16. Gas Terus

1407 Kata
“Dara, buatin kopi Pak Adi, gih. Kopi hitam, karena yang mama baca kalau orang pinter sukanya kopi hitam,” ucap Prameswati dengan heboh. Adi mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. Calon ibu mertuanya ternyata sangat pintar menganalisa. “Iya kan, Pak Adi? Pak Adi suka kopi hitam?” tanya Prameswati pada Adi. “Suka banget, Bu. Tapi sebelumnya maaf sudah ngerepotin,” kata Adi yang sedikit sungkan. “Gak ngerepotin, kok. Biasa saja anggap saja tetap rumah ibu karena Pak Adi memang tamu,” jawab Prameswati yang membuat Adi meringis. Tidak kah telinga Dara panas setiap hari harus tinggal satu atap dengan ibunya yang suaranya ngalahin petasan banting. “Bu, saya juga suka kopi hitam,” ucap Setyo mengangkat tangannya. Setyo sudah kepanasan karena sejak tadi dia hanya dikacangiin dan sama sekali tidak dipedulikan. “Ya ampun tadi juga ada orang di sini. Namanya siapa, Pak?” tanya Prameswati. “Ma, mama gak usah heboh deh. Setiap hari heboh mulu,” ucap Dara. “Lah kamu ngapain masih di sini? Cepat buatin kopi, airnya direbus sampai panas, sampai bunyinya klutuk-klutuk, biar perut Pak Adi gak kembung,” oceh Prameswati. Dara menghentakkan kakinya kesal, cewek itu segera menuju ke dapur. Malu rasanya karena mamanya yang sangat heboh. Pasti Pak Adi berpikir macam-macam tentang ibunya. “Pak Adi, terimakasih loh sudah mengapresiasi karya Dara. Dara ini sering ibu marahi karena hanya nyusahin kerjaannya, tiap hari riwehin ibu membatik, tapi ternyata Dara juga pinter,” ucap mama Dara. “Bu, Dara memang pintar kok, dia gak nyusahin,” jawab Adi. “Kata siapa gak nyusahin, setiap hari ada aja yang diomelin Dara. Ibu pasang pot miring sedikit saja Dara sudah ngoceh,” ucap mama Dara lagi. Adi mengangguk-anggukan kepalanya. Bayangannya mengarah pada dirinya saat malam pertama nanti. Apa kabar kalau Adi meremas sesuatu yang tidak pada puncaknya, apakah Dara akan ngamuk dan menuntun tangannya untuk meremas di tempat yang tepat? Buru-buru Adi menggelengkan kepalanya, fantasi liarnya datang di saat yang tidak tepat. Bisa-bisa kalau Prameswati tau dia berfantasi tentang Dara, dia bisa disemprot di tempat. Suara langkah kaki terdengar teramat pelan, Adi menolehkan kepalanya dan melihat Dara tengah membawa nampan yang berisi dua cangkir kopi. “Pak, silahkan diminum!” ucap Dara meletakkan nampan di meja. “Terimakasih, Dara,” jawab Adi. “Terimakasih Dek Dara,” ucap Setyo. Adi memelototkan matanya, dia tidak suka saat Dara dipanggil dengan sebutan ‘Dek. Terasa menggelikan di telinga Adi. “Pak Adi, ini ada ramuan khususnya biar Pak Adi tidak konslet lagi,” bisik Dara pada Adi. “Ah saya tau kamu pasti gengsi, kamu beri ramuan cinta tapi sok-sokkan ramuan biar gak konslet,” jawab Adi. Dara memelototkan matanya, dia ingin menggampar muka Adi dengan nampan yang saat ini dia bawa. “Jangan bisik-bisik sama tamu. Sini duduk yang sopan!” titah mama Dara menepuk sofa sampingnya. “Aku duduk di sini saja,” ucap Dara menuju sofa yang sama dengan Pak Setyo. Setyo tersenyum penuh kemenangan menghadap Adi, pria itu dengan lancangnya malah menggeser tubuhnya untuk lebih dekat dengan Dara. “Eh bentar ya, Pak. Itu langitnya mendung banget, saya tinggal angkat kain batik dulu,” ucap Pramesti tiba-tiba. “Silahkan Bu, silahkan!” jawab Adi tersenyum. Prameswati pun ngacir pergi bergitu saja. Adi dan Setyo menatap ke arah jendela, di mana langitnya tidak mendung sesuai yang diucapkan Prameswati. Bahkan langitnya bisa dikatakan cerah. Dara meremas-remas bajunya dengan sebal, tingkah mamanya sangatlah memalukan di depan orang penting dan kaya. “Ekhem ….” Adi berdehem sebentar sambil membenahi kemejanya. “Setyo, hust hust!” ujar Adi bak seseorang yang mengusir ayam. Adi mengisyaratkan Setyo untuk duduk agak menjauh dari Dara. “Setyo, hust!” titah Adi lagi. Setyo pun dengan pasrah menggeser tubuhnya agar menjauh dari Dara. “Kamu sudah punya anak istri, gak usah macam-macam!” tegur Adi. “Pak, Saya itu gemes sama Dek Dara. Kalau anak saya sudah besar, mau saya jodohin dengan Dek Dara,” ujar Setyo. “Jodoh-jodohin gundulmu copot!” desis Adi. Dara dan Setyo membulatkan matanya, buru-buru Adi membekap bibirnya. Oh tidak, ini celaka, Adi ingin citranya baik di depan Dara, tapi bibir sialannya malah membuatnya terlihat tidak sopan saat mengatakan kata gundul. Buru-buru Adi menegak kopinya, tapi sepertinya alam sedang tidak berpihak padanya. Lidah Adi seperti terbakar saat merasakan lidahnya terkena cairan panas. Adi segera meletakan kopinya kembali dan mengipasi lidahnya dengan tangannya. “Pak, Pak Adi gak apa-apa?” tanya Dara dengan  panik. Dara segera mendekati Adi, Dara meniup-niup bibir Adi yang tengah terbuka. Adi yang semula merasa belingsatan, kini pun terdiam. Dara masih meniup-niup bibirnya. “Oh tidak, jantungku sepertinya tidak akan terselamatkan lagi,” teriak Adi dalam hati. Adi merasakan angin kecil yang menerpa bibir serta lidahnya. Matanya tidak lepas dari Dara yang terus meniup bibirnya. “Akhhh panas ….” pekik Adi lagi pura-pura. Cowok itu kalau dikasih hati malah minta jiwa raga, sudah ditiup malah pura-pura kepanasan biar ditiup lagi. “Pak, masih panas? Kalau masih panas saya bawain kipas angin ke sini,” ucap Dara. “Huwahahaha ….” Tawa Setyo meledak-ledak saat mendengar ucapan Dara. Adi menatap tajam Setyo, tapi Setyo tidak bisa berhenti tertawa. Setyo menertawakan otak Dara yang polos dan nasib Adi yang menyukai cewek tidak peka. Sedangkan Dara pun bingung dengan kedua pria dewasa di hadapannya. Apa salahnya? Kalau ditiup tetap panas, lebih baik dibawain kipas angin saja. Pramesti menyibak korden dengan pelan, perempuan paruh baya itu mengintip dengan sebelah matanya yang dia tutup. Prameswati tidak benar-benar mengangkat kain, ia beralasan untuk bersembunyi dan memantau apa keinginan Adi yang lain selain desain milik anaknya. Prameswati menajamkan pendengarannya agar mendengar ucapan tiga orang di luar tamu. Nyatanya Prameswati memang bukanlah orang yang seratus persen normal. Kini Prameswati tidak hanya bediri saat mengintip, tapi juga jongkok sampai tengkurap untuk mendapatkan posisi yang sangat pas. “Nih CEO kayaknya suka sama Dara deh,” ucap Prameswati dalam hati. “Gak boleh dibiarin. Dulu saat muda aku sakit hati sama CEO, anakku gak boleh mengalami hal yang sama,” ucap Prameswati dengan spontan berdiri. Prameswati pikir kedatangan Adi murni untuk memberikan uang untuk desain anaknya, tapi saat dilihat-lihat gelagat Adi seperti menyukai Dara. Dan benar dugaannya kalau Adi suka anaknya. “Sampai kapanpun, aku gak bakal ijinin Dara pacaran,” ucap Prameswati dengan yakin. Di ruang tamu, terjadi keheningan. Adi, Dara dan Settyo tidak ada yang berbicara pasca Dara akan membawakan kipas angin. “Pak, ini uangnya saya gak sanggup hitung. Tapi terimakasih banyak, ya. Pasti ini uangnya juga pas,” ucap Dara akhirnya membuka suara. “Uangnya itu kurang seratus ribu, Dara,” jawab Adi. “Kalau kurang, kenapa gak ditambahi, Pak?” tanya Dara bingung. “Tambahnya hati saya saja,” jawab Adi yang membuat Dara membulatkan matanya. “Hahahaha ….” Lagi dan lagi Setyo tertawa dengan ngakak. Setyo tau kalau Adi bukanlah lelaki tukng gombal, tapi menurut Setyo ucapan Adi sangatlah receh. “Dara, saya gak main-main. Saya akan kasih hati saya untuk tambal seratus ribu tadi,” ucap Adi dengan serius. “Eh eh … Bapak kan sudah saya tolak tadi, kenapa bilang begini lagi?” tanya Dara. Dara sama sekali tidak merasa sungkan kalau sudah menolak Adi. Setyo menahan tawa sekaligus kentutnya saat mendengar kenyataan Adi sudah ditolak oleh Dara. Sungguh nelangsanya seorang CEO yang banyak digandrungi gadis-gadis, tante-tante bahkan sampai janda anak lima, tapi ditolak oleh gadis belia. ”Saya tidak peduli. Kalau pun kamu menolak saya seribu kali, saya akan berusaha seribu satu kali,” kata Adi dengan serius. “Oh jantung, tolong jangan rontok!” pekik Prameswati memegangi jantungnya karena tidak kuat mendengar ucapan Adi. Tadi dia bilang tidak akan merestui Dara, tapi kini jantungnya sudah meloncat-loncat terbawa perasaan karena ucapan Adi. “Ini cowok atau buaya, pinter banget gombalin emak orang,” ucap Prameswati. Karena sudah tidak mau mengintip lagi, Prameswati memilih keluar. “Pak Adi, Pak Adi ini sudah menikah atau masih lajang?” tanya Prameswati yang mengambil duduk di dekat Adi lagi. “Masih lajang, Bu. Bahkan masih perjaka ting ting,” jawab Adi. “Oh gitu … semoga cepat dapat pasangan yang cantik, pinter, dewasa dan bisa menerima Pak Adi apa adanya,” ucap Prameswati. “Saya suka yang cantik, pinter, kekanakan, nyuhasin, suka sama cimol, Bu,” jawab Adi. “Pak, itu ciri-ciri saya!” pekik Dara. “Iya kan saya sukanya sama kamu,” jawab Adi. “Kurangajar, baperin anak orang di depan emaknya!” pekik Prameswati kencang. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN