ini. Senyum yang juga terdapat luka di dalamnya.
Dia keluar dari kediaman Ditha diantarkan gadis itu sampai ke depan rumah. Ada perasaan ingin bertanya kepada Ditha atau orangtuanya mengenai keadaan Ditha yang sebenarnya. Entah mengapa pesaraannya selalu mengatakan kalau perempuan itu sebenarnya tidak baik-baik saja.
“Neng Ditha masa iddah sudah ketemu sama cowok lain?” komentar tetangganya ketika Ditha mengantar Narendra sampai gerbang.
Idah identik dengan perceraian, dari sini Narendra menarik sebuah kesimpulan kalau Ditha baru saja bercerai. Pantas saja tangisannya sangat menyayat hati, masuk akal jika Ditha menangis dan sampai linglung seperti orang depresi.
Mendengar ocehan tetangganya, Ditha hanya tersenyum pahit. Dia sekilas menatap Narendra takut apa yang terjadi dengannya diketahui oleh orang itu. Padahal mungkin, Ditha tidak akan pernah bertemu lagi dengan Narendra.
“Dia orang yang nolong Ditha waktu nyasar, ke sini hanya mau silaturahmi saja, Ceu.” Hani lah yang menjawa komentar orang itu.
Narendra hendak bersiap untuk pergi dari sana, kemudian tiba-tiba lelaki itu menyerahkan ponselnya kepada Ditha. Ditha sedikit tertegun, dia menatap Narendra kemudian melihat ke arah ibunya.
“Minta nomor ponselnya, Teh.”
“Saya belum beli lagi ponsel setelah kecopetan kemarin, bagaimana kalau nomor ibu saja?” tanya Ditha.
“Boleh, biar disimpan nomor saya, kalau ada apa-apa, Ibu sama Teteh bisa hubungi saya.”
Hani mendekat dia menerima ponsel Narendra dari Ditha, mengetik beberapa angka di sana.
“Kebetulan Abah mau pesan lagi s**u murninya, nanti kami hubungi, ya, Nak. Siapa namanya, sampai lupa kami tanya nama.”
“A Rendra.”
“Narendra, Bu.”
Ditha dan Narendra menjawab bersamaan. Narendra senyum karena seingatnya dia tidak pernah mengenalkan diri kepada Dihta, mungkin dia ingat saat di Warung Kembar saat Zen atau Andri memanggilnya.
Dari pertemuan itu, Narendra dapat sebuah kesimpulan kalau Ditha baru saja bercerai. Menangis seperti itu dia hanya bisa menebak jika suaminya berselingkuh. Narendra punya pengalaman menyakiti hati perempuan. Dia sudah tidak ingin melakukannya lagi, dia menyesal sampai detik ini.
“Dra, buset lo ngelamun, itu gosong!” Aroma gosong tercium, Narendra sadar roti bakar di depannya sudah terpanggang.
Mengingat Ditha sampai-sampai membuat Narendra melupakan roti yang sedang dia bakar. Andri dan juga Zen dengan sigap mengambil alih pekerjaan. Narendra menyingkir dan berpindah ke stand minuman yang semula dihandle oleh Zen.
“Lo gue lihat akhir-akhir ini kurang fokus. Mungkin karena lo kelelahan bolak-balik Bandung Garut terus. Ingat, Dra, jaraknya enggak dekat. Lo bisa aja sakit.”
Narendra diam, dia memang bersalah karenanya sama sekali tidak berani membantah. Tangannya dengan cekatan meracik sumur rasa melon, kemudian menyerahkannya kepada Andri untuk diberikan kepada pembeli.
Benar adanya ketika dirinya selalu melamun, Narendra selalu mengingat Ditha, mengingat bagaimana perempuan itu berjalan seperti orang linglung. Dan kenyataan Narendra baru saja tahu alasannya karena perceraian hatinya merasa terpanggil. Dia ingin menjadi obat luka bagi perempuan itu, menghapus segala kesedihannya. Bembasuh pedih karena luka yang dialami oleh Ditha.
“Istirahat kalau kurang sehat,” Zen terus mengomel
Dua buah roti gosong menghambat pekerjaan mereka, pasalnya yang memesan sudah tidak sabar karena roti yang dipesan sejak lama tidak kunjung datang.
“Maaf, gue kurang fokus.”
“Karena uang ini? Gue yakin ini bukan sekadar uang kembalian atau uang apa. Dra, lo belum move on dari Teh Yayu?” selidik Zen.
“Enggak anjir, gila aja, gue bisa dihajar sama Adrian kalau masih naksir itu orang. Rahayu emang udah paling bener sama Adrian. Sama gue gak ada bahagia-bahagianya,” kenang Narendra.
“Karena lo kejebak Friendzone. Gue sampai sekarang enggak percaya kalau sahabatan itu gak ada rasa salah satunya, pasti ada yang suka walau dipendam.”
“Gue gak memendam rasa, sebelum nikah sama Rahayu, gue udah pernah ngajakin Anjani nikah juga tapi ditolak. Ya gue gak perpanjang, gue nikah sama orang lain dan rasa cinta gue udah terkikis gitu aja.”
Zen menyerahkan roti bakar kepada Narendra, dia menerimanya dan mulai menambahkan topping di atasnya. Keju yang padat dan lembut diparut sampai merupakan serabut-serabut panjang yang menutupi seluruh permukaan roti.
“Gak ada rasa tapi lo selingkuh dari bini sampe bunting. Lo jangan ngomong kayak ke anak umur lima tahun, deh, Dra.”
Narendra diam. Dia melihat ke arah kursi-kursi pengunjung, tidak sebanyak biasanya. Malam senin memang selalu sedikit pelanggannya, mungkin karena esok harinya harus mulai bekerja jadi orang-orang lebih memilih untuk tidak nongkrong di luar.
“Dan sampai sekarang lo ingat terus sama almarhumah, kan? Sampai-sampai lo shock saat melihat teteh yang kecopetan kemarin mirip Anjani. Bener?”
“Iya,” jawabnya.
“Itulah, teman-teman t*i kucing! Gak ada istilah teman atau sahabat, pasti di antaranya ada yang punya perasaan lebih. Cinta yang dipendam sampai bikin sakit hati.”
Setiap kali membahas hal ini dengan Zen, Narendra selalu semakin merasa jadi lelaki paling jahat. Zen sengaja melakukan itu agar Narendra tidak lupa dengan apa yang pernah dia lakukan kepada Rahayu dan Anjani.
Zen sebagai sahabat Narendra ingin lelaki itu sadar dan tidak pernah mengulangi kembali perbuatannya di masa yang akan datang.
Kesibukan membakar roti dan membuat sumur aneka rasa membuat Narendra tidak menyadari sejak tadi ponselnya berdering. Melewatkan kesempatan untuk bicara dengan pujaan hatinya yang baru, meski Narendra tidak yakin apakah benar dia suka kepada Ditha atau hanya sekadar rasa kasihan saja.