Upaya Melawan Monster

1905 Kata
           Virga melangkah pelan memasuki altar istana yang terlihat hancur berantakan, masih ada bekas-bekas darah para pasukan kerajaan dan juga beberapa korban yang berserakan di sekitar altar. Tubuh mereka rata-rata sudah kaku mengering seperti pohon yang kekeringan. Laki-laki yang terkenal dengan wajah tampannya itu mengamati sekelilingnya dengan tatapan dinginnya. Bibirnya perlahan tersenyum, merunduk samar lalu mendongak ke atas dimana ada sosok Raja Samuel yang kedua kaki dan tangannya terbelenggu. “Luar biasa juga ya penyakit yang paman derita. Sampai semua orang bisa semenakutkan ini, dan luar biasanya mereka saling menyerang satu sama lain karena insting membunuh mereka seakan muncul di permukaan.” Gumam Virga sendiri, memandangi Raja Samuel yang mengeluarkan suara aneh seperti para monster tadi. Tangannya pun, berusaha bergerak ingin menyerang Virga di lantai dasar. Dengan mulutnya yang terbuka lebar, seperti sudah membayangkan tubuh Virga dilahapnya habis. Seperti itu yang Virga lihat—seperti monster sungguhan. “Apa paman tahu, apa yang terjadi pada Yatara sekarang?” Pemuda itu kembali membuka mulut, mengobrol dengan Raja Samuel yang mengerti omongannya saja tidak. “Ternyata dia sekarang sedang terjebak di dalam tubuh seorang manusia. Dia sengaja bersembunyi di sana, mungkin agar paman dan aku tidak bisa menemukan dia kali ya?” Gumam sepupu Yatara itu tersenyum miring. “Kasihan sekali manusia rendahan itu, dijadikan objek dan alat Yatara untuk bertahan hidup.” Katanya lagi terkekeh pelan, menggeleng-gelengkan kepala heran. “Tapi, aku tidak bisa mengerti kenapa Yatara dan manusia itu bisa seenaknya muncul tanpa aba-aba.” Jeda sosok berjubah merah maroon itu mengernyitkan dahi, “maksud aku … kenapa Yatara masih bisa memakai tubuh anak itu seperti tubuhnya sendiri. Dan bahkan, bisa menguasai akal pikiran tubuh pemuda malang itu.” Lanjut Virga kini melangkah maju, berdiri di salah satu lantai. Lalu, lantai itu bergerak naik ke atas. Posisi Virga tepat berada di depan kedua tangan Raja Samuel yang terjulur ke arahnya. Raja yang berubah menjadi sosok menakutkan itu masih berusaha ingin menyerang Virga—keponakannya yang berdiri di depannya dengan ekspresi santai saja. “Sampai kapan pun, aku tidak akan bisa menjadi penerus Eternal Ice, kan paman?” Tanya pemuda itu tersenyum miris, “makanya aku melakukan ini semua, kalau aku tidak bisa memiliki Eternal Ice … berarti orang lain juga tidak berhak. Walau itu Yatara, sekali pun.” Katanya penuh dendam, “harusnya Yatara bisa melihat apa yang sedang paman alami sekarang.” Lanjut raja Eternal Ice yang baru itu dengan tersenyum penuh arti. Virga menegakan tubuh saat mendengar seseorang melangkah mendekat dari belakangnya. Alisnya terangkat tinggi, kemudian menoleh sekilas pada laki-laki berjenggot putih panjang itu. “Kau selamat juga ya, Billy?” Billy tidak menjawab, menipiskan bibir sesaat agak kaget melihat Raja Samuel saat pertama kali memasuki altar kerajaan tadi. Saat menaiki lantai pun, Billy tidak bisa mengalihkan pandangannya sama sekali. Masih terkejut dengan penampakan sang raja yang dulunya terkenal tampan dan berwibawa. Kini menjadi seorang monster yang bisa menghasilkan banyak monster lainnya hanya dengan sebuah gigitan. Air liur yang masuk pada luka orang yang digigitnya membuat orang yang terkena gigitan perlahan akan berubah menjadi monster. Atau yang biasa manusia kenal dengan sebutan zombie. Tapi, yang masih membingungkan adalah ada beberapa orang yang terkena gigitan tidak bertranformasi seperti monster lainnya. Hanya mati dengan tubuh kaku karena kehabisan darah. “Apa kau pernah bertemu dengan Yatara?” “Pangeran Yatara datang ke Eternal Ice?” Tanya Billy kaget, menolehkan kepala pada Virga yang sudah mendudukan diri pada salah satu kursi kesayangan Raja Samuel. Duduk dengan menyilangkan kaki, membuat Billy yang sedang bersamanya jadi merasa tidak nyaman. Karena kursi tersebut adalah kursi favorite raja yang siapapun tidak sembarangan boleh menyentuhnya. Walaupun itu seorang Yatara—pangeran mahkota. “Bagaimana kalau kita kembali membangun Eternal Ice dengan aturan yang kita buat sendiri?” “Aturan yang dibuat