I Hate You 2

1905 Kata
Aku sudah berpakaian dengan baju yang mantan suamiku berikan, secara terpaksa. Ukuran baju dan celana jeans sangat pas, melekat sempurna ditubuhku. Tidak ingin meninggalkan barang-barangku di kamar hotel, aku memasukkan semua ke tas kertas tersebut, lanjut mencari Heels yang bagian kanan dan kiri berada di tempat terpisah cukup jauh. Kai belum kembali, setelah pertengkaran kami tadi. Dia membiarkan aku di kamar sendirian. Baru aku mau memasang sepatu tepat dia muncul bersama dua orang pekerja hotel. “Kamar akan dibersihkan, kita bisa sarapan di resto hotel.” Katanya, aku tidak berminat untuk menatap Kai, mataku tetap pada sepatu yang sedang kupasang di kaki. Apalagi untuk sarapan berdua dengan Kai, yang ada aku tidak bisa menelan makanan sama sekali. Kai terdengar menghela napas, “Anna, aku bicara padamu.” Sepatu heels terpasang, aku bangkit dan mengambil barang-barang serta pakai baju hangatku. Tepat Kai sudah berdiri di belakangku. “Kamu lebih suka aku memaksa seperti tadi, Anna?” bisiknya. Padahal jika dia bicara normal, petugas-petugas hotel pun tidak akan mengerti sebab kami bicara dengan bahasa asing untuk mereka. Aku mengedikan bahu, berbalik dan segera tatapan kami beradu lekat. Rambutnya basah dan Kai sudah berganti baju. Aku tak mau repot berpikir dia sudah mandi dimana. “Aku tidak akan terkejut karena memang sikapmu. Memaksa!” “Dua tahun, keras kepalamu semakin menjadi!” debat Kai, tidak mau kalah sama sekali. Aku berjalan, sengaja menyenggol bahunya dengan acuh. Tidak akan kubiarkan Kai menginjak-injak harga diriku. Terus berjalan keluar kamar dengan langkah cepat. Tap! Tap! Tap! Tersadar jika Kai mengekori, tepat pintu lift terbuka. Aku berlari kian kencang dan masuk, “Anna... jangan seperti anak kecil—“ Aku mengangkat dagu dengan bibir lurus dan tatapan menantang, merasa menang kala pintu lift lebih dulu tertutup tepat di depan wajah sebelum Kai berhasil menyusup. Tatapan mata kami sempat beradu sampai aku bisa melihat garis-garis wajah Kai mengeras dan sorot matanya tajam. “Huft!” aku menghirup napas berat, tak ada siapa pun di dalam lift. Aku bersandar, punya waktu untuk merenung semua yang terjadi. Otakku sibuk dengan banyak pertanyaan bermunculan. Terutama pada garis besar kemunculan mantan suamiku. Dari mana Kai tahu keberadaanku dengan mudah? Lalu, bunga di restoran, kiriman makanan dari kafe yang sama aku datangi di malam aku pergi ke festival. Apa itu artinya Kai menguntit diriku? Sejak kapan? Aku meremang berpikir kemungkinan itu. Jelas Kai punya banyak uang, dia bisa dengan mudah memerintah orang untuk mengikuti kegiatanku atau bahkan dia sendiri. “Ckck... Apa Kai menganggur sekarang?” Aku tersenyum hambar, miris. Dulu bahkan dia jarang punya waktu untukku, lihatlah sekarang lelaki itu ada di sini dengan bebas. Tidak bekerja pun tabungan Kai bisa menghidupinya. Selain bantu bisnis keluarga, Kai pemegang saham beberapa perusahaan besar lainnya. Aku memejamkan mata teringat perdebatan kami di masa lalu yang pernah terjadi karena aku minta waktu Kai. Dengan baju tidur setengah paha berwarna marun, bahan sutra yang menempel memperlihatkan bentuk tubuhku. Tali tipis mengantung di kedua sisi bahu dengan potongan d**a rendah. Aku menyemprotkan parfum di leher beberapa kali. Menyisir rambut. Sudut bibirku tertarik mendengar suara klakson mobil suamiku, aku berdiri segera mengambil kimono setelan gaun tidur ini. mengikat tali simpul dan bergegas keluar kamar. “Bi... mau ke mana?” begitu berjalan menuju ruang tengah, aku berpapasan dengan Bi Leni, salah satu asisten rumah tangga rumah yang sudah paling lama bekerja di sini. Setelah menikah, aku memang tinggal bersama mertuaku. Kai punya rumah sendiri, tapi mertuaku minta kami tetap tinggal di sini sebab adik Kai sudah pilih tinggal mandiri. Rumah besar ini akan sepi jika Kai dan aku pun keluar. Mertuaku pun sangat baik, sudah menganggap aku seperti putri mereka. aku nyaman tinggal di sini, bersama mertuaku yang aku pikir akan seseram cerita teman-temanku yang tidak akur dengan mertuanya. “Kai minta minum air putih.” Aku mengulum senyum, mendekat pada pengurus rumah yang memang dekat dengan semua anggota keluarga. Bi Leni bahkan sudah biasa sebut nama untuk Kai dan adiknya. Kalau ke aku masih belum terbiasa. Meski aku sudah minta dipanggil nama saja, biar bagaimana pun Bi Leni usianya jauh di atasku seusia Mamaku. “Biar Anna aja bi.” Bi Leni mengangguk, “Baik. Kalau butuh apa-apa panggil Bibi ya non.” Aku mengiyakan, segera mengambil minum untuk Kai dan menghampirinya di ruang tengah. Tidak ada siapa pun, Kai sedang duduk bersandar dan menerima telepon penting. Raut wajahnya serius. Aku meletakan gelas di atas meja, memasang wajah protes dengan mencebikkan bibir. Sudah di rumah, bahkan baru sampai tapi dia masih mengurus pekerjaan. Ugh! Menyebalkan! Masih dengan ponsel ditelinga, aku duduk di sampingnya merapatkan diri, bersikap manja dengan menempelkan dagu di bahunya. Dia tidak terganggu, menyeringai aku mengulurkan tangan mengangkat satu tangan yang bebas, memerintahnya untuk memeluk bahuku sementara wajahku bersandar di dadanya dengan tangan mulai bergerak nakal di perutnya. Niat menggodanya, malah aku yang menggigit bibir sendiri. “Anna...” Kai menjauhkan sebentar ponsel dan protes agar aku berhenti. “Katanya haus, aku udah ambilkan minum untuk kamu.” aku menunjuk gelas diatas meja. Dengan isyarat mata, aku langsung paham mengambil gelas dan memberikan pada Kai. Dia benar-benar haus, air segelas hanya sisa sedikit. Kuletakan kembali gelas diatas meja, merapat lagi pada dirinya. Sabar menunggu dia selesai menelepon. Cukup lama, akhirnya Kai selesai menelepon tapi tidak juga menjauhkan ponsel. Malah memeriksa email yang masuk. Aku sengaja menutup matanya dengan satu tanganku. “Anna, kamu kenapa sih? Aku ada email penting.” Aku cemberut, kembali menarik tangan “Kai, ini sudah di rumah lho. Istrimu ini udah menyambut masih aja sibuk sama pekerjaan” Sindirku. Kai bergeming kembali memeriksa ponsel, aku menghela napas. Langsung berdiri, gerakan yang akhirnya mengundang atensi suamiku. “Tadi mending tidak usah pulang ke rumah, tidur di kantor aja!” omelku. Mengentakkan kaki lalu berjalan cepat menuju kamar. Jangan harap Kai akan langsung menyusul dan merayuku, itu tidak akan terjadi. Ajaib, jika Kai melakukan itu. Dalam hubungan kami yang sudah jalan enam bulan ini, lebih banyak aku yang mengalah. Kai bukan pria penganut romantisme. Aku berbaring di ranjang, sudah melepas kimono menyisakan gaun tidur tipis. Aku pilih membaca novel Online di ponsel. Tidak peduli Kai akan masuk ke kamar jam berapa! Ceklek. Aku dengar suara pintu terbuka, tanpa menatapnya itu pasti Kai. “Anna, kamu lihat charger ponselku?” tanyanya. Tanpa menatapnya, aku menunjuk nakas besar di sayap kiri kamar. Aku yang menyimpan charger ponsel Kai tadi siang. Kai tidak berkata-kata lagi, aku mendengar langkahnya masuk ke kamar mandi. Tidak sampai setengah jam, Kai keluar dengan handuk mengantung rendah di pinggulnya pas aku meletakan ponsel, segitiga di bawah perutnya bahkan terlihat. Anna berhenti menatap kebagian itu! Omelku, bisa-bisanya lupa sedang mode merajuk! Kai menyadari kesalku, dia bukan cepat-cepat memakai baju malah berdiri di sisi ranjang dekat posisiku berbaring. “Anna...” “Apa?” kataku galak, mengalah dengan kini memandangnya. Kai tersenyum tipis, “Bajuku.” Aku mendesah, “butuh juga diriku, kan?!” Aku bergerak, duduk dengan menurunkan kaki saat akan bangun, suamiku malah menghalangi jalan. “Kai, awas ah! Katanya mau aku ambilkan baju—“ kalimatku tertelan karena gerakan cepat Kai membungkuk dan dua tangannya menangkup wajahku, mendongak dan langsung menyatukan bibir kami. Dia menciumku lembut, sampai aku membalasnya tanda aku langsung luluh. Ciuman mulai menuntut, memagut bibirku sementara jemarinya mulai mengusap sensual tengkukku. Bergerak seringan bulu membuatku merinding. Menurunkan tali gaun tidurku hingga jatuh di lengan dan dadaku mengintip. Aku merasakan Kai tersenyum, mengulum bibir bawahku sebelum melepaskan bibirku. Kening kami menyatu dengan napas menderu-deru. “Kamu sudah selesai datang bulannya?” tebak Kai. Aku memaku tatapan mata Kai, memberinya senyum. Dia harus berpuasa selama tujuh hari ini, tanpa memberi jawaban aku menjauh dan tanganku bergerak di pinggiran handuk yang melekat di tubuh Kai. Bergerak hingga ke simpulnya, Kai sudah menegakkan diri kembali. Dia menanti dengan satu alis terangkat khas dirinya. “Mau buka puasa, Kai?” godaku, Kai mengelus puncak kepalaku dan dengan satu sentakan aku melepas handuknya jatuh ke lantai. Aku merona melihat bagian dirinya sudah bereaksi. Ketika tanganku mulai menyentuhnya, Kai menggeram dengan cengkeraman erat di rambutku. “Anna!” dia menyebut namaku, jelas menerima sentuhanku. Dia bisa saja bersikap acuh padaku saat harus bekerja, tapi saat bercinta denganku dunia Kai hanya tertuju padaku, istrinya. *** Setelah pergumulan kami yang panas dan liar, aku meringkuk diatas dadanya. Meresapi momen kami dengan sisa-sisa percintaan yang luar biasa. Tangan Kai mengelus punggung terbukaku, “Kai...” “Hm...” meski matanya terpejam, Kai belum tidur. “Bagaimana rencana liburan kita bulan September nanti?” tanyaku. Kami pernah membahas liburan bersama, Kai waktu itu menyanggupi bulan September hanya ke Bali kebetulan dia ada pekerjaan di sana. Tetap, dengan pekerjaan tidak sepenuhnya waktu untukku. Gerakan tangan Kai berhenti, itu membuatku penasaran lalu mengangkat sedikit posisiku agar bisa menatap mata Kai yang sudah terbuka. Kening berlipat, jelas sedang mempertimbangkan untuk diucapkan padaku. Firasatku mengatakan aku akan kecewa lagi. “Kai, kamu udah janji lho mau ajak aku. Habis itu kita akan tinggal beberapa hari di Bali untuk liburan!” belum apa-apa aku sudah terpancing. Aku akan benar-benar merajuk jika Kai sekali lagi menggagalkan rencana liburan. Yang pertama, Honeymoon kami yang semula akan ke Swiss harus batal karena ada projek penting yang Kai sendiri turun tangan. “Anna, aku tetap akan ke Bali hanya sehari untuk pekerjaan selanjutnya aku akan ke Singapura. Tapi, untuk rencana mengajak kamu dan liburan setelahnya. Kita cari waktu lain—“ Aku menyibak selimut, menjauh darinya. “Kapan sih kamu punya waktu untuk aku? Selalu seperti ini!” air mata sudah berkumpul di mataku, sekali berkedip pasti akan jatuh. “Anna, mengertilah—“ “Ya, terus aja. Kamu egois! Maunya terus aku yang mengerti kamu!” Marahku, menjauh darinya lalu menarik selimut dan berbaring memunggungi suamiku. Kai mendesah, tapi tidak pernah berusaha untuk membujukku. Aku malah merasakan ranjang bergerak dia turun dan masuk ke kamar mandi. Air mata akibat rasa kesalku jatuh. Sudah enam bulan pernikahan. Aku mulai meragu, bahwa cukup kuat dan sabar hingga terus bersama Kai dengan sikap acuhnya. Tidak mungkin selalu aku yang mengalah, kan? Ting! Denting pintu Lift yang terbuka, bertanda aku sudah melamun dan tersadar sudah dilantai dasar. Aku bergegas keluar hotel, mataku berkeliling mencari informasi lokasi hotel. Sudah berada diluar, aku melihat taksi yang baru menurunkan penumpang. Aku mendekat, akan masuk saat sebuah tangan mencekalku memaksa aku berbalik. "Anna, berhenti!" Teriak Kai. Tap! “Kai, lepas!” Dia berhasil menyusul diriku. Sial! “Tidak Anna, berhenti melarikan diri seperti ini dariku!” “Aku tidak peduli, Kai! Aku ingin berlari sejauh mungkin darimu!” aku berusaha menarik tangan lepas dari cekalannya. Kai malah menarik hingga tubuhku begitu dekat dengannya. Sama seperti tadi, Kai memberi sorot dingin sekaligus tajam “Silakan lari hingga ke ujung dunia mana pun, Anna. Dan aku akan kembali menemukan kamu!” Aku terdiam, rasanya lemas sekali. Kai menyeringai, angkuh “meski kamu berteriak dengan bilang membenciku, aku yakin kalau kamu tidak bisa melupakan diriku, Anna.” “Sialan kamu, Kai!” umpatku. Tint! Tinnt! Sopir taksi membunyikan klakson, bertanya apa kami akan naik. Jawaban Kai membuatku tercengang. "Maaf, istriku tidak jadi naik taksimu karena kami belum sarapan" Kai juga memberi uang yang membungkam protes supir taksi jadi senyum bahagia. Aku mendengus dengar kalimatnya, "Istri my ass!" "Dan aku menyukai bokongmu yang seksi itu, Anna." Saut Kai dan terkekeh merasa berhasil membungkam aku yang tercengang dengar jawaban santai dan nakalnya. Aku benar-benar membenci pria yang sialnya mantan suamiku ini! Tuhan beri kukeberanian untuk bisa tengelamkan Kai ke samudera! Doaku saking sudah kesal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN