“Dannys, kau mau menunggu di sini sementara aku mengisi bahan bakar atau kau mau ikut denganku?”
“Mmm … sepertinya aku
akan menunggumu di sini. Lagi pula aku harus membantu dua temanku.” Kuputar
tubuhku dan mengarahkan pandanganku ke dalam. Kang Minho mengikuti gerakan
kepalaku dan saat aku kembali memandangnya, aku pun tersenyum simpul.
“Seperti yang kau lihat, mereka masih sibuk bebersih. Aku sepertinya harus membantu mereka.”
Kang Minho mengedikkan kedua sisi alisnya sambil memanyunkan bibirnya. Ia pun mengedikkan kedua bahunya ke atas. “Oke, kalau begitu aku mampir dulu ke mini market. Ibuku menyuruhku membeli sampanye.”
Aku mengulum bibir membentuk senyum simpul sembari mengangguk lambat-lambat.
“Hati-hati di jalan,
Minho.”
Kang Minho tersenyum
padaku sebelum tubuhnya berputar dan masuk ke dalam mobil.
Dia cukup mengagetkan
aku. Kupikir dia tak akan datang mengingat ini hampir jam sebelas malam dan
sudah waktunya ia berkutat dengan skripsi. Entahlah. Mungkin juga pria itu
ingin mencari udara segar. Namun, setelah selesai menyantap makanan, kulihat
Kang Minho sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya.
Suasana di restoran
juga sepi dari setengah jam yang lalu. Hanya ada Kang Minho dan seorang pria
lagi. Oh, aku jadi ingat dia. Aku menoleh mendapati pria itu masih duduk di
tempatnya. Entah apa yang membuatnya betah duduk sambil memandang gelas whisky
di depannya. Kupikir dia sudah seperti itu sejak dua jam yang lalu.
“Dannys!”
Aku bergeming saat
mendengar panggilan itu. Kupalingkan wajah. Tampak Calvin berdiri tak jauh dari
tempatku. Aku pun menghampirinya.
“Bisa kau buang limbah
ini?”
“Oh, tentu.”
Aku tersenyum sembari
mengambil kantung sampah di tangan Calvin.
“Tempatnya di sana,”
kata Calvin sembari menunjuk tempat di seberang jalan.
“Oh, baiklah.” Aku pun
mengangguk dan pergi ke tempat yang dimaksud.
Lahan kosong di
seberang restoran dan mereka menaruh tempat sampah di sini. Aku mulai
mengerjakan tugasku. Sejujurnya punggungku terasa pegal. Oh … aku harus
berendam air panas setelah tiba di asrama.
“Permisi.”
Aku tersentak dan secara spontan wajahku mendongak. Keningku mengerut, mendapati seorang lelaki berdiri di belakangku. Lantas aku pun memutar tubuhku menghadapnya.
“Ya?”
Keningku mengerut
ketika mengenali visual di depanku. Hanya ada lampu jalan yang menerangi tempat
ini membuatku sedikit takut.
Aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan. Mencoba mencari celah untuk keluar dari situasi ini dan berharap agar Kang Minho bisa segera datang.
Namun, bawah sadarku menegur agar aku tidak sembarang menyimpulkan situasi. Kucoba untuk menghela napas dan mensugesti diriku sendiri jika aku akan baik-baik saja.
“Ada yang bisa kubantu?” Aku memberanikan diri untuk bertanya dan menunggu reaksi yang akan ditunjukkan oleh pria itu.
Semilir angin berembus ke wajahku ketika pria di depanku mengambil langkah. Refleks, aku pun mengambil satu langkah mundur. Jantungku mulai berdetak meningkat dan aku mulai memandangnya dengan tatapan waswas.
Pria itu tidak bicara. Tampilannya tidak mendukung presepsiku yang mulai mencurigainya sebagai penjahat. Sejujurnya pria ini terlihat begitu berkelas dengan jam tangan Rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Ditambah cincin dari permata dan zamrud pada jemarinya. Jas formal berwarna khaki. Namun, auranya dan juga tatapannya yang membuat bulu romaku berdiri.
“Tu—tuan.” Bibirku bergetar. Aku menoleh dan sialnya aku tak bisa menemukan cara untuk menghindarinya.
Keputusan terbaik untuk lari dari tempat ini. Aku langsung melemparkan kantung sampah di tanganku dan bersiap untuk berlari, tapi sialnya pria di depanku bergerak dengan cepat. Dia menghampiriku dan langsung meraih lengan kiriku.
“LEPAS!” pekiku. “TOLONG!” Aku berteriak.
“Bekerjalah padaku.”
Mulutku yang terbuka tak bisa mengeluarkan suara lagi. Tubuhku mendadak diam dan aku hanya bisa memutar bola mata menatapnya.
Dari penerangan seadanya, aku bisa melihat warna abu-abu di manik matanya. Dalam jarak sedekat ini, aku bisa merasakan napasnya yang sedingin es seperti tatapannya saat ini.
Kurasakan cengkeraman di lenganku mulai melonggar. Pria di depanku mengangkat tangan kirinya dan aku memantau pergerakannya lewat sudut mataku.
Kulihat dia meraih sesuatu di dalam jasnya. Aku kembali memutar pandangan berharap akan ada yang mendengar teriakanku selanjutnya.
“TOLONG ….”
“Hei!” Suara bariton berat itu kembali membuatku tersentak. Ia memperlihatkan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan bawah sadarku ikut bergidik ngeri. “Diam dan dengarkan aku.”
Masih menyandera lenganku, pria di depanku ini lantas mengeluarkan sebuah kartu dari dalam saku jasnya. Keningku mengerut lalu perlahan aku mulai mengangkat pandangan menatapnya dengan setengah alis yang terangkat.
Pria di hadapanku mengedikkan kepala menunjuk kartu di tangannya. Aku kembali menatap benda itu dengan pandangan sinis.
“Ambil,” katanya lagi.
Sambil menghela napas panjang, aku mencoba untuk meraih benda di tangan pria ini.
Burning Sun Club
Tiga kalimat itu yang
pertama kali k****a oleh karena tulisan kaligrafi yang ditulis dengan tinta
berwarna gold mengkilap. Bentuknya seperti kartu debit, hanya saja
sedikit lebih panjang. Didominasi warna ungu dan pada bagian atas diberi warna
RGB tiga dimensi. Maka, ketika aku menggerakkan kartu ini, aku akan melihat
cahaya seperti di dalam kelab. Seketika aku bisa menembak fungsi dari benda ini.
“Maaf aku tidak
tertarik,” ucapku sembari menyerahkan benda di tanganku padanya.
Pria di hadapanku
hanya menatap tanganku tanpa memberikan respon lebih selain seringaian yang
kini mulai tampak mengerikan.
“Nona, kau bahkan
belum tahu pekerjaan seperti apa yang ingin kutawarkan padamu dan berapa yang
akan kau dapatkan.”
“Maaf, Tuan, aku sama
sekali tidak tertarik. Terima kasih sudah mengunjungi restoran kami, selamat
malam.”
Aku melangkah dengan
cepat meninggalkan pria itu. Gila. Bahkan aku langsung bergidik ketika membaca
nama tempat itu.
“Lima ribu dolar.”
Langkahku terhenti.
Detik seperti melambat ketika bawah sadarku memberikan visualisasi nominal uang
yang barusan disebutkan oleh pria itu.
Aku menoleh kecil.
Lewat punggungku, kulihat pria itu memutar tubuhnya. Sudut bibirnya makin
terangkat.
Entah mengapa juga aku
tidak bisa membalikan tubuhku. Sepertinya kakiku telah kambuh. Seperti telah
tertancap di atas tanah. Sial.
Aku hanya bisa
menonton pria itu yang terus mendekat sampai tubuhnya berhenti di depan
punggungku. Bulu kudukku berdiri mebuatku bergidik. Namun, entah mengapa aku
tak bisa sama sekali beranjak dari hadapannya.
“Pikirkan sekali lagi.
Hubungi aku jika kau perlu bantuanku. Lima ribu dolar itu untuk semalam.”
Mataku makin melebar.
Aku bisa mendengar cengiran pria itu sebelum ia menarik wajahnya dari sampingku.
Maksudnya … lima ribu
dolar hanya untuk semalam? Itu jauh lebih besar daripada yang diberikan tuan
Dune. Gila. Itu dua kali lipat dari gaji bulanku di tempat ini.
“Yang benar … saja ….”
Aku mengerutkan dahi
saat tak melihat siapa pun di belakangku. Di mana perginya pria itu?
Seketika terdengar
suara mesin mobil yang terdengar begitu halus lantas kuputar pandangan mencari
di mana sumber suara itu. Tak berselang lama, sebuah mobil Ferrari melintas
lalu berhenti di depanku.
Aku memperhatikan bagaimana
pria yang semenit yang lalu berbicara padaku kini telah berada di balik kemudi
mobil sport limited edition di depanku. Lagi-lagi ia tersenyum dengan setengah
sudut bibir yang terangkat.
“Hubungi aku kapan pun
kau siap.”
Pria itu melesatkan
mobilnya setelah mengucapkan lima kalimat itu.
Tanpa sadar, mulutku
ternyata menganga sedari tadi dan tenggorokkanku mulai terasa kering. Aku
menelan ludah lalu menurunkan tatapanku.
Tanganku terangkat.
Entah mengapa jantungku bertalu dengan kencang ketika memandang kartu
bertuliskan Burning Sun di tanganku.
‘Lima ribu dolar itu
untuk semalam.’
“Argh!” Aku
menggoyangkan kepala untuk menarik kesadaran.
‘Jangan gila Dannys.
Kau tahu wanita seperti apa yang bekerja di kelab. Demi Tuhan. Buang pemikiran
gila itu, Dannys.’
Aku menghela napas
sembari mengangkat pandanganku. Aku tidak akan tergoda oleh tawaran pria itu.
Tidak. Aku masih muda dan pekerjaan di depan sana masih lebih manusiawi
daripada menjadi pelayan bar.
“Tidak,” gumamku
sembari menggelengkan kepal.
Aku mengembuskan napas
panjang. Berbalik dan kembali mengerjakan pekerjaan yang sempat tertunda
gara-gara pria itu.