Peka Terhadap Suara

2240 Kata
           Karina mendesah panjang, duduk dengan menaruh tangan di atas lutut. Tatapannya mengarah pada monster-monster di bawah sana yang mondar-mandir tanpa arah dan tujuan. Ellard di sampingnya diam saja dengan mencengkram pedang di tangan, menurut saja saat Karina mengatakan untuk bersembunyi di atas atap kantor polisi. Selain karena mereka hanya berdua ditambah dua anak kecil, Karina juga tidak ingin mengambil resiko untuk mati di dunia manusia hanya untuk melawan para monster yang makin agresif itu. “Sampai kapan kita harus terus-terusan duduk menunggu di atas sini?” Tanya Justin menoleh sekilas pada Karina yang mengedikan bahu sebagai balasan. “Sampai mereka semua pergi ke tempat lain, kau harus berbicara pelan. Kalau tidak mau mati di tangan para monster itu,” tegur Karina pada Justin yang langsung mengatupkan bibir rapat. “Bukankah anda datang ke dunia manusia untuk menghabisi mereka?” Tanya Ellard pada Karina, dengan menunjuk para monster yang mondar-mandir di halaman kantor polisi dengan dagu. “Ya, tapi bukan berarti aku harus nekat melakukan hal bodoh.” Balas perempuan itu setengah berbisik. “Kekuatanku berkurang setengah dari biasanya saat berada di dunia manusia, suhu udara, cuaca yang tidak biasa, dan kepekaan cahaya di dunia manusia sangatlah minim. Kekuatan aku tidak bisa mengimbanginya, kalau aku nekat … aku akan pulang tanpa jasad, hanya nama.” Ujarnya mengerjapkan mata samar membuat Ellard menganggukan kepala mengerti. “Lalu, apa rencana anda selanjutnya?” Karina terdiam beberapa saat, memandangi puluhan monster yang belum beranjak pergi itu. “Kalau kita tidak bisa menggunakan kekuatan kita di dunia manusia ini, berarti kita harus terbiasa dan menggunakan sesuatu yang membuat manusia menjadi kuat.” Tutur Karina menolehkan kepala membalas tatapan Ellard. “Seperti?” “Senjata api?” Karina dan Ellard kompak menoleh pada Justin yang baru saja menimpali obrolan mereka berdua. “Senjata api?” Ulang Karina dengan mengernyitkan dahi bingung, “iya, dan senjata itu ada di dalam tempat yang kita duduki sekarang.” Jelas anak kecil itu yakin, “tapi, kalau turun ke bawah lagi … berarti harus berhadapan dengan mereka lagi, kan?” Kata Jennie tidak setuju, sampai sekarang masih gemetaran mengingat bagaimana monster-monster mendadak muncul dan hampir melukainya kalau saja dua orang yang bersamanya itu tidak sigap menolong. “Aku tahu, tapi kakak aneh itu seperti kehabisan energi. Dan dari tadi dia menyinggung soal kekuatan dan dunia manusia …. seakan dia bukanlah manusia.” Jeda Justin jadi merasa bingung sendiri, “intinya, mereka berdua sudah menolong kita. Bukankah kita juga harus menolong, aku tidak bisa hidup tanpa membalas budi.” Ujar Justin sudah berdiri menjulang tinggi membuat Jennie langsung menariknya kembali untuk duduk. “Terus kau akan turun sendiri, menjadi santapan mereka dan mati untuk membalas budi?” Ucap Jennie tidak setuju, masih mencengkram tangan Justin. “Terus menurut kau, duduk bersembunyi di atas atap dan dijemur di bawah matahari sekarang adalah solusi yang tepat, Jennie?” Jennie terdiam telak, mendengar kata sang kakak yang kini menatapnya seperti biasa— dingin khas seorang Justin. Walaupun diumurnya yang barus belasan tahu, tapi Justin sudah sedingin orang dewasa di sekitarnya. “Kau kira duduk di atas sini dan teru-terusan sembunyi, bisa menyelesaikan masalah? Tidak Jennie, kau hanya menambah masalah baru.” Kata Justin lagi dengan melepaskan cengkraman sang adik yang kini terlihat berkaca-kaca. “Kau tahu kenapa kau selalu kalah denganku?” Tanya Justin lagi dengan merunduk pada adiknya yang masih duduk, “karena kau selalu menjadi pecundang, bersembunyi dan terus-terusan mengatakan kau ingin mengalahkan aku … ingin mengambil alih peringkat aku yang sebagai juara?” Jennie mengulum bibir menahan bibirnya yang gemetaran, air matanya pun mengalir setetes demi setetes lalu berlinang deras tanpa henti. “Jangan mimpi kalau kau terbiasa begitu,” kata Justin pedas membuat Karina yang sedari tadi mendengar jadi risih sendiri. “Hei! Kau anak bermulut kasar,” tegur Karina kini berdiri menunjuk Justin dengan ekspersi geramnya. “Apa?” Karina makin tersenyum miring, merasa antusias karena anak kecil di depannya itu makin bersikap kurang ajar dan kini membantahnya. “Apa kau harus berkata begitu pada adikmu sendiri?” Justin malah menatap Karina dingin, Ellard yang berdiri di antara keduanya jadi menghela napas samar. “Kalau kalian ingin memancing monster ini menerobos naik, lanjutkan perdebatakan kalian.” Kata pemuda itu memegang pedangnya dengan memandangi para monster yang kini berkerumunan di halaman dan mendongak pada mereka semua yang berada di atap. “Tenang saja, para monster ini sudah lama begadang dengan kita. Pastinya mereka kelaparan sekarang, apa sebaiknya kita lempar saja anak kurang ajar ini ke mereka?” Ujar Karina dengan ekspresi serius, “boleh saja.” Sahut Ellard tanpa beban, mencengkra kerah seragam belakang Justin lalu mengayunkan ke depan para monster yang sudah kelaparan sedari tadi. Jennie yang melihat itu langsung memegang tangan Ellard dan menahannya, memajukan bibir bawahnya semakin tersedu. “Jangan, saya mohon.” Kata Jennie makin memegang erat tangan Ellard berharap pemuda itu tidak membuang kakanya pada kerumunan monster yang siap melahap kalau Justin benar-benar dilempar. “Sudah, jangan bercanda terus. Kita harus mengambil senjata yang anak ini katakan tadi,” ujar Karina santai membuat Ellard kembali menarik Justin kembali untuk menginjakan kaki pada atap. Jennie langsung menyambut kakaknya dengan pelukan erat. “Kau boleh pintar dalam segala hal, tapi bukan berarti kau boleh pintar melukai adikmu sendiri dengan perkataanmu yang tidak sopan itu.” Kata Karina menatap Justin lurus, “dari mana kakak tahu kalau dia adik aku?” Karina tersenyum miring, mengedikan bahu pelan. “Kalian punya bau yang sama, jadi ya … begitulah aku tahu kalau kalian bersaudara.” Lanjut perempuan beriris mata ungu muda itu langsung memunculkan busur panahnya. “Kau bisa kan, tetap berada di belakangku? Jangan coba melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu sendiri. Okey?” Jennie mengernyitkan dahi bingung, walau pun begitu dia tetap mengalungkan tangannya pada leher Karina. “Tutup mata, dan pegang yang erat.” Kata Karina langsung melompat turun membuat Jennie refleks memejamkan mata, samar-samar mendengar suara menakutkan di sekitaranya. Juga mendengar suara cipratan darah yang sesekali terciprat terkena tangannya yang masih mengalung pada Karina. Ellard di atas atap, bersiap dengan Justin di sebelahnya. “Tetap berada di belakang, jangan melakukan sesuatu yang bodoh.” Ujar Ellard kini mencengkram kerah seragam Justin lalu menariknya turun bersamanya. Pemuda jangkung itu pun langsung mengayunkan pedang tajamnya pada monster-monster yang makin merajalela. Tidak henti-hentinya datang dan berkeliaran sebebas mereka. Bukannya berkurang malah makin bertambah banyak seperti tidak akan ada habisnya. “Cepat masuk dan cari tempat senjata yang kalian bilang itu, aku dan Ellard akan bertahan di sini sampai kalian menemukan senjata yang kalian bicarakan.” Jennie dan Justin pun menuruti apa yang Ellard katakan, mereka langsung bergegas masuk dengan harapan bisa menemukan apa yang mereka cari. *** Theodoric kembali melangkah maju, nekat turun dari kendaraan aparat kepolisian karena tidak sengaja menemukan seorang zombie yang terlihat sadar terhadap apa yang dia lakukan. Biasanya zombie hanya bisa jalan