Tiba-tiba hujan turun, Reva berlari mencari tempat berteduh. Beruntung ada halte di depannya, dia berlari menuju halte tersebut untuk berlindung dari hujan. Dia sendirian di halte itu. Jalanan juga mulai sepi, karena hari sudah gelap ditambah lagi dengan hujan yang mengguyur menambah keheningan malam.
Reva duduk di halte menunggu hujan reda, udara malam begitu dingin. Namun, udara dingin malam tak dirasakannya. Kesedihan dan kegalauan hati membuatnya tak bisa merasakan hawa dingin malam itu. Dia termenung meratapi nasib yang menimpa dirinya.
Dia juga tidak tahu harus pergi kemana, karena saat dia keluar dari rumah dia tak membawa apa-apa. Bahkan ponsel pun tak dibawanya apalagi uang. Sehingga dia tidak bisa menghubungi siapa pun.
“Bagaimana ini, aku tidak tahu harus pergi kemana,” ucapnya lirih, hembusan nafas keluar dari mulutnya entah untuk keberapa kalinya. Pikirannya kacau tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Reva menunduk dalam-dalam, terduduk lemah di halte bus. “Aku benar-benar tidak menyangka akan jadi begini,” lirihnya.
Hujan sudah mulai reda, hanya tinggal titik-titik hujan yang tersisa. Dia melihat ke sekeliling jalanan yang sepi, meski ada rasa takut tapi dia berpikir tidak boleh berhenti di situ. Dia memutuskan untuk terus melangkah hingga dia melihat pertokoan yang berjejer.
Di sana, dia melihat beberapa anak hendak tidur di emperan depan pertokoan. Matanya berbinar, setidaknya ada harapan tempat untuknya beristirahat. Dia juga merasa letih, kakinya terasa pegal karena berjalan dari rumah Satya hingga berada di sana. Reva melemparkan senyuman pada beberapa anak yang sedang berbaring beralaskan kardus.
“Boleh aku ikut istirahat di sini?” tanya Reva dengan tatapan penuh harap. Beberapa anak hanya memandangnya dari atas hingga bawah tanpa menjawab. Reva masih berdiri menunggu jawaban dengan tatapan mengiba.
“Ini, tidurlah di sini,” sahut salah seorang anak memberikan kardus untuk Reva. Senyuman terbit di wajahnya, dia bergegas mengambil kardus yang di sodorkan untuknya.
Reva langsung menggelar kardus yang diberikan anak tersebut untuk alas tidurnya. “Terima kasih ya, Dik,” ucap Reva. Baru saja dia hendak membaringkan tubuhnya, tiba-tiba terdengar sirine mobil yang disertai pengumuman dari mikrofon. Reva tersentak karena semua anak-anak yang berada di situ berlari meninggalkannya.
“Hey, kenapa kalian pergi?” tanyanya pada salah seorang anak yang masih di sana dan bersiap untuk lari.
“Lari, Kak! Nanti kakak ditangkap petugas. Bahaya!” ujarnya menyuruh Reva ikut pergi dari situ.
Tanpa pikir panjang Reva ikut berlari bersama dengan anak-anak tersebut, tetapi dia tertinggal jauh. Anak-anak itu berlari dengan cepat, mungkin karena sudah terlalu letih Reva juga tidak bisa berlari lagi.
Dia hanya bisa sembunyi di semak-semak agar tidak ketahuan petugas. Beruntung petugas tidak melihatnya, sehingga dia lolos dari kejaran. Suara sirine mobil petugas makin lama makin tidak terdengar, tandanya mereka makin menjauh.
“Untung saja dia tidak melihatku, tapi aku sendirian sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Atau aku kembali lagi ke ruko itu untuk tidur di sana, atau harus mencari tempat lain yang lebih aman?” Reva bergumam sendiri seraya mencoba melangkah, tapi dia merasa kakinya sudah letih dan tidak mungkin berjalan jauh lagi.
“Ah, lebih baik aku kembali saja ke emperan toko itu. Aku rasa petugas-petugas itu tidak akan kembali lagi,” pikir Reva sembari melangkahkan kaki menuju toko yang tadi dia datangi. Di sana masih ada beberapa kardus yang tergeletak di depan emperan toko. Reva membaringkan tubuhnya di atas kardus, pikirannya melayang dengan tatapan menerawang.
“Mungkinkah Satya akan mencariku? Atau dia akan menurut pada papanya dan melupakanku? Bodohnya aku! Kenapa malam itu aku mau bercinta dengannya, sekarang semuanya hilang. Aku sudah menyerahkan kesucianku padanya. Ah, aku benar-benar bodoh!” Reva menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Hem, ada gadis cantik di sini. Lumayan, iya nggak, Bang?”
“Aduh, jarang-jarang nih pas lagi pengen bisa disalurkan, cantik lagi. Halo, Sayang." Reva membuka kedua telapak tangan yang tadi menutupi wajahnya. Matanya terbelalak melihat dua orang laki-laki yang tengah berdiri di depannya sambil tertawa dengan tatapan menakutkan.
Wajah Reva seketika pucat ketakutan menatap bergantian kedua laki-laki yang berdiri di hadapannya. “Si-siapa kalian? Mau apa kalian?” tanyanya terbata.
“Lah, dia langsung tanya mau apa, Bang? Kita mau muasin kamu, Sayang. Gimana, mau?” Kedua laki-laki itu tertawa terbahak menatap Reva, dengan tatapan seakan ingin menerkam mangsanya. Reva semakin ketakutan melihat tatapan kedua laki-laki itu. Dia mengedarkan pandangan ke sekitaran situ untuk mencari sosok orang yang mungkin bisa dimintai pertolongan.
“Nggak usah takut, Sayang. Kita akan main-main di sini, lihat tuh nggak ada orang kan? Atau kamu mau ke tempat lain?” tanyanya dengan senyuman menyeringai. Reva semakin takut dan bergidik ngeri mendengar ucapan-ucapan kedua laki-laki tersebut.
Tubuh Reva gemetar ketakutan, salah satu laki-laki itu berjongkok di depan Reva dan mencolek pipi Reva.
“Mau pakai gaya apa, Sayang? Kita berdua akan memuaskanmu,” ucapnya mengelus pipi mulus Reva.
“Jangan macam-macam, aku akan berteriak!” ancam Reva ketus merasa jijik. Dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk bicara.
Kedua laki-laki itu tertawa. “Coba teriak aja yang keras. Lihat, nggak ada orang di sini, Cantik!” Senyuman menyeringai terlihat dari keduanya. Sorot matanya menakutkan. Ingin rasanya menghilang dari sana atau waktu berhenti saat itu juga. Namun, Reva sadar hal itu tidak mungkin terjadi.
Dia berpikir keras bagaimana cara terbebas dari kedua laki-laki jahat yang hendak berbuat tidak senonoh padanya. Reva terus terpojok karena menghindari colekan tangan jahil laki-laki yang berjongkok di hadapannya. Saat itulah, dia meraba ada benda keras yang dipegangnya. “Batu,” batinnya. Dengan cepat, Reva berdiri dan memukulkan batu tersebut ke kepala laki-laki yang berjongkok di depannya. Lalu berlari dengan cepat ketika temannya lengah di tengah tawanya.
“Aduh, kurang ajar! Gadis itu kabur, kejar!” Kedua laki-laki itu berlari mengejar, meski salah satunya memegangi kepala yang bercucuran darah akibat pukulan batu.
“Cepat tangkap gadis kurang ajar itu!” teriak laki-laki yang terluka, seakan menyimpan dendam padanya. Reva terus berlari tanpa menengok ke belakang, kakinya yang sakit akibat perjalanannya sudah tidak dirasakan lagi. Entah kekuatan dari mana yang dia dapatkan hingga dia bisa berlari kencang bak seorang atlit.
Dia berlari menuju jalanan dengan harapan ada orang yang menolongnya, hingga terdengar sirine mobil petugas yang tadi malah dihindarinya. Kini Reva malah merasa lebih aman jika berada di antara petugas itu. Dengan sigap, dia berteriak memanggil mobil petugas dan memberhentikannya. Kedua lelaki yang mengejarnya terlihat berhenti berlari karena takut ketahuan hendak berbuat jahat saat mobil petugas menghampiri Reva.
“Tolong!” teriaknya. “Tolong tangkap aku, Pak!” teriak Reva dengan nafas terengah-engah, saat mobil tersebut berhenti. Beberapa petugas heran kenapa gadis di depannya ini malah ingin terciduk, padahal biasanya para gelandangan akan lari kocar-kacir saat mendengar sirine mobilnya.
Beberapa petugas saling bertukar pandang, menatap Reva yang berpenampilan lusuh. Nafasnya terlihat tersengal-sengal seperti habis berlari jauh.
“Aku harus naik ke mobil, kan, Pak?” tanya Reva setelah mengatur nafas dan menguasai dirinya.
“Kamu serius mau naik mobil ini? Dilihat dari penampilanmu sepertinya kamu bukan gelandangan hanya terlihat lusuh karena keringat saja,” ujar salah satu petugas memperhatikan penampilan Reva dari atas hingga ke bawah.
Reva nyengir. “Saya harus ikut, Bapak. Nanti akan saya ceritakan masalahnya di kantor. Saya mohon, Pak, tolong bawa saya!” pintanya dengan tatapan memelas. Petugas saling bertukar pandang. Hingga kemudian mengiyakan permintaan Reva.
"Syukurlah, aku bisa lolos dari dua laki-laki jahat itu. Tapi bagaimana nanti, siapa yang bisa mengeluarkan aku dari petugas-petugas ini," batin Reva masih tidak tenang karena dia tahu hidupnya setelah ini akan berjalan dengan berat.