Keadaan Kembali Tenang

2011 Kata
Keesokan harinya, sepulang kuliah, Jonathan mendatangi rumah Reza untuk mengobrol sekaligus meminta bantuan sahabatnya. Tiba di rumah Reza, dilihatnya pemuda itu sepertinya juga baru pulang dan tengah melayani pembeli. “Sini Jo!” seru Reza. Jonathan turun dari motor dan berjalan memasuki warung. Dia membuka lemari pendingin berisi minuman, dan mengambil sebotol air mineral dingin yang langsung dibuka dan diminum hingga tinggal setengah. “Haus apa Onta lo?” ledek Reza. “Haus, cape, dan laper,” sahut Jonathan sambil duduk di salah satu kursi. “Emang elo belum makan? Tumben amat? Mana Amel?” tanya Reza sambil ikutan duduk dekat Jonathan. “Gua emang belom makan dari pagi, nggak ada selera,” sahut Jonathan. “Amel hari ini nggak kuliah.” “Kenapa? Sakit?” “Nggak sakit, cuma lagi sedikit stress.” “Kenapa lagi? Ribut ma elo?” “Bukan,” “Terus?” sela Reza sambil melemparkan roti yang diambil dari atas etalase pada Jonathan. Jonathan menangkap roti dari Reza, meletakkannya di meja samping. Kemudian membuka ransel dan mengeluarkan bungkusan. “Coba elo buka, dan mending jangan makan dulu,” ujar Jonathan yang melihat Reza hendak menggigit roti. Reza mengikuti anjuran Jonathan dan meletakkan roti di sampingnya. Dia kemudian membuka bungkusan dan langsung terbatuk saat melihat isi di dalam. “BAH! Apa pula ini? Elo dapet dari mana?” “Bukan gua yang dapet, tapi Amel. Kemarin ada yang ngirim buat dia.” “Jo, ini beneran dikirim buat Amel?! Orang macam mana yang tega ngelakuin hal kayak gini?! BAH! Tak habis pikir aku!” ujar Reza emosi. “Makanya Amel jadi stres dan nggak mau keluar dari kamarnya sejak kemarin.” “s***s kali manusia itu!” rutuk Reza. “Jadi gregetan pengen nampol.” Sementara Reza mengoceh sendirian, Jonathan dengan tenang menikmati roti pemberian Reza hingga habis.  “Terus elo diem aja?!” “Nggak lah, makanya gua ke sini.” “Gua mesti ngapain?” tanya Reza langsung.  Reza sangat menyayangi Amel dan sudah menganggap gadis itu seperti adiknya sendiri. Apapun akan dia lakukan untuk menolong gadis itu, walaupun terkadang sikap Amel menyebalkan dan mereka juga kerap berdebat, Reza tetap menyayangi Amel.   “Tapi emang elo udah tau siapa yang ngelakuin ini? Apa ini ulah Sheila lagi?” “Gua sendiri belum yakin Za,” sahut Jonathan. “Elo inget kan yang kasus foto? Gua belum bisa buktiin kalo itu ulah Sheila, karena emang sama sekali nggak ngarah ke itu anak.” “Tapi gua yakin kalo ini ulah Sheila. Berani taruhan deh.” “Feeling gua juga gitu, cuma nggak ada buktinya. Sejak masalah foto, temennya Bang Firman selalu ngikutin Sheila, tapi itu anak anteng aja dan nggak pernah ngelakuin hal yang mencurigakan. Laporan dari temennya Bang Firman yang selama ini ngikutin Sheila, sejak dua hari yang lalu, Sheila sama sekali nggak ngelakuin hal yang aneh.” “Wah …, udah makin pinter itu anak,” gumam Reza. “Seperti yang gua bilang ke Bang Firman, mustahil kalo itu hasil pemikiran Sheila seorang diri, pasti ada yang bantuin dia. Dan gua harus bisa nemuin otak yang bantuin Sheila.” “Elo udah punya rencana?” “Untuk saat ini gua cuma bisa nunggu kabar dari Bang Firman.” “Pokoknya kapan pun elo butuh bantuan gua, elo telepon gua.” “Oke.” *** Amel yang tengah berbaring di tempat tidur mendengar suara panggilan masuk dari ponselnya. Tanpa perlu melihat, dia sudah tahu siapa yang menghubungi. Amel sengaja memberi nada khusus untuk Ardian, sehingga bisa tahu jika pria itu mengirim pesan ataupun menelepon. Amel membiarkan panggilan dari Ardian hingga berhenti sendiri. Amel benar-benar sedang tidak ingin melakukan apapun, apalagi harus berbicara manis dan sopan. Ponselnya kembali berbunyi setelah panggilan pertama diabaikan. Sambil mengembuskan napas, Amel duduk dan bersandar di kepala tempat tidur, dan mengambil ponsel.  “Halo?” “Kamu sedang apa Amelia? Kenapa tidak menjawab telepon saya?” tegur Ardian lembut. “Maaf,” ujar Amel. “Kamu kenapa? Sakit? Perlu saya datang? Atau saya antar ke dokter?” “Nggak usah, saya gapapa,” sahut Amel cepat. (“Gue bakal makin stress kalo elo dateng, apalagi kalo dianter ke dokter sama elo,” batin Amel.) “Lalu kenapa suara kamu terdengar lesu?” “Eng …, gapapa.” “Bilang sama saya kalo kamu ada masalah Amelia,” ujar Ardian lembut. “Saya akan selalu menolong kamu.” Hati Amel sedikit bergetar mendengar suara lembut Ardian. Makin ke sini, Amel merasa jika Ardian adalah pria yang baik, dan tulus. “Kamu beneran bisa bantuin?” tanya Amel hati-hati. “Tentu saja.” “Serius?” “Memang kamu sedang ada masalah?” tanya Ardian. “Iya.” “Coba kamu ceritakan.” Amel pun menceritakan kejadian yang dialaminya, mulai dari masalah foto hingga kemarin ada yang mengirim boneka dan pesan ancaman. Di tempatnya, Ardian mendengarkan dengan serius semua perkataan Amel.  “Gitu ceritanya.” “Bisa saya liat foto, boneka, dan surat yang dikirim ke kamu?” “Eng …, nggak ada di saya lagi,” ujar Amel. “Kenapa? Kamu buang?” “Nggak dibuang, tapi diambil sama Jojo.” Hening sejenak, dan Amel menjadi merasa tidak enak karena sudah menyebut nama Jonathan pada Ardian, dan dia tidak ingin pria itu menjadi marah dan salah paham. “Kamu marah?” “Nggak, saya nggak marah,” sahut Ardian dengan nada tenang. “Bisa kamu minta temen kamu untuk mengembalikan barang-barang itu? Saya akan meminta asisten saya untuk mengambil ketiga barang tersebut.” “Iya, nanti saya bilang sama Jojo,” ujar Amel lega. “Oke, nanti beritahu saya kalo barangnya udah ada di kamu. Teleponnya saya tutup dulu, dan jangan lupa makan.” “Untung dia nggak marah,” gumam Amel setelah selesai telepon. “Sekarang tinggal minta ke Jojo, tapi gimana caranya biar dia nggak curiga.” Amel bangkit dari tempat tidur dan berlari keluar dari kamar menuju ke bawah. Dia akan ke rumah Jonathan untuk meminta barang-barangnya kembali. Amel menuruni tangga dengan langkah cepat dan langsung berlari menuju ruang depan hingga tidak melihat Laras di ruang keluarga. “Lia kamu mau ke mana?! Ini udah malam!” Amel langsung berhenti dan berbalik ke ruang keluarga. Dia menghampiri Laras dan berdiri di samping Laras yang tengah menatap dirinya. “Kamu mau ke mana?” ulang Laras. “Mau ke rumah Jojo. Kenapa?” “Jojo nggak ada di rumah.” “Kok Mama tau?” “Tadi mama telepon Jojo, mau suruh dia makan bareng, tapi Jojo bilang dia belum di rumah, masih ada yang mau dikerjain.” “Sok sibuk amat itu anak,” gerutu Amel. “Hush! Nggak boleh ngomong gitu,” tegur Laras. “Kamu nggak tau kan dia lagi ngapain.” “Emangnya Jojo ngapain?” “Dari kemarin dia sibuk nyari orang yang ngirimin paket ke kamu. Mama nggak suka kamu ngomong gitu Lia. Cobalah bersikap lebih baik sama Jojo, jangan selalu suka semau kamu ke dia.” “Iya Mam,” sahut Amel sambil menundukkan kepalanya. “Sikap kamu ke dia itu kadang suka keterlaluan, kayak yang seenaknya. Gadis yang baik dan tahu aturan nggak boleh kayak gitu.” “Iya Mam. Kalo gitu Amel ke atas lagi ya.” *** Jonathan duduk di dalam mobil bersama Firman di sampingnya dan juga Reza di bagian belakang. Mereka bertiga sedang berada di depan rumah Sheila dan menunggu gadis itu pulang, dan malam semakin larut. “Sebenernya itu anak ke mana sih?” gerutu Reza kesal. “Menurut info, Sheila itu selalu pulang setelah lewat tengah malam. Jadi kita tunggu aja sebenyat lagi,” ujar Firman. “Ah …, baiklah,” sahut Reza. “Mari kita tunggu sebentar lagi.” Sekitar dua puluh menit kemudian, tampak sebuah mobil sedan mewah berhenti tepat di depan rumah, dan tampak Sheila turun dari mobil sambil tertawa riang. Dari pintu pengemudi, turun seorang pria paruh baya dan berjalan memutari bagian depan mobil. Pria itu memeluk Sheila dengan erat, kemudian mengecup pipi gadis itu. Jonathan yang sejak tadi sudah memegang kamera polaroid, langsung mengambil gambar kedua orang yang tengah berpelukan itu. “Kenapa elo foto?” tanya Reza. “Buat bukti Za, dan sekaligus buat alat ngancem Sheila.” “Jahat lo Jo.” “Bukan jahat Za, tapi terpaksa. Nggak mungkin kita datang dan ngomong baik-baik ke orang macam dia, nggak akan didenger.” “Iya juga sih.” Jonathan memperhatikan hasil fotonya dan tersenyum kecil. Mereka menunggu hingga pria itu pergi dan Sheila masuk ke dalam rumah. “Ayo kita turun,” ujar Jonathan. Jonathan membuka pintu mobil dan turun sambil membawa bungkusan di tangannya. Dia menunggu sampai Firman dan Reza turun, kemudian bersama-sama mendatangi rumah Sheila. Jonathan mengetuk pintu rumah dan menunggu sampai Sheila membukakan pintu. “Ngapain lo ke sini?” tanya Sheila antara terkejut dan juga senang melihat kedatangan Jonathan. “Gua ada perlu sama elo, boleh gua masuk?” “Mereka juga?” tanya Sheila sambil menunjuk ke arah Firman dan Reza. “Hm, nggak masalah kan?” ujar Jonathan tenang. Sheila membuka pintu lebih lebar dan membiarkan ketiga tamunya masuk ke dalam, dan duduk di sofa.  “Gua bikinin minuman dulu,” ujar Sheila. “Nggak usah repot-repot, kita nggak lama di sini,” sahut Jonathan. “Duduk Shel.” “Mau ngomong apaan sih?” tanya Sheila penasaran. Jonathan meletakkan bungkusan di atas meja dan menatap tajam pada Sheila. Ditatap seperti itu oleh Jonathan, membuat Sheila sedikit salah tingkah. “Itu apaan?” tanya Sheila mencoba mengalihkan perhatian Jonathan. “Buka aja sendiri,” sahut Jonathan tenang. Sheila menuruti perkataan Jonathan, akan tetapi wajahnya langsung tegang saat melihat benda di dalam bungkusan. Namun, hanya sebentar saja, setelah itu wajah Sheila kembali terlihat tenang. Semua itu tidak lepas dari pengamatan Jonathan. “Kenapa? Kaget?” tanya Jonathan. “Itu apaan?” tanya Sheila. “Barang yang dikirimin buat Amel.” “Terus kenapa dibawa ke sini?!” tanya Sheila kesal. “Kenapa elo kirim ke Amel?!” tanya Jonathan datar. “Gua?! Ngirim gituan ke Amel?! Buat apaan?!” “Entah, mana gua tau,” sahut Jonathan. “Makanya gua ke sini mau tanya sama elo. Apa maksud lo ngasih gituan ke dia?!” “Emang ada buktinya kalo gua yang kirim?!” tanya Sheila sinis. “Barusan muka lo terkejut gitu Shel,” sahut Reza yang sejak tadi juga memperhatikan reaksi Sheila. “Jangan nuduh sembarangan deh! Semua orang juga pasti kaget kali kalo ngeliat yang kayak gitu. Lagian kalo emang gua yang kirim, emang elo orang punya buktinya?!” tantang Sheila. Jonathan terdiam mendengar jawaban Sheila. Sejujurnya dia belum memiliki bukti untuk menyalahkan Sheila. Jonathan nekat mendatangi Sheila karena menurutnya hanya gadis itu yang memiliki motif kuat. “Gua emang belum punya bukti Shel. Dan gua dateng ke sini pengen ngomong serius sama elo,” “Apa?! Elo mau ngomong apa ke gua?!” tantang Sheila. “Entah elo atau bukan, andai ada lagi barang-barang atau ancaman nyampe ke Amel, maka gua pastiin mereka nggak akan lolos! Dan satu lagi, kalo emang bener itu elo, jangan sampe gua sebarin ini foto ke luar!” Jonathan meletakkan foto yang tadi dia ambil saat Sheila tengah berpelukan dengan pria paruh baya di depan rumah. Sheila terkejut melihat foto itu, wajahnya langsung pias seketika. “Elo ngancem gua?!” “Nggak, gua cuma ngasih tau,” sahut Jonathan tenang. “Sama aja!” “Jangan pernah ganggu Amel!” ujar Jonathan sambil bangkit berdiri dan berjalan keluar dari rumah Sheila, sambil membawa bungkusan. Tiba di depan rumah, Jonathan mengembuskan napas. Berada lebih lama lagi di dalam, mungkin Jonathan akan kehilangan kendali. Karena itu dia memilih untuk pergi. Firman dan Reza mengikuti dari belakang dalam diam dan tetap bungkam sepanjang perjalanan hingga tiba di kontrakan Firman. Setelah meninggalkan pria itu, Jonathan kembali mengendarai mobil untuk mengantarkan Reza. Jonathan tiba di rumah ketika waktu menunjukkan dua dini hari, dan langsung menuju ke kamarnya. Setelah mandi, Jonathan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Badannya terasa letih setelah seharian berada di luar rumah. “Semoga mulai sekarang nggak akan ada lagi yang gangguin kamu Candy,” gumam Jonathan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN