Bab 10
Prayoga berpikir, jika memiliki ponsel baru, anaknya tidak akan terlihat begitu murung. Karenanya setelah Narendra meninggalkan kediaman mereka, Prayoga menyelinap menuju toko ponsel yang ada di jalan besar sekitaran pusat industri di Rancaekek. Tujuannya agar Ditha bisa kembali berbicara dengan teman-temannya.
Mencari kesempatan untuk memulihkan diri. Sebagai orangtua, Prayoga merasa Ditha harus benar-benar mendapatkan banyak hiburan dan pencerahan agar tidak berlarut-larut dalam perasaan sedih. Lelaki tua itu membawa bungkusan berisi ponsel baru. Kebiasaan baru putrinya adalah menatap taman samping rumah, menikmati gemercik air di kolam buatan berisi ikan hias.
Ditha tidak sepenuhnya menikmati keindahan taman buatan itu, tatapan matanya kosong. Kelopaknya begitu sayu dengan wajah yang semakin hari semakin pucat.
“Neng,” sapa Prayoga.
Ditha hanya meliriknya sekilas, lalu dia kembali fokus melihat jatuhnya air di atas air. Pikirannya mengembara mengingat masa lalu, bagaimana Brian meminangnya dan bagaimana lelaki itu membuangnya. Nestapa yang dia rasa tidak menemukan penawarnya.
“Jangan melamun terus, Abah sama Ibu sedih jadinya. Sini dengarkan Abah, liat Abah.” Prayoga menarik tangan anaknya. Tangan itu lemas, dingin dan juga berkeringat.
“Jodoh itu seperti maut. Misteri yang sama sekali tidak bisa dipecahkan oleh manusia, tidak dapat ditebak, tidak dapat diperkirakan, tidak dapat dihindari. Garis jodoh antara Ditha dan Brian sudah dituliskan sampai sekarang. Jika Tuhan mengizinkan untuk berjodoh lebih lama lagi mungkin akan ada jalan untuk kalian bisa bersama. Tapi jika tidak, maka sudah jangan diratapi. Abah sudah menghubungi Brian dan dia sudah tidak bisa mengubah pendiriannya.”
“Kenapa Ditha terlahir seperti ini, Abah?” Perempuan itu putus asa. Ada sesal yang menggumpal dalam dirinya. Napasnya tersengal menerima kenyataan pahit hidupnya.
“Tidak ada yang salah dengan dirimu, tidak ada yang salah dengan hidupmu. Asal Ditha tahu, kebahagiaan terbesar dalam hidup Abah adalah ketika mengetahui kamu lahir ke dunia ini. Rasanya Abah rela menukar apa pun di dunia ini untuk melindungimu. Jangan pernah merasa sendiri, patah hati dan sedih boleh, tapi ingat ada Abah dan Ibu yang akan selalu ada di sisimu.”
Prayoga mendekat kemudian memberikan pelukan kepada Ditha. Dalam diam, pria separuh usia itu berharap agar mental anaknya bisa kembali seperti sedia kala.
“Sudah jangan sedih, Abah punya sesuatu untuk Ditha.”
Ponsel yang baru saja dibeli Prayoga diterima Ditha, ada rasa senang dan tidak saat menerimanya. Tanpa ponsel hidup Ditha terasa lebih ringan, dia tidak perlu mendengar banyak kabar tidak menyenangkan di luaran sana. Tidak juga menuntaskan dahaga akan rasa penasaran kepada Brian dan hidupnya sekarang ini. Namun, di sisi lain Ditha juga membutuhkan ponsel untuk mencari informasi dan mencari pekerjaan untuk menyambung hidup dan memulai kehidupan yang baru. Tidak mungkin dia terus-terusan bergantung kepada Abahnya.
“Terima kasih, Abah. Ditha nanti akan cari pekerjaan dan membayarnya kembali.”
Prayoga menyentil kening Ditha pelan, “Itu buat Ditha, bukan kredit, bukan utang. Maaf meski bukan ponsel keluaran baru yang harganya mahal dan berkelas.”
“Ini sudah lebih dari cukup, Abah, terima kasih.”
Satu senyuman cukup membuat Prayoga tenang, dia kembali memeluk putrinya. Sebagai seorang ayah, apa pun yang terjadi dia akan selalu ada di sisi anaknya.
“Ini.” Prayoga menyerahkan ponselnya, “Salin nomor Abah, Ambu, ada beberapa nomor teman lama kamu juga di sini.”
Ditha menerimanya dengan penuh rasa terima kasih. Dia tahu, Abahnya sudah pensiun dan tidak banyak menghasilkan uang. Ditha bisa menebak bagaimana lelaki itu harus membeli ponsel ini dengan uang tabungannya.
Perlahan kemasan kotak ponsel itu dia buka, benda pipih di dalamnya mengkilap, dengan sedikit senyum Ditha mulai mengaktifkannya dan menyalin beberapa nomor dari ponsel Prayoga.
Waktu bergeser dengan cepat, matahari sudah hilang sejak tadi. Namun, Ditha masih asik mengotak-atik ponsel barunya. Dia menginstall beberapa aplikasi untuk menunjang kebutuhan komunikasinya. Ada satu aplikasi yang dia hindari untuk saat ini. Rasa takut mendorongnya untuk tidak menginstallnya, hatinya belum sanggup untuk melihat kenyataan yang sama sekali enggan dia lihat.
“Gimana ceritanya bisa ketemu orang itu lagi?” tanya Hani, sepiring camilan mendarat di atas meja. Ditha hanya melirik sekilas, dia sedang mengisi data untuk mengaktifkan salah satu Platform baca online untuk mengisi kekosongan.
“Aku sih seneng, kemarin lupa bayar utang. Akhirnya ketemu lagi,” jawab Ditha.
“Iya ketemu di mana?”
“Dekat pabrik Tekstil, bekas tempat kerja Ditha dulu.”
“Ya ampun!” pekik Hani. Teh yang sedang dia minum menyembur karena kaget, jelas saja karena dari rumah te tempat itu cukup jauh. Hani sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana ceritanya Ditha berjalan sejauh itu.
“Kenapa, Bu?” tanya Ditha. Kali ini dia menyimpan ponselnya menghadap ke arah sang Ibu yang jelas-jelas melotot seperti hendak menghakiminya.
“Kamu jalan sampai jauh?”
Ditha menjawab dengan anggukan, sejujurnya dia sendiri pun tidak menyadari, tahu-tahu sudah ada di depan pabrik itu. Perasaan sedih membawanya sampai berjalan berkilo-kilo meter, Ditha tidak merasa lelah, tidak juga merasa kepanasan.
“Apa yang kamu cari?” tanya Ibu yang tengah terluka melihat tindakan anaknya.
“Tidak ada, hanya berjalan mencari angin, tau-tau sudah ada di sana dan A Rendra menawarkan diri untuk mengantarku pulang.”
“Untung ada dia, kalau tidak kamu balakan pulang sampai malam. Hubungi dan ucapkan terima kasih.”
Ditha enggan melakukannya, tetapi benar dia lupa berterima kasih banyak-banyak karena sudah banyak menolong. Berbekal nomor yang disimpan di ponsel Abah Prayoga, Ditha kemudian menghubungi Narendra dengan nomor barunya.
Panggilan berkali-kali yang gagal tersambung membuat Ditha menyerah pada akhirnya dia memilih untuk menyimpan ponsel barunya dan mengistirahatkan diri setelah hari melelahkan dia lalui.
*
“Hari ini sudah empat roti gosong dan beberapa kali salah mencampur s**u dengan buah-buahan. Gue gak tahu apa penyebabnya, tapi tolong, Dra konsentrasilah dalam bekerja. Meski gak sampai 50% gue investasi di sini, tetapi gue pengen apa yang kita lakukan saat ini dapat membuahkan hasil maksimal.”
Narendra menunduk, dia mengakui kesalahannya. Dia tidak fokus karena terus-menerus mengingat Ditha. Rasanya menyebalkan ketika dirinya tidak sanggup menghilangkan bayangan perempuan itu dari kepalanya.
“Sorry, besok gue bakalan lebih baik lagi. Beneran ada hal yang ganggu gue,” ungkapnya.
“Selesaikan dulu jika ada masalah, jangan sampai mengganggu aktivitas lo. Gue khawatir justru lo celaka di tempat lain.”
“Iya, A Rendra kan berkendara,” sambung Andri.
Menyelesaikan masalah yang sebenarnya dia sendiri tidak tahu apa bisa diselesaikan atau tidak. Area tempat jualan sudah dirapikan dan dibersihkan. Terutama bagian yang tepat berada di depan ruko Pak Haji.
Setelah itu, Narendra masuk ke kamarnya di lantai dua sementara Zen dan Andri memulih untuk pulang. Narendra semula berpikir kalau tidur adalah salah satu cara yang bisa dia lakukan untuk melupakan wajah sendu Ditha. Kenyataannya sebanyak apa pun Narendra memejamkan mata, dia masih tetap melihat bayang wajah Ditha dan mendiang Anjani bersamaan. Karenannya lelaki itu tidak bisa memejamkan matanya sampai matahari terbit.