Empat Orang Aneh

1273 Kata
           Suara tembakan dan juga suara teriakan memekikan telinga di dalam area sekolah menengah atas itu terdengar saling bersahutan tanpa henti. Bahkan, ada pekikan kuat makin terdengar menakutkan membuat beberapa anggota militer regu ketiga yang sedang menunggu jadi makin tegang sekaligus gugup. Takut juga, tapi tidak ada kata menyerah dalam kamus mereka. Harus tetap maju, melawan para monster yang sedang menunggu mereka di dalam sana.  Rendy Diago—selaku ketua komandan para anggota militer berdiri tegap di samping. Tatapannya menajam dengan ekspresinya yang makin keruh, dingin dan juga tanpa ekspresi. “Sepertinya anggota regu dua juga gugur, komandan.” Lapor salah satu anggota membuat pemuda itu memejamkan mata sebagai balasan. “Persiapkan diri kalian, sepuluh menit lagi giliran regu kalian.” Tukasnya kaku yang langsung direspon oleh para anggotanya. Rendy menarik diri dari barisan, merogoh ponselnya pada saku seragam militer. Alisnya bertautan mendapat telepon dari orang terpenting pertama di negaranya— presiden. Entah bagaimana jalan ceritanya, orang terpenting pertama itu bisa meneleponnya tanpa perantara. “Ketua komandan Rendy Diago?” “Siap, dengan ketua komandan Rendy Diago.” Balas pemuda itu hormat, berbicara tegas khas anggota militer. “Tarik semua anggota yang sudah ke sana, yang sudah gugur biarkan saja. Karena sekarang para monster yang kau dan anggotamu katakan … sudah menyebar ke seluruh pusat kota.” Rendy sontak melebarkan mata kaget mendengar penuturan sang presiden. “Di depan istana memang ada banyak yang berjaga, tapi saya tidak bisa tenang karena regu inti ditugaskan bersama kau.” Lanjut presiden di seberang sana. “Daripada harus membinaskan mereka satu-persatu di sekolah, lebih baik kita melakukan sesuatu hal yang mungkin bisa menyebabkan resiko besar.” Jeda presiden sesaat, “bakar semua area sekolah atau … lemparkan granat menggunakan helicopter.” Rendy terdiam beberapa menit, “anggota saya beberapa masih ada di dalam, dan saya yakin mereka ada yang bersembunyi di dalam sana.” Ujar pemuda itu yakin, berusaha meyakinkan presiden yang sontak mendecak samar. “Anggota kemiliteran udara yang akan mengambil alih, kau hanya perlu menarik anggotamu yang selamat sekarang agar kembali ke barak.” Rendy belum sempat membalas, namun presiden sudah mematikan teleponnya lebih dulu. Laki-laki berahang kokoh itu memasukan kembali ponselnya, menyempatkan mematikannya agar tidak ada yang bisa menghubunginya nanti. Karena sekarang, Rendy akan melakukan apa yang menurutnya benar. Rendy melangkah maju ke depan semua anggota, berdiri tegap dengan mata dinginnya yang khas. “Barusan saya menerima telepon dari bapak presiden, beliau memerintahkan kepada saya selaku ketua komandan kalian untuk menarik semua anggota yang tersisa atau pun selamat untuk kembali ke barak.” Jelas pemuda itu sembari mengedarkan pandangannya ke semua anggota. “Bapak presiden memerintahkan kita semua untuk kembali dan meninggalkan anggota lain yang mungkin saja masih ada dan selamat di dalam sana.” Lanjut Rendy menggigit-gigit rahang kuat. “Para monster yang kita kira hanya ada di dalam sekolah sana, ternyata sekarang sudah menyebar hampir ke seluruh pusat kota. Oleh karena itu, bapak presiden memberi titah agar kita lebih fokus ke monster yang dekat dengan istana kepresidenan.” Jelas Rendy sejujur-jujurnya membuat para anggotanya mengerjapkan mata kaget, tidak menyangka akan mendengar perkataan blak-blakan ketua komandan mereka itu. “Solusi dari bapak presiden untuk monster yang di dalam sekolah, hanya satu … mendaratkan bom ke semua sudut sekolah menggunakan helicopter. Bagian angkatan udara yang bertanggung jawab akan tugas ini.” Ujar Rendy sembari mengambil senjata apinya dan menarik pengamannya, “saya tidak akan bisa meninggalkan begitu saja anggota yang lain di area sekolah. Kalau kalian mau kembali ke barak silahkan kembali sendiri dan sampaikan salam hormat saya kepada bapak presiden,” lanjutnya dengan memejamkan mata sesaat. “Tapi, jangan harap beliau menginginkan permintaan maaf dari saya. Karena saya tidak akan melakukan itu,” anggota lain makin kaget melihat tingkah laku Rendy yang berbeda dari biasanya. Pemuda itu biasanya tidak peduli dengan orang sekitar. Egois dan sangat menaati aturan yang ada. Tidak bisa mentolerir sedikit pun, kesalahan para anggota. Rendy membalikan badan, meninggalkan anggota regu ketiga yang melongo di tempat mereka berdiri. Pemuda itu dengan sigap membuka gerbang dan segera menguncinya kembali seperti biasa. Karena gerbang yang kini ditumpuk oleh karung-karung berisi tanah jadinya sulit untuk para monster itu melihat keadaan di luar sekolah. Karena itu, jalan keluar mereka semua terblokir. Dan akhirnya mereka semua hanya bisa mondar-mandir di area sekolah sampai menemukan mangsa baru. Alis Rendy bertautan saat sudah berada di halaman parkiran sekolah menengah atas itu, suasan benar-benar hening. Tidak seperti tadi, banyak suara tembakan dan juga suara teriakan ketakutan yang berharap akan ada yang datang membantu mereka. Rendy bersembunyi di balik pilar, tatapannya menajam saat mendengar suara menakutkan itu kini terdengar dan derap lari seakan datang menyerbunya. Ia langsung menembakan senjatanya pada beberapa monster yang masih jauh di depannya. Pemuda itu mendecak samar, karena para monster itu makin datang meluap dan bergerak seperti ombak air laut. Tidak bisa dihindari, hanya satu pilihannya sekarang yaitu melawan dan menghabisi sebisanya. Rendy memerjapkan mata kaget, saat senjatanya kehabisan peluru. Ia berusaha menarik-narik pelatuknya namun hasilnya tetap sama. Tidak ada peluru di dalam senjata membuat ia terpaksa berlari mencari sesuatu yang bisa ia jadikan senjata. Langkahnya terhenti saat melihat senjata api yang tergeletak di depannya, sepertinya senjata salah satu dari anggota yang sudah gugur. Tangannya berusaha meraih cepat apa yang ada di depannya, namun sebuah tangan lebih dulu mengambilnya membuat mata pemuda itu membulat sempurna. Ia tidak mengenali sosok yang sudah beruban itu, apalagi wajah mereka seperti asing. Kenapa Rendy menyebutnya dengan ‘mereka’— karena mereka lebih dari satu orang. Pemuda itu makin tidak paham, saat salah satu dari orang-orang asing itu menarik lengannya pergi dari kejaran para monster yang hampir menyerangnya. Kini Rendy dan empat orang itu bersembunyi di salah satu ruangan yang ia tidak ketahui ruangan apa. Tidak penting juga ruangan apa ia tempati saat ini, yang terpenting adalah identitas orang-orang yang bersamanya sekarang. Ketiga dari mereka nampak memakai baju aneh seperti baju-baju kerajaan, lebih tepatnya baju pasukan kerajaan. Sedangkan, salah satunya memakai hoodie putih dengan bahu lebarnya yang membuat Rendy bertanya-tanya. Sebenarnya mereka datang dari dunia mana. “Pangeran, kenapa kita harus bersembunyi?” Rendy tidak sadar mendelik samar, mendengar salah satu dari mereka memanggil temannya dengan sebutan pangeran. Kata ‘pangeran’ itu bukanlah nama melainkan seperti tahta di kerajaan-kerajaan begitu. Terdengar aneh dan menggelikan mendengar mereka yang masih sempatnya main-main raja-rajaan. “Aku kan sudah bilang, jangan memanggilku dengan panggilan seperti itu. Aku bukanlah Yatara, aku ini hanya manusia. Yatara itu darah biru sedangkan, aku darah kotor.” Kata pemuda itu masih sempatnya berceletuk asal. “Darah kotor?” “Kau pasti tidak paham humor manusia, jadi kau diam saja.” Rendy makin mengernyitkan dahi tidak paham, sebenarnya mereka ini siapa. Kenapa obrolannya makin lama makin membingungkan dan terdengar aneh. “Edgar, sepertinya kau harus turun tangan.” Rendy sontak menolehkan kepala ke arah sosok yang menampakan ekspresi lempengnya. Pemuda itu juga memilik rambut yang sudah beruban, atau memang itu konsep mereka. Ingin terlihat seperti laki-laki luar negeri. “Jangan, terlalu bahaya kalau maju tanpa senjata seperti itu.” Tahan Rendy pada sosok bernama Edgar di sampingnya, “tenang saja, dia bahkan bisa membelah batang pohon.” Rendy tidak mengerti apa yang mereka bicarakan dan lelucon apa yang berusaha mereka lontarkan. Yang pasti, Rendy tidak ingin sampai ada yang menjadi korban lagi setelah anggota-anggotanya. Rendy memandangi punggung pemuda yang bernama Edgar di depannya yang berjalan tanpa rasa takut. Perlahan pemuda itu menjulurkan tangannya ke samping kanannya membuat sebuah pedang muncul kini. Bukan hanya itu, sosok jangkung itu langsung maju dan menebas beberapa monster yang kembali datang menyerang. Tebasan kuatnya tidak hanya menumbangkan satu orang tapi beberapa orang. “Sebenarnya … kalian ini siapa?” Gumam Rendy entah bertanya pada siapa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN