9. Fear That Comes Quickly

2196 Kata
Aku setengah mati mencari-cari cara untuk menghindari tatapannya, tetapi Demi Tuhan! Satu sisi dalam diriku tertawa keras sementara di satu sisi lain yang lebih mendominasi kini sedang terisak tangis. Bagaimana bisa? Takdir macam apa ini? Aku sempat berpikir jika aku sedang bermimpi, lalu kuputuskan untuk mencubit lenganku dengan kuat. “Awh!” Aku meringis dan refleks mataku bergerak mengitari sekelilingku. Kemudian aku kembali memandang ke depan dan seketika aku tersentak. Oh, sial. Ternyata ini nyata. Aku tidak bermimpi. “Kalau begitu silakan cari tempat duduk untukmu, Belanger.” Ms. Robinson kembali berbicara dan suaranya semakin membuatku sadar jika semua ini benar-benar nyata. Ini tidak main-main. Pria itu sungguh dia dan sekarang dia berada satu ruangan denganku. Jantungku tidak mau berdetak normal setelah mengetahui kenyataan yang begitu menyakitkan kini berdiri di depan mataku. ‘Tenang, Dannys. Kau tidak perlu terlihat gugup sekarang. Belum tentu juga dia mengenalmu. Semalam sangat gelap,’ batinku mencoba untuk membuatku tenang. Aku pun mengangguk. Ya, benar. Aku mendesah panjang sekarang. Yang bisa kulakukan adalah bersikap sewajarnya. Mungkin dia hanya tidak sengaja menatapku. Buktinya dia duduk tenang. Kalau pun dia mengenali aku, sudah pasti dia akan menghampiri aku. Ada kursi kosong di sampingku, tapi dia malah memilih duduk di kursi paling depan. Baguslah. Semoga dia memang tidak akan mengenaliku. Namun, bagaimana setelah ini? Bagaimana jika dia hanya pura-pura tidak mengenalku. Lagi pula siapa juga penjahat yang mau menegur calon korbannya di muka umum? Apa... apa ini hanya trik yang dia gunakan untuk menjebakku? Apa dia punya rencana lain yang tidak aku tahu? Apa semalam dia mengikuti aku dan sengaja membuntuti aku sampai ke kampus? Apa... apa dia kemari untuk membunuhku? Oh, tidak! Itu pasti benar. Dia pasti kemari untuk membunuhku dan sebentar lagi dia akan melakukannya. “Damn it!” Aku memaki tanpa sadar dan hal itu sukses membuat lelaki di depanku menoleh ke belakang. Mataku mendelik dan aku langsung menundukkan kepala. Sial! Makiku dalam hati. Gadis batinku kembali sambil mengacak-acak rambutnya frustasi. Dalam satu detik, konsentrasiku pecah. Aku sungguh tidak bisa duduk tenang. Gelisah dan perutku makin terasa mulas. Walau bagaimanapun pria itu seorang kriminal dan aku tidak menyangka jika dia juga seorang mahasiswa Fakultas Hukum. Sekali lagi aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana bisa? Kugoyangkan kepala untuk menarik kesadaran. Cukup. Berhenti memikirkan pria itu. Aku harus berkonsentrasi pada materi. Setelah ini, akan kupikirkan cara terbaik untuk menghadapi pria itu apabila ternyata dia juga mengenaliku. Ah, sial. Aku mencoba menghela napas untuk membuat diriku tenang. Alih-alih, aku malah makin gelisah. Aku ingin segera berlari keluar. Semakin menatap punggungnya, semakin dadaku terasa ngilu. “Dannys?” Aku menoleh pada Stacy. Dia mengangkat kedua alis sambil mengedikkan kedua bahu. Dari tatapannya, seolah-olah gadis itu ingin menanyakan apakah aku sedang baik-baik saja? Lalu kupaksakan senyum di wajah. Aku mengangguk sekali dan membuang napas berat. Kuberi isyarat pada Stacy agar dia segera memutar pandangan ke depan. Aku berusaha sekeras mungkin untuk menyerap materi yang sedang diberikan oleh Ms. Robinson dan aku menahan kegelisahanku sampai jam pelajaran berakhir. *** Sekitar pukul dua siang, Ms. Robinson mengakhiri kelasnya. Aku berani bersumpah bahwa sepanjang mata kuliah, aku sama sekali tidak mendengar dan tidak sekalipun aku mengerti apa yang dikatakan oleh Ms. Robinson. Seluruh pikiranku buyar hanya karena kehadiran seorang lelaki yang aku sangat yakin sekali. Gadis batinku juga setuju kalau dia pria itu. Sungguh aku tak akan bosan mengatakannya kalau dia pria itu. Pria yang semalam bersama teman-temannya dan melakukan tindakan melawan moral. Tidak, tidak. Itu tindakan kriminal! Aku menandaskannya dalam hati. Sial! Aku harus cepat pergi dari sini sebelum dia mengenaliku. Persetan! Mungkin saja dia sudah mengenaliku. Ah, sialan! Dalam sedetik, dia mampu mengacaukan pikiranku. “s**t! I’m really going crazy right now!” Aku bergumam dan tampaknya itu sukses menarik perhatian teman sebangku di sampingku. “What?!” Stacy ikut bergumam dan aku mendengkus. Kupalingkan wajah sekilas padanya. “Tidak, tidak apa-apa. Aku duluan!” Ucapanku membuat Stacy mengerutkan dahinya dan mengangkat setengah bahunya ke atas. “What?!” sekali lagi dia bergumam dan kali ini dahinya mengerut. “what is up with you, heuh?!” Sekali lagi aku mendengkus. “Tidak, Staz. Tidak ada apa-apa. Aku hanya terlalu lelah dan ingin pulang,” ucapku. Tak ada jawaban dari Stacy. Dia hanya mendengkus dan dengan mata terbelalak, dia menggelengkan kepalanya. “Kau benar-benar aneh hari ini, Dannys.” “Ya, aku tahu,” gumamku. Sekali lagi Stacy mendongak dengan pandangan tercengang, tetapi aku sudah tidak punya waktu untuk meladeni ucapannya. “Sampai nanti!” “Hei, Dannys!” Aku bergegas memasukkan notebook dan beberapa buku ke dalam tas. Tanganku bergetar diikuti debar-debar di d**a. Aku berdiri dan dengan cepat aku memutar lutut dan berjalan menerobos kerumunan. “Hei!” “Maaf,” gumamku. Aku tak sengaja menabrak seseorang. Tak berani menoleh dan lebih memilih untuk menundukkan kepala. Untuk meraih pintu keluar aku harus mengerahkan kekuatan ekstra. Sial. Seketika aku menyesali keputusanku yang memilih tempat duduk di tengah. Kalau aku tahu akan seperti ini, maka aku akan langsung memilih tempat duduk paling belakang. Tersudut dan dekat pintu keluar. “Dannys!” Aku mendengar suara Stacy saat langkahku berhasil menginjak pintu keluar. Sial, Stacy! Tidak hari ini. Aku hanya ingin selamat dan berbicara denganmu hanya akan membuatku terbunuh. Tubuhku kecil dan sedikit sesak ketika berusaha menerobos kerumunan orang yang terdiri dari beberapa lelaki. “Permisi.” “Hei, ada apa denganmu?!” “Maaf. Aku buru-buru!” Tak sedikit dari mereka yang geram karena aku terus mendorong tubuhku dan memaksa mereka memberikanku celah. Aku tak peduli. Kedua kakiku mulai gemetar dan jantungku mulai bertalu dengan kencang. Di sinilah aku yakin bahwa aku sedang ketakutan dan panik. Namun, di saat semua perasaan itu semakin membuatku takut, aku malah semakin mempercepat langkah. Berhasil keluar dari kerumunan teman sekelasku, aku pun melesat dari sana. “Dannys, hei! Berhenti sebentar!” Aku tidak bisa menoleh walau Stacy telah berulang kali memanggil namaku. Maaf, Stacy, tetapi yang kuinginkan saat ini hanyalah pergi sejauh mungkin. Bahkan jika bisa, aku ingin menghilang sekarang juga. Bumi, tolong telan aku. “DANNYS!” Sial. Bisakah wanita itu berhenti memanggil namaku? Stacy malah makin membuatku ketakutan. Aku mencari-cari celah untuk sesegera mungkin kabur dari tempat ini. Berada di perempatan dan entah mengapa aku malah memutar tubuhku ke kanan. Perpustakaan. Ya. Tempat itu terlintas begitu saja di benakku. Ya, di sana. Aku bisa bersembunyi di sana. Aku tidak bisa lari sekarang karena hariku masih panjang dan aku masih harus berada di kampus. Setelah tiba di perpustakaan, aku akan menelepon Minho dan meminta bertemu lalu akan kuceritakan semuanya. Ya. Kami bisa membuat laporan pada pihak kampus jika si mahasiswa pindahan yang hari ini baru pindah adalah seorang kriminal. Sekarang yang penting aku harus menemukan tempat yang aman. Ya. Perpustakaan saja, Dannys. Di sana kau akan aman. Akhirnya aku memutuskan untuk berlari, akan tetapi saat kakiku telah siap untuk kembali melangkah, aku malah merasakan tarikan yang kuat di lenganku. Mulutku terbuka saat tubuhku bertabrakan dengan udara. Kepalaku berputar, tapi aku tidak bisa melihat apa pun sampai kurasakan hantaman yang kuat datang di punggungku. “Argh!” Aku meringis dengan mata tertutup. Dengan cepat aku membuka mata dan seketika kelebat bayangan hitam menutupi wajahku. Sontak aku pun mendongak. Kudapati sepasang manik berwarna biru tepat berada di depan mataku. Mendadak napasku terhenti di d**a kemudian disusul dengan tubuhku yang membeku dari telapak kaki hingga ke tengkuk. Kurasakan bulu romaku bangkit dan membuat tubuhku nyaris bergidik. Sekalipun insting pertamaku menyuruhku untuk berlari, tetapi aku malah mendapati tubuhku terdiam kaku dengan perasaan takut. Dia berada sangat dekat. Begitu dekat sampai aku bisa merasakan napasnya menerpa wajah hingga ke tenggorokanku dan semua itu semakin menambah perasaan takut di dalam diriku. Dengan sisa-sisa keberanian yang kumiliki, aku mencoba untuk memalingkan wajah dan melepaskan tatapan dari sepasang manik biru penuh diskriminatif di depanku. Tubuhku bertindak sendiri hendak mencari jalan keluar, akan tetapi dia lebih gesit mengunci pergerakanku dengan menaruh tangannya pada kedua sisi tubuhku. Aku kembali terdiam dengan napas yang terhenti di d**a. Kupalingkan wajahku, memandang si pria berambut tembaga dengan sepasang iris berwarna biru, tepat di depan wajahku. Aku mendengar gemuruh di dadaku dan getaran yang kembali kurasakan hingga ke sumsum tulangku. Demi Tuhan! Menatap mata itu, memori langsung menerbangkanku pada kejadian yang baru kualami semalam. “Minggir kau!” Suaraku berubah menjadi desisan. Rahangku mengencang dan mulutku terkatup, tetapi sebenarnya aku tidak percaya jika aku bisa seberani itu hingga bisa melontarkan kalimat seperti tadi. Tekanan jantungku yang bertalu kencang membuat tubuhku lemas, tetapi alam bawah sadarku mengirimkan adrenalin yang membuatku berani bertahan memandang sepasang manik biru dengan pandangan penuh intimidasi dan membunuh di depanku. “Ikut denganku.” Dia bersuara dengan nada setengah menggeram. Napasnya berubah berat. Kasar. Brutal. Serta kedua sisi rahangnya yang mengencang, menampilkan otot-otot di wajahnya. Mata birunya semakin melebar seolah ingin melahapku sekarang juga, tetapi aku masih punya setitik keberanian yang kugunakan untuk menggelengkan kepalaku. “Tidak!” tolakku dengan nada tegas. Kelopak matanya semakin terbuka lebar. Rahangnya semakin mengencang seiring dengan mulutnya yang terkatup dan membentuk garis lurus. Sungguh pun, aku bisa melihat urat-urat di leher dan dahinya yang ikut mengencang, sontak membuat alam bawah sadarku ikut bergidik ngeri. Celaka! Jika sudah begini, pasti dia sudah tahu jika akulah targetnya semalam. Hening. Tak ada satu pun dari kami yang bersuara dan kami hanya saling menatap. Kulihat hidung mancungnya kembang kempis. Napasnya berembus berat menyapu kulit wajahku lalu bertabrakan dengan napasku sendiri. “Kubilang minggir kau!” Sekali lagi aku berucap dengan nada tegas, tetapi yang terdengar hanyalah getaran ketakutan yang membuat pria itu menyeringai. Sekarang tamatlah aku. Sudah pasti ada tulisan ketakutan di dahiku. Sial. Aku benci situasi seperti ini. Aku benar-benar tidak berdaya dan tak ada siapa pun yang bisa kumintai tolong dan mengeluarkan aku dari tempat terkutuk ini. Dia masih tidak berucap dan terus mengencangkan rahang dan sekali lagi dia sengaja memperdengarkan kertakkan gigi yang aku yakin bahwa dia pun yakin jika itu bisa membuatku ketakutan. Dan dia berhasil! “Enyah dariku!” Otakku melarang aku untuk melepaskan tatapan darinya. Kulihat bola matanya mulai bergerak. Lewat sudut matanya, pria di depanku melirik ke kiri lalu ke kanan. Setelah itu pandangannya kembali dan seketika dia menyeret tanganku. “Lepaskan aku!” Aku kembali berteriak dan kali ini kupaksakan tanganku untuk berayun dan berusaha untuk terlepas darinya, akan tetapi cengkeraman tangannya malah semakin kuat mengencang di pergelangan tanganku. Dia sama sekali tak peduli dan kemudian dengan gampang menyeretku dari tempat itu. “Lepaskan aku!” Aku terus berteriak. “tolong!” Kali ini tak ragu untuk memohon. Aku menengok ke kiri dan ke kanan, berharap bisa menemukan seseorang. Lorong menuju perpustakaan terlalu sepi. Sialan, apakah situasi harus begitu mencekam seperti sekarang ini, hah?! “Hei, lepaskan aku!” pekikku. Aku memukul tangannya, mencubit dan memukul lagi. “Hei!” “HEI!” Aku tersentak. Seketika tubuhku membeku. Apa-apaan itu?! Dia ... membentakku?! Sial! Suaranya bahkan berdengung di dalam kepalaku dan saat aku mendongak, aku mendapati sepasang mata birunya tengah memandangku dengan tatapan nyalang. Ada selapis warna merah yang menutupi netra birunya dan aku seperti melihat kabut amarah yang meluap-luap di dalamnya. Rahangnya kembali mengencang serta napasnya yang bergemuruh di depan wajahku. Dalam sekejap seluruh keberanianku terbunuh. Aku melongo dan tak bisa berbuat apa-apa. Tamat. Bola mataku terpaku pada sepasang mata biru menakutkan itu dan aku tidak tahu jika dia sudah bergerak lagi. Yang bisa kurasakan hanyalah tembakan angin yang mendorong tubuhku dengan sangat kuat dan membuat tubuhku tak dapat melakukan perlawanan. Aku masih berusaha membuat otakku kembali berfungsi, tapi pria sialan ini terus bergerak. Tak memberi kesempatan. Dia sangat cepat mengayunkan tangannya membuat tubuhku terseok kemudian dia menariknya dan membanting tubuhku seperti membanting bantal guling. “Argh!” Aku kembali meringis saat punggungku menabrak dinding. “Apa-apaan, ka—“ Aku membelalak saat pria sialan itu membungkam mulutku dengan satu tangannya lalu dia mendorong wajahku sampai kepalaku terbentur ke dinding. Aku meringis lagi dan seketika telingaku penuh dengan bunyi berdengung, kemudian merambat secara perlahan rasa pening di kepala. “Mmmpht!” Aku berusaha untuk melawan dengan menggoyangkan kepalaku. Mencoba melawan dengan mengayunkan kedua tangan. Menonjok, menampar, tapi semua itu tak ada gunanya. Seakan-akan yang kupukul hanyalah sebuah patung yang tak bisa merasakan apa pun. Sekuat apa pun pukulanku, tak bisa membuatnya bergerak sedikit pun. Napasku terengah-engah di dalam telapak tangannya. Mataku membulat menatapnya. “Mmmphttt!” Pria di depanku hanya diam. Tak bergerak sekalipun saat dia tahu bahwa dia telah berhasil mengunci seluruh pergerakanku. Sial! Aku benar-benar akan terbunuh dan tiba-tiba saja mataku bergerak, melirik ke sekeliling. Sedetik kemudian aku sadar jika aku sedang berada di dalam toilet. Apakah tak ada siapa pun di sini? Lagi pula ke mana perginya semua orang? Ada puluhan ribu orang di kampus ini dan hari ini mereka mendadak menghilang? “Hempsheskan hakhuuu.” Aku berusaha untuk mengucapkan kalimat ‘lepaskan aku’, tapi si sialan ini tidak berkutik sama sekali dan sejurus kemudian satu tangannya terangkat. Bertindak cepat mencengkram leherku. Sial. Kupaksakan kedua tanganku untuk kembali bergerak. Berusaha mencengkeram pergelangan tangannya lalu kutarik tangan itu. Namun, bukannya melonggar, tangannya malah makin mengencang di leherku. Tenggorokanku mulai terasa sakit. Dia mencengkeram lalu mendorong tangannya membuatku tak bisa bernapas. Ya Tuhan … mengapa aku harus bertemu dengannya. Aku tidak ingin mati. Kumohon kirimkan seseorang untuk menolongku. Kumohon. Kumohon. Kumohon.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN