5. Offers From A Stranger

1275 Kata
“Dannys, kau mau menunggu di sini sementara aku mengisi bahan bakar atau kau mau ikut denganku?” “Mmm … sepertinya aku akan menunggumu di sini. Lagi pula aku harus membantu dua temanku.” Kuputar tubuhku dan mengarahkan pandanganku ke dalam. Kang Minho mengikuti gerakan kepalaku dan saat aku kembali memandangnya, aku pun tersenyum simpul. “Seperti yang kau lihat, mereka masih sibuk bebersih. Aku sepertinya harus membantu mereka.” Kang Minho mengedikkan kedua sisi alisnya sambil memanyunkan bibirnya. Ia pun mengedikkan kedua bahunya ke atas. “Oke, kalau begitu aku mampir dulu ke mini market. Ibuku menyuruhku membeli sampanye.” Aku mengulum bibir membentuk senyum simpul sembari mengangguk lambat-lambat. “Hati-hati di jalan, Minho.” Kang Minho tersenyum padaku sebelum tubuhnya berputar dan masuk ke dalam mobil. Dia cukup mengagetkan aku. Kupikir dia tak akan datang mengingat ini hampir jam sebelas malam dan sudah waktunya ia berkutat dengan skripsi. Entahlah. Mungkin juga pria itu ingin mencari udara segar. Namun, setelah selesai menyantap makanan, kulihat Kang Minho sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Suasana di restoran juga sepi dari setengah jam yang lalu. Hanya ada Kang Minho dan seorang pria lagi. Oh, aku jadi ingat dia. Aku menoleh mendapati pria itu masih duduk di tempatnya. Entah apa yang membuatnya betah duduk sambil memandang gelas whisky di depannya. Kupikir dia sudah seperti itu sejak dua jam yang lalu. “Dannys!” Aku bergeming saat mendengar panggilan itu. Kupalingkan wajah. Tampak Calvin berdiri tak jauh dari tempatku. Aku pun menghampirinya. “Bisa kau buang limbah ini?” “Oh, tentu.” Aku tersenyum sembari mengambil kantung sampah di tangan Calvin. “Tempatnya di sana,” kata Calvin sembari menunjuk tempat di seberang jalan. “Oh, baiklah.” Aku pun mengangguk dan pergi ke tempat yang dimaksud. Lahan kosong di seberang restoran dan mereka menaruh tempat sampah di sini. Aku mulai mengerjakan tugasku. Sejujurnya punggungku terasa pegal. Oh … aku harus berendam air panas setelah tiba di asrama. “Permisi.” Aku tersentak dan secara spontan wajahku mendongak. Keningku mengerut, mendapati seorang lelaki berdiri di belakangku. Lantas aku pun memutar tubuhku menghadapnya. “Ya?” Keningku mengerut ketika mengenali visual di depanku. Hanya ada lampu jalan yang menerangi tempat ini membuatku sedikit takut. Aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan. Mencoba mencari celah untuk keluar dari situasi ini dan berharap agar Kang Minho bisa segera datang. Namun, bawah sadarku menegur agar aku tidak sembarang menyimpulkan situasi. Kucoba untuk menghela napas dan mensugesti diriku sendiri jika aku akan baik-baik saja. “Ada yang bisa kubantu?” Aku memberanikan diri untuk bertanya dan menunggu reaksi yang akan ditunjukkan oleh pria itu. Semilir angin berembus ke wajahku ketika pria di depanku mengambil langkah. Refleks, aku pun mengambil satu langkah mundur. Jantungku mulai berdetak meningkat dan aku mulai memandangnya dengan tatapan waswas. Pria itu tidak bicara. Tampilannya tidak mendukung presepsiku yang mulai mencurigainya sebagai penjahat. Sejujurnya pria ini terlihat begitu berkelas dengan jam tangan Rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ditambah cincin dari permata dan zamrud pada jemarinya. Jas formal berwarna khaki. Namun, auranya dan juga tatapannya yang membuat bulu romaku berdiri. “Tu—tuan.” Bibirku bergetar. Aku menoleh dan sialnya aku tak bisa menemukan cara untuk menghindarinya. Keputusan terbaik untuk lari dari tempat ini. Aku langsung melemparkan kantung sampah di tanganku dan bersiap untuk berlari, tapi sialnya pria di depanku bergerak dengan cepat. Dia menghampiriku dan langsung meraih lengan kiriku. “LEPAS!” pekiku. “TOLONG!” Aku berteriak. “Bekerjalah padaku.” Mulutku yang terbuka tak bisa mengeluarkan suara lagi. Tubuhku mendadak diam dan aku hanya bisa memutar bola mata menatapnya. Dari penerangan seadanya, aku bisa melihat warna abu-abu di manik matanya. Dalam jarak sedekat ini, aku bisa merasakan napasnya yang sedingin es seperti tatapannya saat ini. Kurasakan cengkeraman di lenganku mulai melonggar. Pria di depanku mengangkat tangan kirinya dan aku memantau pergerakannya lewat sudut mataku. Kulihat dia meraih sesuatu di dalam jasnya. Aku kembali memutar pandangan berharap akan ada yang mendengar teriakanku selanjutnya. “TOLONG ….” “Hei!” Suara bariton berat itu kembali membuatku tersentak. Ia memperlihatkan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan bawah sadarku ikut bergidik ngeri. “Diam dan dengarkan aku.” Masih menyandera lenganku, pria di depanku ini lantas mengeluarkan sebuah kartu dari dalam saku jasnya. Keningku mengerut lalu perlahan aku mulai mengangkat pandangan menatapnya dengan setengah alis yang terangkat. Pria di hadapanku mengedikkan kepala menunjuk kartu di tangannya. Aku kembali menatap benda itu dengan pandangan sinis. “Ambil,” katanya lagi. Sambil menghela napas panjang, aku mencoba untuk meraih benda di tangan pria ini. Burning Sun Club Tiga kalimat itu yang pertama kali k****a oleh karena tulisan kaligrafi yang ditulis dengan tinta berwarna gold mengkilap. Bentuknya seperti kartu debit, hanya saja sedikit lebih panjang. Didominasi warna ungu dan pada bagian atas diberi warna RGB tiga dimensi. Maka, ketika aku menggerakkan kartu ini, aku akan melihat cahaya seperti di dalam kelab. Seketika aku bisa menembak fungsi dari benda ini. “Maaf aku tidak tertarik,” ucapku sembari menyerahkan benda di tanganku padanya. Pria di hadapanku hanya menatap tanganku tanpa memberikan respon lebih selain seringaian yang kini mulai tampak mengerikan. “Nona, kau bahkan belum tahu pekerjaan seperti apa yang ingin kutawarkan padamu dan berapa yang akan kau dapatkan.” “Maaf, Tuan, aku sama sekali tidak tertarik. Terima kasih sudah mengunjungi restoran kami, selamat malam.” Aku melangkah dengan cepat meninggalkan pria itu. Gila. Bahkan aku langsung bergidik ketika membaca nama tempat itu. “Lima ribu dolar.” Langkahku terhenti. Detik seperti melambat ketika bawah sadarku memberikan visualisasi nominal uang yang barusan disebutkan oleh pria itu. Aku menoleh kecil. Lewat punggungku, kulihat pria itu memutar tubuhnya. Sudut bibirnya makin terangkat. Entah mengapa juga aku tidak bisa membalikan tubuhku. Sepertinya kakiku telah kambuh. Seperti telah tertancap di atas tanah. Sial. Aku hanya bisa menonton pria itu yang terus mendekat sampai tubuhnya berhenti di depan punggungku. Bulu kudukku berdiri mebuatku bergidik. Namun, entah mengapa aku tak bisa sama sekali beranjak dari hadapannya. “Pikirkan sekali lagi. Hubungi aku jika kau perlu bantuanku. Lima ribu dolar itu untuk semalam.” Mataku makin melebar. Aku bisa mendengar cengiran pria itu sebelum ia menarik wajahnya dari sampingku. Maksudnya … lima ribu dolar hanya untuk semalam? Itu jauh lebih besar daripada yang diberikan tuan Dune. Gila. Itu dua kali lipat dari gaji bulanku di tempat ini. “Yang benar … saja ….” Aku mengerutkan dahi saat tak melihat siapa pun di belakangku. Di mana perginya pria itu? Seketika terdengar suara mesin mobil yang terdengar begitu halus lantas kuputar pandangan mencari di mana sumber suara itu. Tak berselang lama, sebuah mobil Ferrari melintas lalu berhenti di depanku. Aku memperhatikan bagaimana pria yang semenit yang lalu berbicara padaku kini telah berada di balik kemudi mobil sport limited edition di depanku. Lagi-lagi ia tersenyum dengan setengah sudut bibir yang terangkat. “Hubungi aku kapan pun kau siap.” Pria itu melesatkan mobilnya setelah mengucapkan lima kalimat itu. Tanpa sadar, mulutku ternyata menganga sedari tadi dan tenggorokkanku mulai terasa kering. Aku menelan ludah lalu menurunkan tatapanku. Tanganku terangkat. Entah mengapa jantungku bertalu dengan kencang ketika memandang kartu bertuliskan Burning Sun di tanganku. ‘Lima ribu dolar itu untuk semalam.’ “Argh!” Aku menggoyangkan kepala untuk menarik kesadaran. ‘Jangan gila Dannys. Kau tahu wanita seperti apa yang bekerja di kelab. Demi Tuhan. Buang pemikiran gila itu, Dannys.’ Aku menghela napas sembari mengangkat pandanganku. Aku tidak akan tergoda oleh tawaran pria itu. Tidak. Aku masih muda dan pekerjaan di depan sana masih lebih manusiawi daripada menjadi pelayan bar. “Tidak,” gumamku sembari menggelengkan kepal. Aku mengembuskan napas panjang. Berbalik dan kembali mengerjakan pekerjaan yang sempat tertunda gara-gara pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN