“Reva! Papa mau bicara, ayo ke ruang kerja!” teriak Chandra dengan suara bariton. Suara itu terdengar sampai memenuhi seisi ruangan dan tatapannya tampak begitu sinis saat melihat Reva sedang duduk di ruang keluarga. Chandra melangkah menuju ruang kerja yang letaknya tidak jauh dari ruang keluarga diikuti Reva. Dia terlihat ketakutan mengingat nada bicara dan sorot mata tajam bapak mertuanya itu.
Chandra membuka pintu ruang kerja, lalu melangkah masuk ke dalam menuju meja kerja yang terletak di sudut ruangan. Dia terlihat mengambil amplop putih dan mengeluarkan isinya. Reva hanya berdiri berhadapan dengan jantung berdegup tak beraturan.
“Ini! Kamu tau ini?” teriaknya mengacungkan isi amplop itu, Reva bingung dan hanya bisa menggeleng pelan. Tapi dari sorot mata Chandra, Reva yakin pasti ada hal besar yang akan diungkap.
Dia melemparkan amplop putih kepada Reva dengan kasar. “Ini, lihatlah sendiri!”Terlihat kilat kemarahan di matanya. Dengan tangan gemetar, Reva mengambil dan mengeluarkan isi amplop tersebut. Mata Reva membola sempurna tatkala melihat kertas putih dengan tanda tangannya.
“I-ini, su-surat perjanjian kontrak ...,” lirih Reva tidak melanjutkan perkataannya. Seketika tubuhnya membeku dengan mulut terkunci tak bisa berkata apa-apa, dia menunduk dalam-dalam merasa takut karena kesalahan yang dilakukannya.
Mata Chandra membesar, menyorot tajam menatap Reva yang menunduk dalam-dalam. Pantulan wajahnya di cermin menampakkan kekecewaan. “Jadi ... selama ini kamu mempermainkanku?” bentak Chandra lantang. Tangan Reva gemetar, meremas ujung bajunya. Seketika wajah Reva berubah pucat dengan bibir terkunci. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya untuk membela diri, karena dia memang salah.
“Kenapa diam?” bentak Chandra dengan mata melotot. Tubuh Reva gemetar ketakutan, keringat dingin mulai keluar membasahi tubuhnya. Air mata yang di tahan kini tumpah membasahi pipi mulusnya.
“Ma-maafkan aku, Papa. Aku tidak bermaksud melakukan …,” ujarnya lirih, menatap sendu memohon ampunan.
“Cukup! Jangan panggil aku dengan sebutan, Papa! Aku tidak sudi mempunyai menantu sepertimu, melihat wajahmu saja sudah muak!” teriak Chandra dengan mata melotot dan tangan mengepal menggebrak meja kerjanya.
Air mata Reva terus mengalir di pipinya. “A-aku benar-benar tidak ada maksud membohongi, Papa. Semua terjadi begitu cepat dan aku bisa jelaskan semuanya,” sesalnya di sela-sela isak tangisnya.
“Pergi dari sini! Aku tidak sudi melihatmu!” bentaknya memalingkan wajah. Terlihat kekecewaan yang dalam di matanya.
“Ta-tapi, Pah, a-aku melakukan itu karena sangat membutuhkan uang. Namun, sekarang semua berbeda. Aku mencintai Satya dengan sepenuh hatiku.” Reva terus memohon dengan air mata yang semakin deras mengalir membasahi pipinya.
Chandra hanya bergeming dan sama sekali tidak tersentuh dengan air mata yang dikeluarkan Reva. “Diam! Aku tidak mau mendengar alasan apa pun untuk sebuah kebohongan! Aku muak melihatmu, pergilah!” usir Chandra kasar. Reva terus menangis dan memohon.
Hingga akhirnya, dia menyerah dan tidak mau berkata apa-apa lagi. Dia tahu bapak mertuanya sedang marah. Dia juga tak mungkin membela dirinya, karena jelas dia salah. Reva hanya bisa menangis tersedu dan menyesali semuanya.
Hanya kata maaf yang keluar dari mulut Reva berkali-kali.
“Aku benar-benar minta maaf, aku ....”
“Pergilah!” bentak Chandra dengan tatapan nyalang. Reva tak berani membantah, tapi dia juga tidak kuasa beranjak dari ruangan itu. Kakinya terasa kaku tak bisa digerakan, hanya derai air mata dengan tangisan yang pecah terdengar di ruang kerja. Chandra semakin muak dan geram melihat Reva yang masih berdiri di hadapannya.
Hembusan nafas kasar keluar dari mulutnya. “Berapa uang yang kamu butuhkan untuk menandatangani surat perceraian?” tanyanya dengan tatapan mengintimidasi. Reva mendongak, menatap manik mata Chandra. Dia seakan tak percaya dengan pertanyaan yang terlontar dari mulut bapak mertuanya yang selama dua bulan ini dikenalnya baik.
“Aku akan menandatangani tanpa minta imbalan, Pah!” sahut Reva di sela-sela isak tangisnya.
Chandra menajamkan tatapannya. “Bulshit! Bukankah kamu menikah juga demi uang?” bentaknya dengan suara keras.
“Aku memang salah, Pah. Saat itu aku tidak berpikir panjang karena sedang butuh uang. Aku tidak akan mempersulit perceraian, kalau itu yang Papa inginkan. Aku akan menandatangani tanpa syarat apa pun,” sahutnya lirih.
Reva menarik nafas dalam-dalam. Dia merasa hatinya hancur, seakan dunia runtuh mendengar keinginan bapak mertuanya. Padahal dia dan Satya sudah melewati batas dan melakukan hubungan suami-istri yang seharusnya tidak dilakukannya.
“Baiklah, aku harap kamu tidak mempersulit semuanya. Karena jika kamu persulit, tentu itu tidak baik untukmu juga. Satu lagi, kamu harus keluar dari perusahaan! Aku akan memberikan kompensasi asal kamu diam!” teriaknya lantang.
“Urusan kita sudah selesai, pergilah dari rumah!” usir Chandra. Reva masih berdiri dan menangis. Chandra sangat geram melihatnya. Hingga dia pun melangkah menghampiri Reva dan menyeretnya keluar dari ruang kerjanya.
“Ayo, keluar dari rumah!” bentak Chandra sambil menyeret Reva keluar dari rumah. Reva terus menangis memohon. Bi Lastri terkejut melihat Reva yang diseret paksa oleh Chandra keluar dari ruang kerja dengan berderai air mata. Terlihat Reva terus menangis saat Chandra menyeretnya keluar rumah. Bi Lastri hanya bisa menatapnya tanpa bicara apa pun, dia hanya seorang pelayan di rumah itu. Meski dia cukup dekat dengan Reva, karena istri tuannya itu senang memasak dan membantunya di
dapur. Namun, tetap saja dia adalah pelayan yang tidak boleh mencampuri urusan majikannya.
Tangan Reva dicengkram dan ditarik paksa. “Papa, aku mohon maafkan aku. Biarkan aku menunggu Satya,” pinta Reva di tengah isak tangis. Chandra menghentikan langkah dan melepaskan pegangan tangannya lalu mendorong tubuh Reva keluar rumah saat sudah berada di ambang pintu.
Reva jatuh tersungkur, akibat didorong keluar rumah. Air matanya mengalir deras.
“Apa katamu? Bertemu Satya? Dengar, aku tidak akan membiarkanmu bertemu dengan anakku lagi. Aku tidak akan membiarkan wanita jalang sepertimu menguasai Satya. Sekarang, pergilah!” usir Chandra seraya membalikan tubuhnya dan menutup pintu rumah dengan kasar.
Reva yang jatuh tersungkur, mencoba untuk bangkit dengan kekuatan yang dimilikinya. Dia melangkah gontai menuju pos satpam kediaman keluarga Mahendra dan minta kepada satpam untuk di bukakan pintu pagar.
Satpam penjaga agak bingung, melihat majikannya minta dibukakan pintu pagar dengan kondisi yang memprihatinkan. Deraian air mata terus mengalir deras dengan tangisan terisak.
Hingga satpam mendapat telpon dari tuannya, untuk membukakan pintu pagar dan mengusir Reva. Dia melarangnya berada di sekitaran rumah. Meski terkejut, sebagai pegawai tentu saja dia harus mengikuti perintah atasannya. Tanpa bicara, dia membuka pintu pagar dan membiarkan Reva keluar. Reva keluar dan masih berdiri di luar pagar rumah. Pikirannya kacau, tidak tahu harus pergi kemana.
“Maaf, Nyonya, pak Chandra bilang Nyonya disuruh pergi dan tidak boleh masih berada di sini!” usir satpam, terlihat jelas dari sorot matanya dia sebenarnya tidak tega mengusir Reva. Namun, karena pekerjaan dia harus melaksanakan perintah
majikannya.
“Iya, Pak,” sahut Reva lirih dengan penampilan yang kacau. Reva melangkah gontai meninggalkan area rumah Satya.
Cuaca malam itu gelap, sama dengan cuaca hati Reva yang gelap. Hatinya hancur, benar-benar hancur. Kesuciannya sudah direnggut Satya dan sekarang dia harus pergi meninggalkannya. Kehilangan kali ini membuatnya benar-benar terpuruk.
Banyak yang akan tersakiti, ibu dan Raya pasti akan sedih. Reva terus melangkah dengan air mata mengalir deras membasahi pipi mulusnya.