terhuyung mengikuti aroma tubuh manusia atau menyerang manusia saat mendengar suara mereka. Tapi, tadi jelas sekali Theodoric melihat zombie yang berdiri di belakang para anggota militer yang bersamanya kini, melambai padanya. “Kenapa kalian kembali, bukannya lebih aman kalau kalian pergi ke tempat penampungan?” Theodoric tidak menjawab, melongokan kepala berusaha mencari keberadaan zombie yang dicarinya. “Ya, kalian semua pasti tidak akan pergi ke sana. Karena kalian tidak memerlukan itu, benar?” Lanjut Rendy menurunkan senjata di tangan. “Apa kalian tadi melihat seorang monster yang berdiri di belakang kalian tadi?” Kali ini Edgar yang melontarkan pertanyaan, mencengkram erat gagang pedangnya sembari menunggu balasan dari empat anggota militer yang malah menatapnya heran. “Tidak ada, semua jelas-jelas tumbang. Tidak ada yang berhasil selamat,” sahut Allen yakin, membalas tatapan Theodoric yang tidak sengaja menoleh dan menatapnya lurus. “Tidak, serangan ini sama sekali belum berakhir. Jelas-jelas zombie tadi melambai pada aku dan yang lain di atas mobil.” Kata Theodoric mengeraskan rahangnya kuat. “Kau melihat dengan mata kepala sendiri, kalau semua monster atau pun zombie yang menyerang kita di depan gerbang sekolah tadi semuanya tumbang.” Ujar Rendy membantah omongan Theodoric yang sontak menatapnya dingin. Pemuda itu perlahan merunduk, memejamkan matanya sesaat. Berusaha fokus dengan keadaan sekitar, menyusuri jalanan dengan pikirannya. Dan anehnya, Theodoric bisa melihat itu semua. Entah ini memang adalah kekuatan yang Yatara miliki, jadi tubuh Theodoric juga mendapat untungnya. “Tidak jauh dari sini, zombie-zombie itu masih berkeliaran.” Tutur Theodoric dengan mata tertutup, kembali mengedarkan pandangannya di jalanan yang ia telusuri dalam pikirannya. “Satu … dua … tiga … empat … lima,” pemuda itu menghitung zombie yang ia lihat dengan alis bertautan. “Tidak terhitung.” Katanya kemudian membuka matanya yang sesaat berkobar membuat Rendy dan 3 anggota militer lainnya tersentak dengan apa yang pemuda itu lakukan. “Kau yakin mereka masih berkeliaran?” Tanya Allen melangkah maju membuat Theodoric langsung menganggukan kepala yakin, “hm, kali ini mereka beneran sulit untuk dibunuh.” Kata Theodoric langsung melangkah lebih dulu membuat Edgar mengernyitkan dahi. Padahal pemuda jangkung yang memakai hoodie putih itu kemarin masih ketakutan setengah mati saat melihat monster yang terbunuh oleh tangannya sendiri. Walaupun mendapat bantuan dari Yatara, tetap saja terasa aneh saat melihat Theodoric kini maju memimpin pasukan yang ada. “Edgar, bagaimana kalau kau yang berada di depan?” Ujar Theodoric membuat Edgar yang baru saja memujinya dalam hati jadi menghela napas samar— menyesali apa yang dia pikirkan. Edgar pun maju memimpin, diikuti Rendy dan anggota militer lainnya yang siaga memegang senjata. Edmund dan Halord pun berada di barisan paling belakang dengan memegang pedang mereka. Sedangkan, Theodoric berdiri tepat di belakang Edgar dengan meneguk ludah berulangkali. Karena yang akan mereka datangi kini seperti sarangnya zombie. “Kemana?” Tanya Edgar menoleh sesaat pada Theodoric yang langsung menunjukan sebuah lorong kecil di depan mereka, “mereka semua di sana, sedang menunggu kita.” Sahut pemuda itu yakin, Edgar tidak menanggapi. Langsung melanjutkan langkah dengan mencengkram pedang di tangan. Ingin segera melesat maju seperti biasa, namun dia rasa tubuhnya terasa berat. Tidak seperti biasanya, sebanyak apapun dia bertarung pasti tetap kuat dan energinya masih memenuhi semangatnya. Tapi, kali ini berbeda dari biasanya. Mungkin karena kini mereka berada di dunia manusia— kekuatan Edgar jadi tidak bisa disalurkan semuanya dengan bebas. Ada yang menyaring dan menahan, tidak benar-benar dilepaskan. Penyebabnya pun, Edgar tidak tahu kenapa. Mereka pun, sampai di sebuah jalanan yang di sekelilingnya ada banyak restoran dan juga kafe-kafe kecil di sekitar. Tempat yang biasa menampakan pemandangan indah itu kini hancur berantakan. Hancur dalam semalam dengan darah berceceran dimana-mana. Dan zombie berjalan terhuyung bolak-balik mencari mangsa dengan frustasi. Theodoric menghentikan langkahnya membuat orang-orang yang bersamanya jadi ikut berhenti. Pemuda itu menautkan kedua alis, hidungnya bergerak-gerak kecil seakan mencium aroma sesuatu dari depan sana— tempat zombie berada. “Apa kalian mencium sesuatu?” Tanya Theodoric kini menatap semua orang di depannya satu-persatu. “Kenapa, apa ada yang aneh?” Sahut Edgar mendekat, membuat Theodoric menggelengkan kepala pelan. “Jelas sekali bau zombie di depan sana berbeda dengan zombie-zombie yang kita temui. Tadi di depan gerbang juga baunya sama dengan yang ini, berbeda dengan zombie yang berada di area sekolah.” Jelas Theodoric yakin, menatap Edgar dengan tatapan yakin. “Aku sama sekali tidak mencium apa-apa, bagiku mereka sama saja. Dan terlebih lagi yang penting adalah mereka semua harus mati, kan?” Ujar Rendy penuh dendam, “ayo, sekarang tugas kita meratakan tempat ini. Jangan sampai zombie-zombie sialan itu menguasai tempat kita tinggal.” Titah Rendy sudah ingin melangkah maju bersama anggotanya yang lain. “Tunggu,” tahan Theodoric lagi, tidak membiarkan mereka pergi. “Zombie ini lebih agresif dari yang lain … karena ada bau obat menyengat dari mereka semua.” Ujar Theodoric masih merasa aneh, mendadak penciumannya tajam dan merasakan bau yang seharusnya tidak ia rasakan. “Sepertinya senjata api tidak akan bisa melumpuhkan mereka,” Rendy menaikan alis tinggi, tidak mengerti sama sekali dengan apa yang sebenarnya ingin Theodoric katakan. “Bagaimana bisa makhluk itu tidak mati terkena tembakan, kita manusia saja bisa langsung tumbang saat terkena peluru. Paham?” Sahut Rendy lagi dengan mendecak kasar. “Jangan pergi sekarang, kita semua sebaiknya cari tempat yang aman terlebih dahulu.” Ujar Theodori lagi membuat Rendy mengeraskan rahang tidak suka, “kau sendiri yang membawa kami semua ke sini. Dan setelah sampai, kau menyuruh kami untuk mencari tempat yang aman. Kau sadar dengan apa yang katakan dari tadi?” Sentak Rendy tidak sadar jadi meninggikan suaranya. Allen menggigit bibir bawahnya mendengar perdebatan dua orang di depannya itu. Tristan sendiri sesekali memastikan kalau zombie di depan sana tidak datang menyerang mereka sekarang. Sedangkan, Deon sedari tadi masih gemetaran dengan raut wajah panik. Pemuda itu entah kenapa jadi mencengkram senapannya kuat, ingin membalas dendam pada zombie-zombie yang sudah membuatnya ketakutan sedari kemarin. “Jangan teriak, mereka bisa dengar.” Kata Theodoric setengah berbisik, “peduli setan, dengan pendengaran zombie. Mereka semua harus mati di tanganku.” Teriak Deon menggelegar membuat Theodoric tersentak kaget, ingin membungkam mulut pemuda itu namun semuanya terlambat. Perlahan zombie-zombie yang berkumpul di depan jalan sana, menoleh ke arah mereka semua. Dan tanpa pikir panjang langsung berlari kuat dengan kecepatan tinggi, jemari tangan mereka bersiaga seperti sudah ingin mencakar apapun di depan mereka. Mata putih suram mereka pun membuat mereka makin terlihat menakutkan. Dan zombie-zombie itu mengikitu semua orang yang sedang bersiaga di depan sana dengan mengikuti suara detak jantung mereka. Zombie-zombie itu peka terhadap suara sekecil apapun. Walau tadi mereka tidak bisa mendengar apapun, tapi sekarang. Mereka semua sudah bersiap untuk meratakan manusia dan menghancurkan penghuni bumi tanpa sisa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN