EMPAT

1286 Kata
  Beberapa bulan setelah berhasil mempekerjakan Felly di perusahaannya, begitu banyak hal yang terjadi. Mulai dari kinerja Felly yang cukup baik hingga kenyamanan yang diciptakan oleh perempuan itu sendiri. Tidak semua orang tahu bahwa Reno sudah menikah, bahkan sekretarisnya sendiri tidak tahu bahwa dia telah berhasil menikahi seorang model majalah dewasa. Adalah hal yang sangat memalukan untuk di akui oleh seorang Reno.  Pria itu tengah disibukkan dengan beberapa dokumen yang menumpuk di atas mejanya. Perlahan dia mulai menyibukkan diri, bahkan sudah lama sekali dia tidak pulang ke rumah semenjak pertengkaran itu terjadi. Reno sudah enggan untuk berdebat dengan kedua orang tuanya, apalagi orang tuanya selalu ingin memiliki cucu. Tidak pernah ada dalam benak Reno untuk menyentuh Tania sama sekali. Yang ada dalam dirinya hanyalah rasa jijik yang bahkan hingga saat ini masih menggerogoti hati Reno untuk dekat dengan Tania.  "Pak, mau dibuatin kopi?" tawar Felly yang membuat Reno tersentak.  "Kamu ngagetin saya," "Saya panggil dari tadi tapi enggak ada respons," jawab Felly dengan nada santainya. Reno menarik napas sejenak kemudian menatap Felly dengan intens, "Mau, asal kamu yang buatin," ucapnya.  "Eh, kok saya?"  "Kan kamu yang nawarin, jadi mau enggak mau kamu harus buatin saya kopi sekarang juga!"  Perempuan itu terdiam sejenak kemudian mengangguk. Reno tersenyum merasa menang dengan apa yang dia perbuat kepada perempuan itu, sebagai pria normal pada umumnya. Tentu saja bagi Reno, berada di sisi Felly setiap waktu membuat dirinya merasa berbeda dari biasanya.  Dia yang tidak pernah mendapatkan perhatian khusus, Felly yang  membawakan sarapan untuknya setiap pagi semenjak dia bercerita bahwa dia tidak pernah sarapan. Bahkan perempuan itu seringkali telat hanya untuk membuatkan dirinya sarapan, dan itu membuat Reno merasa sangat diperhatikan oleh sekretarisnya sendiri. Dia tahu bahwa Felly perhatian hanya sebagai ikatan antara bos dan sekretaris. Tidak mungkin Felly menganggapnya hal yang luar biasa.  Sejenak terdiam, Felly pun kembali dengan membawa secangkir kopi dan membuat Reno ingin mengganggu. Reno berdiri kemudian mengunci pintu ruangannya, dia tidak ingin siapa pun masuk ke dalam ruangannya ketika dia dan Felly sedang berduaan. Menurut informasi yang dia dapatkan dari Ardi mengenai Felly, perempuan itu belum memiliki kekasih dan enggan untuk dekat dengan siapa pun. Akan tetapi rasa nyaman yang diciptakan oleh perempuan itu mampu memikat hati Reno.  Felly berdiri di dekat lemari buku dan membaca beberapa berkas, penampilan Felly yang selalu saja sopan setiap kali bekerja, hal itu yang sangat dia sukai karena tubuh Felly tidak dapat dinikmati oleh semua mata seperti tubuh Tania.  "Fel," panggilnya, membuat perempuan itu menjatuhkan buku yang dibacanya tadi. "Kamu kaget?"  "Saya terkejut karena Bapak manggil tiba-tiba," ucapnya sambil memungut buku tersebut.  "Makan siang yuk!" ajak Reno. Berharap bahwa kali ini seperti harapan Ardi, dia bisa dekat dengan Felly dan menggantikan Tania. Reno tidak berkhianat, akan tetapi dia sebagai pria normal pada umumnya tentu saja ingin mendapatkan yang lebih baik. Mengingat bagaimana perlakuan Tania yang seenaknya dipeluk dan dicium oleh pria lain di luar sana. Itu membuat Reno menggantungkan hubungannya. Ingin bercerai, akan tetapi itu akan menjadi masalah besar baginya.  Felly berbalik dan meletakkan buku itu lagi kemudian, "Kopinya?"  "Saya habiskan dulu, setelah itu kita makan siang, mau?" tawarnya.  "Hmmm, boleh. Tapi jangan yang mahal-mahal ya, Pak," ucap perempuan itu dengan polos.  Reno mendorong kepala Felly dengan telunjuknya. "Cowok kalau ngajak makan itu artinya dia bakalan bayarin cewek," ucapnya pelan. Felly langsung memegangi jidatnya yang didorong oleh Reno tadi.  "Jadi, di traktir?"  "Iyalah, kamu selalu menolak dibayarin kalau kita makan. Jadi sesekali saya traktir, enggak masalah, kan?"  Felly menyeringai, "Oke," ucapnya singkat dan pria itu justru duduk kembali ke tempat kerjanya. Tidak ada niat sedikit pun untuk Felly mencari perhatian kepada bosnya. Karena dia tahu diri bahwa dirinya hanyalah seorang sekretaris yang tidak bisa bertingkah lebih.  "Felly, kemari sebentar!" Perempuan yang tadinya hendak membereskan meja kerjanya tiba-tiba dipanggil oleh bosnya. Dia pun menghampiri Reno yang menatapnya dengan eskpresi yang tidak seperti biasanya.  "Ada yang bisa dibantu, Pak?"  "Fell, bisakah kamu jangan panggil saya dengan embel-embel, Bapak?" ucapnya santai, berharap perempuan itu sanggup untuk memanggilnya hanya dengan sebutan nama panggilannya.  "Tapi, Pak?"  Reno berdiri kemudian menaruh telunjuknya tepat di bibir, Felly. "Saya enggak suka kalau kamu panggil saya dengan sebutan, Bapak," ucapnya kemudian menyandarkan bokongnya di ujung meja kerjanya sementara Felly berdiri tepat di depannya. "Ini terlalu cepat, Fell. Tapi saya enggak tahu mau ngomong apa sama kamu," Reno memegang kedua tangan Felly kemudian perempuan itu melepaskan dan mundur beberapa langkah.  "Ini ada apa?" ucap Felly terkejut.  "Fell, apa kamu enggak bisa peka sedikit saja?"  "Peka apanya?"  "Saya bukan orang yang suka basa-basi, Fell. Saya suka sama kamu,"  Felly menggeleng kemudian berusaha keluar, akan tetapi pintu ruangan sudah dikunci oleh Reno. "Fell, saya tahu ini salah. Tapi saya enggak bisa bohongi perasaan saya sendiri terhadap kamu,"  "Buka, saya mau keluar!" ucap Felly berusaha untuk terus menarik gagang pintu.  "Felly, saya enggak maksa kamu buat nerima. Yang penting kamu sudah dengar ucapan saya dengan jujur,"  "Saya harus bagaimana?" ucap Felly dengan nada parau. Dia berbalik dan menghadap Reno.  "Felly, maaf!"  "Bukan itu yang mau saya dengar, saya bekerja di sini, apa yang harus saya lakukan?"  "Fell, ini mungkin enggak nyaman bagi kamu. Oke, kamu mau apa aja bakalan saya turuti, Fell,"  "Saya enggak bisa,"  "Kenapa?"  "Karena saya enggak suka sama, Bapak. Maksud saya, saya enggak ada perasaan apa-apa terhadap, Bapak,"  Reno mengangguk pelan, kemudian dia memilih untuk menarik Felly hingga menjauh dari pintu itu dan membiarkan Felly keluar. "Kamu mau keluar kan? Silakan! Maaf, anggap bahwa tidak pernah terjadi apa-apa,"  Felly justru menutup kembali pintu yang dibuka oleh Reno tadi. "Pak, ini enggak benar, saya di sini bekerja sama Bapak, bukan untuk mencari perhatian," "Yang bilang kamu cari perhatian itu siapa?"  "Pak,"  "Setidaknya saya jujur sama kamu, Felly. Saya enggak pernah berniat untuk main-main apalagi dengan jabatan saya sebagai direktur di sini. Mungkin kamu berpikir bahwa saya itu hanyalah seorang direktur yang hanya memanfaatkan sekretaris untuk kebutuhan nafsunya, saya tahu mungkin orang akan berpikir seperti itu. Tapi saya bukan b******k, Fell. Saya tulus sama kamu, seenggaknya saya berani jujur, kamu beberapa bulan di sini, dan itu yang buat saya enggak ngerti sama perasaan saya sendiri, kenapa dengan mudahnya saya jatuh cinta sama kamu,"  Felly mengunci pintu itu kembali kemudian menatap ke arah Reno yang kali itu sepertinya sedang mengeluarkan apa yang ada di hatinya. "Pak, saya bukannya enggak mau,"  "Kata bahwa kamu enggak suka itu sudah mewakilkan semuanya, kan?"  Felly menggeleng. "Enggak,"  "Lalu apa?"  "Saya takut disakiti, Pak,"  Reno terkejut dengan ucapan perempuan itu. "Maksud kamu?"  "Saya takut tersakiti kalau seandainya saya menjalin hubungan, saya hanya sebagai sekretaris, kemudian di sakiti. Dan itu yang bakalan buat saya berhenti dari sini,"  "Felly, saya enggak ada niat buat main-main sama kamu. Saya butuh waktu untuk kenal sama kamu, sebelum akhirnya--" Reno menggantungkan ucapannya. Jika membahas tentang pernikahan, tentu saja Felly akan tetap jadi yang kedua. Dan itu membuatnya benci dengan kenyataan bahwa istri sahnya adalah Tania.  "Apa, Pak?" tanya Felly karena ucapan menggantung tadi.  "Felly, tinggal jawab!"  Perempuan itu menggeleng kemudian, "Saya butuh bukti, Pak," ucap Felly parau.  "Kasih saya waktu satu bulan untuk buktikan bahwa saya serius sama kamu,"  "Bisa lebih singkat?"  "Oke, dua minggu. Saya bakalan buktikan, Fell. Saya enggak pernah niat untuk permainkan kamu,"  Reno tahu bahwa Felly belum tahu bahwa dia sudah menikah. "Pak,"  "Hmmm?"  "Bagaimana kalau yang lainnya tahu?"  "Orang-orang enggak bakalan tahu kalau kamu enggak bocorin, di sini hanya kita yang tahu. Tetap berlaku seperti biasanya!"  Felly mengangguk.  Reno yang waktu itu melihat Felly memang ragu terhadapnya, akan tetapi dia berusaha untuk tetap santai. Ingin membuktikan bahwa kesungguhan hatinya memang untuk menikah dengan sungguh-sungguh. Memiliki keluarga kecil, bahkan ketika orang tuanya kelak tidak setuju, Reno akan tetap memilih hidup bersama orang yang dia cintai. Meskipun orang pilihan orang tuanya meminta maaf. Tetapi hati Reno sudah mati dengan perlakuan Tania.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN