Edgar masih menatap lurus, Theodoric yang tengah berdiri santai di hadapan para monster yang kini semua tumbang di lapangan. Tidak tersisa satu pun.
Kobaran pedang api milik Pangeran Yatara yang kini dipegang oleh Theodoric membuat Edgar makin terdiam lama. Entah sudah berapa kali, Yatara muncul dan menguasai tubuh Theodoric. Sampai menebas semua monster yang kini berserakan seperti daun kering di lapangan sekolah.
Sekolah Bhinneka itu kini menjadi lautan darah dengan monster-monster berseragam sekolah, militer dan juga seragam guru yang kini tidak bernyawa. Ada beberapa dari mereka yang kehilangan kepala akibat tebas pedang Pangeran Yatara.
Sadar atau tidak, monster yang berkeliaran tadi kini tidak terlihat lagi. Suara menakutkan yang sedari tadi membuat bulu kuduk meremang mendadak sunyi senyap.
Bagaimana tidak–– Theodoric langsung melesat maju saat melihat salah satu murid yang masih selamat ditindih oleh banyak monster di lapangan.
Pemuda itu melesat cepat bagai kilat, melindungi murid laki-laki yang nampak melongo di tempatnya karena Theodoric yang mendadak mengeluarkan pedang dengan cara yang tidak biasa.
Siapapun yang berada di situasi itu akan bingung sekaligus takut. Karena ada sosok aneh yang tidak mereka kenal, bisa memunculkan pedang dengan hanya menjulurkan tangannya ke udara.
Edgar juga melihat bagaimana iris mata Theodoric kembali berubah seenaknya. Tatapan dingin dan tajam yang selalu pangeran Yatara nampakan. Kini beralih pada Theodoric–– pemuda ceroboh dan yang selalu kelihatan bodoh itu.
Edgar kembali menaikan alisnya tinggi, saat melihat Theodoric tersentak kaget. Dengan mengerjapkan matanya pelan, dan iris matanya kembali normal. Iris kecokelatan yang memang milik pemuda itu.
"Eh? Buset, apanih? Kenapa semuanya ... mati?" Latah Theodoric kaget, melihat darah di sekitar tempatnya berdiri. Dan puluhan jasad yang berserakan di lapangan membuat pemuda itu meneguk ludah gusar.
Theodoric melangkah mundur, kembali terlonjak kaget saat tidak sengaja menginjak sepatu seseorang di belakangnya. "Kau ... siapa?"
Sosok Galang di depannya kini mengernyitkan dahi, menatapnya aneh. Perubahan ekspresi Theodoric membuat pemuda yang masih memakai seragam sekolah itu merasa kebingungan. Bagaimana bisa, sorot mata dingin yang sempat bertatapan dengannya tadi–– berubah menjadi sorot mata pecundang.
Jelas sekali tadi, pemuda di depannya itu menebas semua monster yang hampir melukainya. Dan sekarang, mendadak bertingkah ketakutan seakan tidak tahu apa yang baru saja dia lakukan.
"Kau yang membuat semua monster ini tumbang ya? Keren banget, lebih bisa diandalkan dari Edgar." Ujar Theodoric mengangguk-nganggukan kepala pelan, lalu berlari kecil ke arah Edgar, Edmund dan Halord yang menunggunya di parkiran sekolah bersama Rendy di sana.
Galang sendiri tidak bergerak sedikit pun, masih memandangi punggung Theodoric dengan tatapan anehnya.
"Kalian baik-baik saja, kan?" Tanya Theodoric mendekat dengan menoleh sekilas pada Rendy yang juga tidak mengalihkan pandangannya. "Kenapa kalian semua memandangiku seperti itu? Emangnya apa yanh sudah aku lakukan?" Decak Theodoric menyadari kini ia menjadi pusat perhatian orang-orang yang berhasil selamat di Bhinneka.
Edgar mendecak sama, "Kau bertanya karena beneran tidak tahu?"
Theodoric sontak menganggukan kepala cepat.
"Aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang terjadi. Apa yang sudah Yatara lakukan sampai aku tidak bisa menguasai tubuh aku sendiri." Katanya mengusap wajah kasar, "samar-samar aku hanya melihat semua monster tadi menatapku tajam ... seakan ingin melahapku bulat-bulat." Lanjut Theodoric mendadak serius.
Edgar yang mendengar penuturan pemuda itu menaikan alisnya tinggi, "apa maksudmu?" Theodoric lagi-lagi menghela napas kasar.
"Aku hanya melihat bayangan satu persatu monster yang tumbang di depan mata aku. Tapi, aku tidak tahu ... kenapa mereka semua seperti itu tanpa aku sentuh." Kata Theodoric lagi dengan muka kebingungannya, ekspresi yang berusaha ia kontrol sedari tadi. "Yatara benar-benar mempermainkan tubuh aku seenaknya. Dia muncul dan pergi tanpa permisi, menjadikan aku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa." Sambung pemuda yang memakai hoodie putih itu. "Aku jadi tidak mengenali diri aku sendiri, berusaha mengingat apa yang sudah terjadi ... tapi sayangnya ingatanku terbatas." Edgar mengeraskan rahang mendengar gerutuan Theodoric di depannya.
"Terus kau mau menyalahkan Pangeran Yatara sekarang?" Sahut pemuda berambut perak itu merasa tersinggung–– tidak menyukai kalau ada manusia seperti Theodoric yang mengata-ngatai sang pangeran.
"Emangnya Pangeran Yatara ingin terjebak di dalam tubuh kau? Tidak, sama sekali tidak." Tutur Edgar dengan tatapan dinginnya. "Harusnya kau bersyukur, bisa selamat berkat bantuan Pangeran. Bukannya menyalahkan," lanjut Edgar membuang muka ke samping, menatap cahaya matahari yang mulai terlihat.
Semua orang yang berada di dalam area sekolah Bhinneka–– lebih tepatnya yang masih selamat. Lumayan kaget melihat cahaya matahari yang mulai menampakan diri. Mereka tidak menyangka akan melewati hari yang begitu panjang dan menegangkan sampai saat ini.
Para monster yang kemarin-kemarin begitu agresif menyerang mereka semua, kini menjadi sebuah jasad. Tubuh para monter jtu dipenuhi dengan luka dan bercak-bercak darah di semua pakaiannya.
Edgar menaikan alis tinggi saat melihat di salah satu ruangan terlihat beberapa orang keluar dari sana. Dengan penampilan kacau dan juga muka pucat. Tiga orang dari mereka adalah anggota militer dan sisanya adalah murid Bhinneka.
Rendy yang melihat munculnya tiga anggotanya langsung menghampiri. Bisa bernapas lega, setidaknya masih ada anggotanya yang berhasil selamat.
"Bukannya tim regu tiga masuk bersama ketua?" Edgar menoleh sesaat, mendengar percakapan anggota militer di dekatnya.
"Tidak, mereka semua ditarik kembali oleh bapak presiden sendiri."
"Kenapa? Bukannya beliau sendiri yang sudah memberikan perintah agar kita ke Bhinneka, dan sekarang seenaknya menarik kembali anggota?"
"Hm, ternyata bukan di sini saja yang harus diurus. Para monster ini ternyata sudah menyebar ke seluruh pusat kota, bahkan menuju istana presiden." Edgar yang mendengar itu sontak melebarkan pupil matanya. Tidak menyangka penyebaran monster mematikan itu bisa secepat ini. Entah apa yang harus mereka lakukan, agar semua kembali kondusif dan aman.
Edgar dan semua orang yang masih berada di halaman sekolah Bhinneka tersentak kecil mendengar suara helikopter di atas langit di atas mereka.
Suara itu makin menganggu dan kemudian helikopter seperti menjatuhkan sesuatu. Rendy yang menyadari apa yang dilemparkan ke arah mereka itu langsung berteriak kuat membuat Edgar di sampingnya mengernyitkan dahi merasa aneh.
"Kita semua harus pergi dari sini, kalau tidak kita akan ma––"
DUAAAAARRR
Ledakan di lapangan sekolah membuat mereka sontak merunduk. Galang yang berada di pinggir lapangan jadi terlempar kuat sampai menubruk pilar di belakangnya.
"Apa-apaan ini, kenapa mereka menjatuhkan bo––"
DUAAAARRRR
Ledakan kedua terjadi di gedung dua, tidak jauh dari tempat Galang ambruk. Jesya yang melihat itu tanpa pikir panjang langsung berlari dan membantu Galang pergi dari sana.
"Cepat keluar dari sini!" Teriak Rendy mengarahkan, berlari ke arah gerbang sekolah berusaha membukanya. Namun, pemuda itu menegakan tubuh kaget. Karena gerbang kini terkunci dari luar.
"Kenapa?" Tanya Edgar mendekat, menyadari ekspresi panik pemuda itu yang kembali mengedor-ngedor gerbang dengan kuat. Tidak ada hasilnya, gerbang masih tertutup rapat.
Edgar kembali mengeluarkan pedangnya, berusaha menebas gembok. Namun, pedangnya malah memantul kuat dan terjatuh ke tanah.
Edmund dan Halord yang melihat itu jadi saling pandang, menyadari ada yang tidak beres dengan pengawal pangeran Yatara itu.
"Kalau kalian bisa bantu, buruan buka gerbangnya."
Dor
Semua tersentak kaget, menoleh ke samping kanan mereka. Ada Jesya di sana yang sudah menembakan gembok beberapa kali, dan gembok pun terbuka lebar kini.
Tanpa pikir panjang mereka keluar dari sana dengan terburu-buru. Namun, langkah mereka semua terhenti saat banyak senjata kini mengarah ke arah mereka. Dengan flash kamera yang membuat mereka semua menyipitkan mata karena silau.
Rendy memandangi beberapa orang di depannya, anggota kepolisian yang sudah memadati dan menghadang jalan mereka. Memakai seragam lengkap dengan bersenjata kini.
"Satu orang terluka, tolong bantu." Kata Rendy ingin melangkah maju, memapah Galang yang dibantu Elma dan Jesya tadi. "Jangan bergerak!" Titah salah satu orang di depan sana membuat Theodoric yang sedari tadi panik makin meneguk ludah kasar.
Baru saja mereka keluar dari bahaya para monster dan sekarang mereka harus dihadapkan dengan bahaya manusia-manusia yang nampak meragukan itu.
"Kalian semua terkena gigitan zombie, kan?"
"Tidak," sahut Rendy cepat membuat Theodoric mengangguk membenarkan, "siapa yang akan percaya. Jelas-jelas kalian semua baru keluar dari lautan monster yang sudah menewaskan ratusan murid dan puluhan guru." Jeda sosok itu terdengar menyebalkan, "dan kalian berharap saya akan percaya kalau kalian selamat dari para monster itu?" Lanjutnya menggelengkan kepala berulang kali, tersenyum miring membuat Edgar yang berdiri di sebelah Theodoric mengeraskan rahang kuat.
"Terus mau bapak sekarang apa? Datang memeriksa ada yang selamat atau tidak? Atau ... datang sebagai pahlawan kesiangan?" Tutur Jesya pedas membuat Theodoric secara tidak sadar mengacungkan jempol pada gadis SMA itu. "Padahal kalian sudah melihat kami berhasil selamat dari kematian. Bukannya menyambut dengan tim medis ... kalian malah menghadang kami seakan kami adalah monster." Lanjut gadis itu mengeraskan rahang.
"Kau masih murid sekolah, tapi bisa-bisanya memegang senjata yang bukan hak kau." Jesya tersenyum miring mendengar itu, "saya memakai senjata karena harus berhadap dengan para monster itu, bapak polisi yang terhormat." Balas Jesya tidak sadar meninggikan suara.
"Apapun situasinya, tidak dibenarkan seorang siswa memakai senjata api."
"Terus apa yang harus kami gunakan untuk dijadikan senjata? Anda berharap kami mati mengenaskan seperti ratusan murid di dalam sana?" Kali ini Theodoric yang menyela omongan salah satu anggota polisi. "Kalian kan bisa melawan dengan kedua tangan kalian, tanpa harus menggunakan senjata api." Theodoric menghela napas kasar, berusaha meredam emosinya yang mendadak muncul di permukaan. "Ternyata manusia memang menyedihkan ya," gumam pemuda itu ambigu.
Edgar yang menyadari perubahan suara Theodoric langsung mendekat. Dan menekan kedua tangan Theodoric yang ingin terulur ke samping, ingin menampakan pedangnya.
"Pangeran harus bisa menahan diri, kalau tidak ... Theodoric yang akan kena imbasnya." Bisik Edgar pada pemuda itu yang perlahan mengendorkan ekspresi dinginnya.
"Anak muda ini sedang terluka, cepat obati. Jangan berbicara yang tidak-tidak, sebelum aku patahkan lehermu." Katanya tanpa beban membuat Rendy, Jesya dan juga Elma menoleh kaget ke arah pemuda itu.
"Kau sekarang sedang mengancam polisi, di hadapan para media?" Alis Theodoric bertaut satu sama lain, tidak mengerti apa yang sosok di depannya itu katakan.
"Sudahlah, langsung periksa mereka semua. Sudah hampir sepuluh menit mereka berdiri di sini, tapi mereka tidak maju menyerang kan? Berarti mereka semua aman." Kata salah satu polisi lain, menaruh senjatanya dan melangkah maju membantu Galang yang terluka. "Kalian semua ikut saya, kalian harus diobati." Kata polisi itu lagi tersenyum ramah membuat Theodoric menganggukan kepala mengerti.
"Ternyata masih ada manusia baik, tidak seperti iblis satu itu." Katanya lagi menunjuk tanpa beban pada polisi tadi membuat sosok itu menatapnya tidak bersahabat.
Suara teriakan di barisan paling belakang membuat semua orang menoleh kaget. Apalagi kedua orang itu kini tiduran di tanah dengan posisi saling menindih satu sama lain. Beberapa saat kemudian, semua orang melebarkan mata kaget melihat salah satu kameramen itu menatap mereka dengan iris mata gelapnya. Langsung menyerang yang lain dan berakhir membuat sebagian besar kembali menjadi zombie.
Theodoric mengeraskan rahang kuat, menajamkan pandangannya kemudian bergumam lirih, "ternyata kemalangan ini masih belum berakhir, pertumpahan darah akan berlanjut sampai monster-monster ini mati." Katanya dengan perlahan melangkah maju bersama dengan Edgar, Edmund, Halord, Rendy dan juga tiga murid yang masih selamat.
Mereka akan kembali melawan, walau harus mempertaruhkan nyawa mereka. Karena mereka semua ingin melindungi diri mereka sendiri dan juga orang-orang yang mereka sayangi.