“Hei ... ada apa dengan kalian? Sepertinya aku merusak suasana.”
Dengan wajah tegas dan dengan napas yang mendesah lirih, aku memutar wajahku dan mengarahkan tatapan sinis pada lelaki yang berdiri di sampingku. Demi Tuhan jantungku berkedut-kedut dengan kencang dan aku bersumpah bahwa aku ingin membongkar identitasnya, tetapi jiwa pengecutku semakin mendominasi dan membuat mulutku menjadi keluh.
Kudengar suara gagap dari Kang Minho yang membuatku mengalihkan pandangan ke depan. Mulut Kang Minho megap-megap dan tak tahu harus berkata apa. Wajar saja. Jika didengar dari perkataan Minho, aku dapat memastikan bahwa di mata Minho pria ini adalah pria yang baik.
Oh, satu kejutan tak terduga bahwa dia adalah putra dari Marthin Belanger, ketua yayasan terbesar di kampus ini maka aku dapat memastikan bahwa pria ini adalah pria yang akan disegani oleh siapa pun di kampus ini.
Perfect!
Sekarang akulah yang akan lenyap secara perlahan. Kulihat gadis batinku mulai mencabik-cabik dirinya sendiri dimulai dari mencengkeram rambutnya dengan kuat lalu dia berlari ke jurang dan menjatuhkan dirinya di sana.
Tamat!
“Ah! Begini ... aku ....” Kang Minho kembali memandangku di saat ia tiba-tiba membawa telunjuknya menggaruk ujung pelipis. Senyum kaku di wajahnya dan pandangannya sarat memberitahu diriku bahwa dia dalam situasi canggung.
Hatiku berkata bahwa aku bisa membongkar identitas pria ini. Lupakan soal semalam bahwa dia terlibat dengan tindakan kriminalitas, tetapi hei! Dia mencekik leherku dan nyaris membunuhku. Tidakkah semua itu cukup untuk memperjelas bahwa putra seorang ketua yayasan adalah seorang kriminal?
“Cih!” Aku mendengar decihan halus itu keluar dari bibirku. Semakin lama berdiri di antara kedua orang pria ini semakin membuat kepalaku meledak.
“Dannys!” Panggilan itu membuatku mendelik sekaligus berhasil menyeret atensiku.
Kuputar tubuhku mendapatkan seorang gadis yang langsung membuat mataku mendelik. “Stacy!” gumamku. Sekilas aku memandang Kang Minho dengan mulut megap-megap tanpa tahu harus berkata apa.
Jantungku semakin bertalu dengan kencang dan membuat kepalaku berkedut-kedut nyeri. Aku pun tak tahu mengapa napasku ikut-ikutan berubah. Dadaku memberat dan mulutku benar-benar keluh.
“Mi—Minho!” Aku memanggil Kang Minho, tetapi tatapanku tertuju pada lelaki di sampingku. Sekejap kulihat dia tersenyum, tetapi alam bawah sadarku menangkap seringai licik yang kemudian membuatku tak memiliki pilihan lain.
“I’ll see you later!” Aku yakin bahwa aku mengucapkan kalimat itu. Sekalipun dengan nada yang begitu pelan. Menjadi desisan yang menyatu dengan udara.
Tubuhku gemetar ketika aku memaksakan kedua kakiku untuk berputar kemudian aku melangkah secepat mungkin meninggalkan Kang Minho.
“Dannys!”
“Stacy!” Kupercepat langkah menyusul Stacy dan hatiku gemetar, membuat mataku terasa perih. Aku mau bersyukur bahwa Tuhan menghadirkan Stacy di saat yang tepat setelah aku mati-matian menolaknya. Lalu dalam pemikiran paling dangkal aku semakin menyalahkan diriku sendiri.
Seandainya saja ketika Stacy memanggilku tadi aku bisa langsung berlari padanya. Sungguh pun, aku pasti tak akan mengalami kejadian menyeramkan itu. Aku pasti akan aman.
“Dannys.”
“Stacy!” Aku mengentak nama itu tepat saat aku tiba di depan tubuh Stacy dan tanpa permisi aku langsung memeluk tubuhnya.
“Dannys?” Panggilan Stacy berubah. Aku bisa membayangkan raut wajahnya saat ini bahkan sewaktu aku tidak melihatnya.
“Dannys, what’s going on?” Stacy mendorong bahuku dan memaksa aku untuk mendongakkan wajah. Aku memandang Stacy selama dua detik lalu aku berpaling dan menoleh ke belakang. Napasku masih bergemuruh dan sungguh pun aku tak mengerti mengapa ketakutan itu masih mendera pikiranku.
“Dannys!”
Aku tersentak sewaktu Stacy memegangi kedua sisi lenganku. Keningnya melengkung ke tengah serta matanya yang memandangku dengan tatapan waswas.
“What the hell is up with you!” Stacy terus saja bertanya dan aku masih dalam kebimbangan.
Sekali lagi aku menoleh ke belakang, memandang Kang Minho yang tengah berbicara dengan Max Belanger. Kulihat Kang Minho menyeka tengkuknya dan tersenyum kaku sementara Max menoleh ke arahku yang membuat aku langsung memalingkan wajah dan menyeret pandanganku kembali ke depan, memandang Stacy.
“Dannys, aku memanggilmu sejak tadi. Ponselmu ketinggalan!” Stacy menekan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia menoleh ke belakang dan mengambil sesuatu dari balik saku celananya.
Aku mendesah lirih melihat ponselku di tangan Stacy. Sekaligus merasa bersalah bahwa aku telah merutukinya sesaat yang lalu ketika aku sibuk mencari-cari jalan keluar untuk bisa terlepas dari Max Belanger.
“Ini!” kata Stacy sambil menyerahkan ponselku. “benda ini terus berdering, kupikir ibumu menelepon.”
Napasku masih tersengal-sengal. Sensasi yang dirasakan tubuhku bagai baru saja melihat hantu dan kupikir aku tak akan pernah berlari lagi dari sana. Tanganku sampai gemetar ketika hendak meraih ponsel itu dari tangan Stacy.
“Dannys, wajahmu pucat. Ada apa?!” Stacy kembali menekan pertanyaannya. Dan aku hanya bisa mendongak dengan mulut megap-megap.
“Stacy, aku ....”
“Dannys!”
Ucapanku terhenti ketika seseorang kembali memanggilku. Sekali lagi aku memutar wajahku dan mendapatkan Yoshi baru saja keluar dari perpustakaan.
Aku mendesah lirih dan seketika berpikir, mengapa mereka baru bermunculan? Orang-orang ini? Mengapa kampus mendadak ramai setelah aku hampir kehilangan nyawa? Di mana mereka sedari tadi?!
“Dannys, kamu belum menjawab pertanyaanku.” Dan Stacy masih menuntut jawaban dariku, tetapi aku tak tahu bagaimana harus menjelaskannya pada Stacy.
Ponselku berdering dan membuatku menoleh. Ya Tuhan, Stacy benar. Ibuku terus menelepon. Jantungku kembali berdegup dengan kencang. Bukan lagi karena aku takut, tetapi gugup. Bagaimana harus mengatasi situasi ini.
“Dannys.”
Lalu aku mendongak sekali lagi. “Stacy, terima kasih sudah mengembalikan ponselku. Ah ya! Aku tadi terburu-buru karena aku ingin mencari Kang Minho—” Kupalingkan wajah dan kembali menoleh ke belakang. Bibirku berkedut, tetapi aku berpura-pura baik-baik saja dengan mengulas senyum di wajah. Sekali lagi aku memandang Stacy.
“Tapi sepertinya dia sedang sibuk.” Lanjutku. Tampak kedua sisi alis Stacy masih melengkung ke tengah, memperlihatkan keragu-raguannya yang membuatku semakin gugup.
“Dannys!” Yoshi sekali lagi berseru memanggil namaku.
Sesuatu berkelebat di kepalaku dan aku berpikir bahwa aku baru saja menemukan orang yang cocok yang bisa mendengarkan aku.
“Ya!” Tanpa sadar aku bergumam dan ketika aku memandang Stacy, aku melihat lipatan di dahinya dan pandangan penuh tanya dan terheran-heran yang ia layangkan padaku.
“Ah, Stacy. Sekali lagi terima kasih. Aku akan menemuimu nanti.” Aku menepuk sebelah bahu Stacy dan tanpa berlama-lama aku langsung berlari ke arah Yoshi.
Sempat menoleh ke belakang dan tampaknya Kang Minho masih sibuk bercerita dengan Max Belanger. Entah mengapa aku jadi tak mengharapkan bantuan Minho lagi setelah tahu bahwa dia punya hubungan karib dengan penjahat itu.
“Dannys?”
Sekali lagi aku tersentak. Tanpa sadar aku telah berada di depan Yoshi. “Oh my God, Yoshi! You have to know this!” Aku bergerak ke arah Yoshi dan meraih satu tangannya lalu Yoshi mengerutkan dahi.
“Dannys, what happened?!”
Aku kembali mendesah ketika mendengarkan pertanyaan Yoshi yang sama persis dengan pertanyaan Stacy.
“Tanganmu berkeringat dingin. Wajahmu juga terlihat pucat.”
Sekali lagi aku menoleh ke belakang. Dan sial! Ponselku kembali berdering. Tak biasanya ibu seperti ini. Pasti ada yang ingin dia katakan padaku.
“Yoshi, bisakah kita pergi dari sini? Demi Tuhan, aku ketakutan!”
Yoshi mendelik. Untuk sekejap ia tak memberikan tanggapan lalu akhirnya dia bergeming. “Y— yeah!” jawab Yoshi. Setengah meragu, tetapi aku mendesah lega. Kutarik tangannya dan menyeret Yoshi pergi dari sana.
“Come on!” ucapku sambil mengedikkan kepala, meminta Stacy untuk ikut bersamaku.