Aku tersentak dan kupikir jantung ini telah berhenti berdetak, tapi kemudian memberikan tekanan yang kuat hingga membuat dadaku terasa ngilu.
Tubuh ini membeku, tapi wajahku bergetar hebat. Aku memaksa bola mataku bergerak.
Lewat sudut mata, aku menatap sepasang manik hitam tengah membulat menatapku.
"Kau tidak apa-apa?"
Kesadaran menyentak membuatku refleks menarik diri darinya. "Ma- maaf." Aku berdiri. Dadaku masih berdebar-debar. Takut. Semenit yang lalu kupikir aku akan jatuh menabrak lantai. Namun, lebih daripada itu, kegugupan yang sebenarnya bersumber dari pria yang berdiri di depanku dengan wajah khawatir.
"Astaga!" Embusan napas kasar terlalu kentara menandakan seberapa besar rasa khawatirnya. "Kau membuatku takut, Dannys." Minho mengusap wajahnya kasar.
Sebenarnya aku yang harus berkata seperti itu. Kau yang membuatku takut, Kang Minho.
Entah mengapa aku terus terintimidasi oleh pembawaan Kang Minho yang tenang. Walaupun kami akrab, tapi aku benar-benar tidak bisa lama-lama berada di dekatnya jika kami hanya berdua. Tubuhku tak bisa berhenti memberikan reaksi mengerikan.
"A-aku harus pergi." Kutatap Kang Minho sekali lagi. Pria itu mendengkus lalu mengangguk.
"Berjalan dengan hati-hati, Dannys."
Aku mengangguk lalu membawa tatapanku turun. Ya, perhatikan langkahmu, Dannys. Aku tak peduli. Nyatanya kakiku lebih memilih untuk melangkah panjang dan tergesa-gesa meninggalkan kedai kopi.
***
"Hahhh ...."
Napasku keluar dari mulut saat aku membawa tatapan ke langit. Aku bergegas meraih sebuah pohon yang berdiri kokoh di taman depan kampus. Kusandarkan tubuhku di sana. Sebentar saja. Aku perlu waktu untuk memperbaiki napas.
Oke, sekali lagi. Aku mulai menarik napas dalam-dalam dan sambil menutup mata, aku melepaskan napasku lagi. "Fyuuhhh ...." Rasanya lebih baik.
Kugoyangkan kepala untuk semakin menarik kesadaran. Baiklah. Tubuhku kembali pada fungsi normal. Aku mulai mengambil langkah.
Hampir terseok dan aku kembali menegakkan badan. Cukup, Dannys. Hilangkan pria itu dari pikiranmu.
Sepertinya perlu satu tarikan napas panjang lagi. Aku melakukannya sambil memandang bangunan di depanku. Oke, kali ini aku benar-benar telah siap.
Aku kembali mengambil langkah dan kakiku telah berfungsi normal. Aku memandang bangunan megah di depanku. Seketika otakku ikut berfungsi membuat tubuh ini yang semula lemas menjadi lebih tegar. Bangunan di depan sana selalu membangunkan semangatku setiap kali aku berada beberapa meter dari pintu masuk.
Sekali lagi, harus kukatakan jika aku bangga menjadi salah satu mahasiswa Fakultas Hukum di UW-Madison.
Sedikit cerita tentang universitas ini.
Aku memilih University of Wisconsin karena kualitasnya. Walau sebagian orang akan memandang Harvard, Yale, Stanford, dan teman sekawannya yang memiliki peringkat terbaik di dunia, maka perlu kutekankan jika Wisconsin University tak kalah memiliki kualitas pendidikan yang bisa dibilang setara dengan universitas Ivy Leagues.
Selain biaya hidup yang ramah pada mahasiswa internasional, UW-Madison sendiri terus menempati peringkat top 20 sebagai universitas terbaik di Amerika dengan jumlah mahasiswa international terbesar yang berjumlah lebih dari 4000 orang yang datang dari berbagai negara.
Selain itu, UW-Madison juga mendapat peringkat ke-19 sebagai universitas terbaik di dunia menurut Academic Ranking of World Universities tahun 2012. Banyak dari lulusan UW-Madison mendapat penghargaan Nobel maupun Pullitzer, dan banyak yang berkarir di bidang pemerintahan, politik dan hukum.
Bukannya di Indonesia tak ada kampus terbaik di mana aku bisa menimbah ilmu hukum, hanya saja, kupikir hampir semua orang tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang bagus untuk berkuliah di luar negeri.
Aku salah satu dari mereka. Impian untuk merasakan sensasi belajar di luar negeri sudah menjadi angan-anganku sejak dahulu. Itulah sebabnya aku memilih tempat ini untuk kujadikan tempat menimbah ilmu.
Oke. Cukup dengan sejarah kampus dan bagaimana aku si gadis Indonesia bisa berada di tempat ini. Sekarang waktunya menghadapi realitas.
Aku bergegas menuju aula karena kuyakin para mahasiswa jurusan hukum sudah berbondong-bondong ke sana.
Tepat saat aku masuk lewat pintu belakang, Prof. Ansel muncul dari bagian depan. Aku mengambil tempat di tengah. Tidak terlalu di depan dan tidak terlalu di belakang. Posisi ini terbilang aman untuk bersembunyi dari pertanyaan Prof. Ansel yang kadang suka membuat jantungku berjempalitan.
Satu hal lain yang mengagumkan dari universitas ini adalah ruang belajar. Tempat ini bagai representasi sebuah bioskop, di mana para siswa akan duduk di tribun sementara sang dosen berada di depan paling bawah. Dengan begini, para mahasiswa akan lebih fokus memperhatikan sang dosen.
"Oke, mari kita mulai. Hari ini, kita akan membahas Criminal Law and Criminal Procedure. Well, sebelumnya aku ingin bertanya."
Semua mahasiswa tampak menghela napas sambil memperbaiki cara duduk. Suasana hening menjadi tegang saat Prof. Ansel mulai mengacungkan jarinya.
***
"Pesiapkan diri untuk study tour yang akan serentak dilaksanakan awal bulan depan. Semoga hari kalian menyenangkan."
Aku menghela napas lalu membuangnya dengan cepat. Serentak seluruh mahasiswa di dalam aula bersorak. Sebagian bahkan memekik kegirangan saat mendengar Prof. Ansel menyudahi mata kuliahnya. Tentu saja. Memangnya siapa yang tidak akan bosan duduk di dalam aula yang besar selama tiga setengah jam dalam keadaan hening dan kaku. Bokongku bahkan terasa panas sekarang. Aku menutup notebook lalu memasukkannya ke dalam tas. Menyusun tumpukan buku tebal seputar ilmu hukum dan bersiap untuk bangkit dari tempat duduk.
"Dannys."
Aku mendongak saat seseorang memanggilku. Dia Stacy. Kami satu fakultas, tapi aku dan Stacy malah lebih banyak bertemu saat di klub Asosiasi Mahasiswa karena pacar Stacy berasal dari Turki.
Aku mengulas senyum di wajah lantas menyapanya, "Hai, Stacy."
"Kau mau ke klub, kan? Ayo pergi bersama," ajak Stacy. Gadis itu mengedikkan kepala menunjuk pintu keluar.
Sambil tersenyum, aku mencoba memikirkan bagaimana caranya untuk menghindari ajakan Stacy. Tak semua orang harus tahu pekerjaan baruku.
Aku menggeleng. "Aku harus ke perpustakaan."
Stacy memutar bola mata seraya melayangkan kedua tangan ke udara. "Ayolah," bujuknya.
Aku hanya bisa terus tersenyum. Melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanan Stacy membuatku sadar jika aku harus bergegas ke Dells Baraboo.
"Next time, Stacy. Send my regrads for Priyanka and tell my apologize too. Jika masih ada halwa atau apa pun cemilan yang tersisa, titip saja pada Yoshi." Kututup kalimat dengan senyum kotak dan kedipan mata. Aku bersiap untuk meninggalkan kelas.
Aku mendengar Stacy memanggil salah satu temannya. Sebenarnya aku ingin bertanya mengapa dia tidak bersama Burak kekasihnya, tapi aku cukup yakin jika kami akan terlibat percakapan panjang lebar yang akan membuatku terlambat.
Aku mempercepat langkah menuju jalan raya. Namun, kemudian sesuatu menarik perhatianku.
Dari kejauhan kulihat Kang Minho sedang kesulitan membawa setumpuk kertas di tangan yang menutup hingga ke wajahnya. Pria itu terlihat bingung mencari-cari sesuatu.
'Oh, come on, Dannys. You don't have to help him. Just go!' Suara di kepalaku mengingatkan.
Aku bersiap untuk kembali melangkah, tapi sejurus kemudian kudengar teriakan dari seberang, "Damn it!" Suara itu memaksaku untuk melirik ke arahnya.
"Oh ... s**t!" Aku mendesah. Tak ada pilihan lain. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menghampiri Minho dan tepat saat aku berada tiga langkah darinya, kulihat tubuhnya terhuyung.
"Ups!" Kedua tanganku berhasil menahan tumpukan kertas di tangan Minho sebelum jatuh dan kuyakin, jika ini tercecer Kang Minho akan mendapat masalah besar.
Aku memutar pandangan dan tepat saat itu juga mataku bertabrakan dengan sepasang manik hitam milik Kang Minho. Dia tersenyum padahal wajahnya terlihat panik.
Aku mendorong tanganku. Sempat kulirik bagian sampul paling atas dan sepertinya itu makalah. Jika spekulasiku benar, pasti Kang Minho diberi tugas untuk mengecek makalah mahasiswa tingkat pertama.
Maklum, pria super cerdas ini menjadi kesayangan semua dosen. Bahkan, mereka yang bukan fakultas hukum pun mengenal betul kecerdasan pria Kang ini. Tak jarang beberapa dosen fakultas lain juga pernah meminta tolong padanya.
Tubuhku yang semula membungkuk kini berdiri tegap bersamaan dengan Kang Minho yang ikut menegakkan badan.
"Terima kasih, Dannys. Oh ... aku tidak bisa bayangkan akan bagaimana jika kertas-kertas ini mendarat di atas tanah, Ms. Robertson akan membunuhku," keluh Minho.
Aku mengulum bibir membentuk senyum simpul. "Be careful," ucapku singkat. Aku bersiap untuk memutar lutut. Sudah terlalu banyak membuang waktu.
"Hei, Dannys."
Langkahku terpaksa terhenti saat pemuda Kang itu kembali memanggilku. "Hem?" tanyaku.
"Bisa bantu aku sekali lagi?" tanya Minho. Aku menarik langkah lalu mengangukkan kepala. "Bisakah kau mengambil kunci mobilku?"
"Sure," jawabku.
Minho tersenyum kaku. Kulihat perubahan ekspresi di wajahnya yang membuatku berpikir jika benda itu tersembunyi di suatu tempat yang sulit kujangkau.
"Ah, tapi ...." Minho mengulum bibirnya lantas memalingkan wajah. Kudengar Kang Minho berdecak bibir sebelum ia kembali memutar wajahnya padaku.
"Di mana aku harus mengambilnya, Minho?"
Minho mendesah. Ekor matanya menunjuk ke belakang. Aku mengikuti gerakan sudut matanya. Namun, sampai detik selanjutnya aku tidak mengerti maksud tatapan Minho.
"In your bag?" tanyaku sambil mengerutkan dahi. Minho meresponya dengan menggelengkan kepala. Astaga, aku akan terlambat. "Kalau begitu katakan di mana kuncimu agar aku segera ke sana dan mengambilnya karena aku sedang buru-buru."
"Di saku celana," ucap Minho. Ia kembali berdecak kesal.
Aku mendesah. Demi Tuhan. Kupikir dia akan mengatakan jika kuncinya ada di bawah timbunan tanah hingga aku harus mengerahkan seluruh kekuatan untuk mengambilnya. Sia-sia aku menahan rasa penasaran. Kutatap Minho dengan mata sinis sebelum aku melangkah ke belakang tubuhnya.
"Left or right?" tanyaku.
Minho menoleh. "Right," jawabnya.
Aku segera memasukkan tangan ke dalam saku celana sebelah kanan. Tak sulit meraih kunci mobil milik Minho. Setelah mendapatkan benda itu, aku langsung menekan tombol lalu kutarik pintu samping kanan.
"Thank's again," ucap Minho.
Aku mengangguk. Memberikan ruang pada Minho untuk bisa membawa tumpukan makalah itu ke dalam mobil. Kudengar desahan napas panjang saat Minho berhasil menaruh tumpukan kertas di tangannya. Minho kembali menegakkan badannya.
"Aku harus pergi."
"Dannys, bagaimana kalau aku mengantarmu?"
Aku mengulum senyum. "Thank's, tapi aku bisa pergi naik taksi. Lagi pula, aku yakin jika kau harus buru-buru ke klub."
Minho menggeleng dengan cepat. "Tidak," katanya sambil memberengut lantas membuka kedua tangan di depan d**a seraya mengangkat kedua pangkal bahu. "Aku punya banyak waktu. Lagi pula kau buru-buru, kan? Anggap saja ucapan terima kasih karena kau sudah membantuku. Oke?"
Aku menarik napas. Memaksa otakku untuk mencari jalan lain, tapi saat aku menoleh pada jam tangan yang melingkari pergelangan tangan Minho, aku jadi tak punya pilihan lain.
"Aku tahu rute tercepat menuju Dells Baraboo. Kau bisa sampai dalam lima menit jika segera masuk ke dalam mobil."
Desahan napas panjangku kembali menggema. Tak ada pilihan lain, lantas aku pun menganggukkan kepala. Kulihat sudut bibir Minho naik membentuk senyum.
"Good," ucapnya. Ia mengedikkan kepala menunjuk mobil.
Satu hal yang membuatku berada pada posisi beruntung adalah aku tak perlu duduk di samping Kang Minho karena tempat itu sudah terisi tumpukan makalah. Namun, persepsiku berubah saat Kang Minho membuka pintu belakang. Pria itu bergerak dengan cepat dan melesat ke depan. Satu gerakan luwesnya sanggup memindahkan tumpukan kertas dari depan ke kursi belakang.
Oh, s**t. I'll be caught up in drama. Again.
"Let's go." Minho tersenyum. Namun, yang kulihat dia sedang menyengir.
Saat bersama Kang Minho, aku tahu jika aku akan banyak bernapas berat. Itu sudah pasti. Bahkan saat tubuhku masuk ke dalam mobil, dudukku langsung gelisah. Aroma black musk dan citrus langsung menyambar penciumanku. Efek sampingnya tepat menyerang jantungku.
Deg deg deg deg deg
Bunyinya melebih kecepatan perpindahan milidetik.
"Fyuuhh ...." Aku melepas napas sambil membawa pandanganku ke luar jendela. Tepat saat itu juga aku mencium aroma lain dan kemudian aku tahu jika Kang Minho telah berada di sampingku.
Aku menoleh lewat sudut mata. Kang Minho tampak sedang menyetel audio. Ya, aku pernah beberapa kali menumpang di mobil Minho, tapi ini yang pertama kalinya kami hanya berdua. Sejauh yang aku tahu, dia suka sekali memutar musik sebelum melakukan perjalanan.
Aku juga tahu kalau Kang Minho lebih suka musik berirama cepat. Hip hop, rap. Aku sering mendengarnya memutar lagu Cardi B, Rich Brian. Oh ya, dia fans sekali pada pria asal Indonesia itu, Rich Brian. Dari Minho aku tahu kalau ada rapper berdarah Indonesia yang cukup terkenal di Amerika.
"Don't worry, Dannys." Aku sampai harus bergeming saat mendengar suara Minho yang tiba-tiba memecah lamunanku. "Kau akan tiba dalam empat menit kurang dua puluh sembilan detik." Sudut bibir Minho makin naik dan senyum miringnya sangat memesona.
Oh my ....
Aku membawa tatapanku ke luar. Menyandarkan tangan ke jendela untuk menopang wajahku yang kembali terasa panas.
Berhenti menatap wajahnya, Dannys.
Alunan lagu milik Camila, Ed dan Cardi B – South of the Border mengiringi perjalanan kami menuju Dells Baraboo. Jantungku menggila saat mendengar suara merdu Kang Minho.
Di beat bagian Cardi B, Kang Minho menyesuaikan suaranya dengan rapper asal Bronx itu. Perpaduan suara mereka membuatku bergidik dan alam bawah sadarku kembali dibuat terpukau.
Adakah kekuarangan dari pria ini?
"Jump in water be free, come south of border with me. Come south of the border, border ...."
Kupikir jika kesempurnaan memang pantas diberikan pada manusia, maka orang pertama yang layak masuk kualifikasi itu adalah Kang Minho.