sendiri?” Tanya Billy tidak sepenuhnya paham dengan apa yang Virga lontarkan. “Ya, kita bisa kembali bangun kerajaan ini tanpa campur tangan pamanku dan juga Yatara. Benar-benar hanya aku dan kau,” ujar Virga tersenyum penuh arti membuat Billy merunduk samar seakan merenung. Lelaki itu merasa dilemah dan tertekan sekaligus, karena di satu sisi dia masih memikirkan posisi Yatara sebagai pangeran. Sedangkan, di sisi lain— Billy merasa dihargai keberadaannya saat bersama Virga— sang raja baru. “Terserah kau mau menjabat sebagai apa, aku akan mengabulkan semua permintaanmu.” Kata pemuda itu mengiming-imingi Billy yang sedang dilanda kegundahan. “Bagaimana, jangan terlalu kelamaan mikir. Karena kita harus segera menyerang kerajaan tetangga, karena kita punya senjata andalan sekarang.” Ujar Virga tersenyum miring, beranjak dari tempat duduknya sembari mendekat pada Raja Samuel yang masih terbelenggu dengan tubuhnya yang nampak mengerikan. “Senjata apa?” ‘Kau bertanya karena beneran tidak tahu, atau hanya pura-pura polos saja?” Tutur Virga mencibir, pemuda itu pun mengahampiri Raja Samuel yang sudah ingin menyambutnya dengan gigi-gigi tajamnya. Billy yang berdiri agak jauh dari keduanya, membulatkan mata kaget saat tubuhnya tertarik kuat dan kini lehernya berada dalam genggaman Virga. Pemuda itu dengan santainya mendorong wajah Billy ke arah Raja Samuel. Hanya berselang beberapa inci, seberapa kuat pun Raja Samuel bergerak maju. Tetap saja, tubuhnya berada di tempat yang sama. “Kalau kau berkhianat, kau akan aku jadikan umpan dan makanan paman.” Katanya dengan ekspresi santai, tersenyum saja membuat Billy makin merasa merinding ketakutan. Daripada ekspresi serius atau pun dingin, Virga lebih terlihat bersahabat kalau sedang bermuka datar. Beda kalau pemuda itu berwajah santai atau pun melempar senyum, seakan ada bencana di balik senyumnya. Jadi, sebisa mungkin Billy tidak ingin berbuat kesalahan. “Kau tahu, kenapa aku menyukaimu dari pada anggota kerajaan yang lain?” Tanya Virga kini melepaskan leher Billy dan menjauhkannya dari jangkauan Raja Samuel. “Kau itu serba bisa. Kekuatanmu juga begitu luar biasa, sampai setara dengan anggota kerajaan. Padahal kau hanyalah rakyat jelata yang Yatara angkat sebagai seorang guru.” Sindir pemuda itu menggelengkan kepala heran, “hidupnya Yatara sangat menyedihkan ya, ayahnya sekarang menjadi monster, dan sekarang orang terpecaya sekaligus gurunya menghianatinya hanya karena sebuah tahta.” Sambung Virga terkekeh pelan. “Apa tidak ada pembahasan lain yang bisa dibicarakan. Kenapa harus menyinggung pangeran Yatara yang tidak ada di sini?” Kata Billy protes, tidak suka mendengar Virga menjadikan Yatara sebagai bahan candaan. Sekali pun, Billy sekarang sedang berhianat. Bukan berarti, Billy juga merasa senang mendengar seseorang membicarakan hal yang tidak baik tentang pangeran mahkota. Sekali pun, itu adalah Virga— raja baru Eternal Ice. “Baiklah, sepertinya kau memang sangat menyukai muridmu itu ya?” Billy tidak menanggapi, hanya membuang muka ke samping dengan ekspresi masam. “Tujuan pertama kita adalah ke Edelweish. Bertemu dengan Ratu Shaniell untuk mengambil sesuatu di sana.” Kata Virga menoleh sekilas pada Billy yang langsung melebarkan mata kaget. Sudah bisa menyimpulkan apa yang akan pemuda itu lakukan nantinya. Tapi, Billy berusaha untuk berpikir positif. “Jangan bilang, kau akan … mengambil bunga abadi di sana?” Virga tersenyum saja, tidak merespon dengan baik apa yang Billy tanyakan. Karena senyuman misterius Virga seperti hendak merencakan sesuatu. Apalagi kalau mau mengambil bunga abadi, berarti pemuda itu memang berniat ingin menghancurkan Eternal Ice tanpa sisa. *** Elma duduk memeluk lutut di sudut kelas dengan tubuh gemeteran. Sebisa mungkin ia berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Tapi, tetap saja bulir hangat itu jatuh perlahan pada kelopak mata dan menyentuh kedua pipinya. Galang dan Jesya juga berada bersamanya di ruangan yang merupakan kelas kosong yang sudah tidak terpakai itu lagi. Yang hanya diisi dengan kursi-kursi rusak dan juga meja yang dipenuhi dengan coretan-coretan. Ketiga remaja itu kini terjebak di dalam kelas dengan para monster yang masih berlalu-lalang di koridor seakan mencari keberadaan mereka. Padahal Galang, Jesya dan juga Elma kini bersembunyi di balik tembok. Berharap para monster penghisap darah itu segera pergi meninggalkan mereka di sana. “Apa kalian akan percaya kalau aku mengatakan mereka adalah zombie?” Jesya lebih dulu berbicara, berbisik pada Elma dan juga Galang yang sontak menoleh padanya. “Kau kira kita sedang syuting Train to busan film korea?” Sahut Elma tidak bersahabat, “terus apa sekarang, kalian berdua lihat sendiri bagaimana murid-murid dan juga guru berubah dalam beberapa jam saja. Kalau bukan zombie mereka ini apa?” Balas Jesya mengerjapkan matanya dingin membuat Elma memutar mata jengah. Tidak setuju dengan apa yang Jesya katakan. “Kalau mereka beneran zombie, apa kau punya rencana untuk menghentikan mereka atau mengembalikan mereka seperti keadaan semula?” Sahut Galang kalem membuat Elma mengeraskan rahang, selalu saja Galang berpihak pada Jesya. Entah dulu atau pun sekarang. “Aku bukan tuhan yang bisa merubah mereka menjadi normal lagi, mungkin yang akan bisa kita lakukan adalah … mencegah mereka menjadi lebih banyak lagi.” Jelas gadis yang memiliki poni tipis pada keningnya itu. “Dengan cara?” “Bakar mereka?” Sebelum Jesya menjawab, Elma lebih dulu menebak apa yang akan gadis itu katakan. Jesya pun, langsung mengangguk membenarkan. “Bukankan ini namanya percobaan pembunuhan?” Kata Elma lagi masih tidak setuju, menentang pendapat Jesya. “Kalau kau tidak suka dengan apa yang aku katakan. Coba kau jelaskan apa yang kau rencakan, apa yang bisa kita lakukan untuk mereka semua di luar sana yang bisa saja menyerang orang-orang di luar sekolah ini.” Tegas Jesya sampai berdiri kini membuat Galang langsung sigap menarik kembali tangan gadis itu agar tetap pada posisinya, bersembunyi bersandar pada dinding tembok kelas. “Monster-monsternya masih ada di luar,” bisik Galang pada Jesya yang langsung menepis tangan pemuda itu. “Mereka semua masih teman-teman kita. Dan kau dengan gilanya ingin membakar mereka seperti sampah yang tidak berguna,” “Karena mereka itu monster.” “Itu kan cuma spekulasi kau saja, tidak semuanya benar.” Jesya memejamkan mata pelan berusaha bersabar menghadapi Elma yang keras kepala. Tetap pada pendiriannya yang sama sekali tidak bisa menerima pendapat orang lain. Jesya mendecak samar, berdiri sesaat sembari mengedarkan pandangannya mencari sesuatu yang bisa ia jadikan senjata. Karena kalau keluar dengan tangan kosong sekarang, bisa saja mereka dalam keadaan bahaya. Dan hanya bisa menjadi santapan para monster yang kelaparan di koridor kelas. “Kau yakin akan keluar?” Tanya Galang kini berdiri di samping Jesya yang sudah sibuk merunduk mencari sesuatu di ruangan yang pengap itu. “Hm, emangnya sampai kapan kalian mau terus berada di ruangan ini?” Kata Jesya masih dengan ekspresi datarnya, khas perempuan yang terkenal dengan kepintarannya itu. “Kau bisa saja mati di luar, Jesya.” Sahut Elma kini berdiri, mengusap kasar bekas air matanya pada pipi. “Kau pikir, berada di dalam kelas ini tanpa melakukan apa-apa … kau tidak akan mati?” Jeda Jesya dengan mengerjapkan matanya dingin, “kau akan mati ketakutan di sini. Dan akan tetap menjadi pecundang karena hanya bisa bersembunyi selamanya di dalam sini.” Lanjut Jesya kini mengambil ikat rambutnya pada lengan kiri lalu mengeluarkannya. Kemudian menyisir dan mengumpulkan semua rambutnya menjadi satu. Menguncirnya tinggi, agar makin siap untuk menghadapi para monster di depan ruangan mereka berada. “Kalau kalian mau tetap sembunyi di sini, itu hak kalian. Tapi, jangan menghalangi aku yang ingin keluar dari sini.” Kata Jesya kini berdiri di depan pintu, memegangi sapu di tangan kanan. “Untuk pertama kalinya … aku ingin melakukan apa yang ingin aku lakukan, jadi … jangan coba-coba untuk menghentikan aku.” Sambung gadis itu membuat Elma dan Galang saling pandang sesaat, mendadak dilemah dengan apa yang gadis itu katakan. Kalau satu dua monster mungkin saja mereka bisa lawan, tapi ini lebih dari puluhan dan bahkan ratusan. Mereka hanya seorang murid, tidak bisa melakukan apapun selain belajar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN