Kabar Gembira

2073 Kata
“Kamu tadi telepon aku?” tanya Jonathan yang baru masuk ke kamar Amel melalui balkon. “Udah telat!” sahut Amel ketus. Saat ini Amel sedang berbaring di tempat tidur sambil membaca majalah. Setelah Ardian pulang, Amel sempat berbicara serius dengan kedua orang tuanya mengenai keinginannya kuliah di jurusan perhotelan. Walaupun berat, akhirnya Laras menyetujui keinginan putri sulungnya, terlebih karena Ardian tidak keberatan. “Elo habis dari mana sih?!” “Aku di rumah Mel,” sahut Jonathan sambil duduk di tempat tidur. “Terus kenapa nggak angkat telepon gue?!” cecar Amel yang sudah duduk di tempat tidur. “Tadi baca komik, dan hp aku silent.” “Kebiasaan jelek!” sungut Amel sambil melemparkan boneka ke arah Jonathan. “Maaf deh,” ujar Jonathan sambil mengambil boneka yang mengarah ke wajahnya. “Nggak mau!” “Tuh kan ngambek,” ujar Jonathan. “Emang tadi telepon mau ngapain?” “Nggak jadi Jojo bawel …,” sahut Amel dengan suara dipanjangkan. “Ya udah kalo nggak jadi. Berarti aku bisa nerusin baca komik di kamar.” Usai mengatakan hal itu, Jonathan berdiri dan hendak kembali ke pintu kaca untuk pulang.  “Eh elo mau ke mana?!” tanya Amel sambil menahan tangan Jonathan. “Pulang lah.” “Nggak boleh,” cegah Amel. “Temenin gue.” Jonathan kembali duduk di tempat tidur dengan senyum dikulum mendengar permintaan Amel. “Apa senyum-senyum!” “Gapapa.” “Eh Jo, elo jadi kuliah ambil jurusan perhotelan kan?” tanya Amel sembari menyebutkan salah satu nama Universitas. “Hm. Kenapa?” “Gue juga mau kuliah di sana,” sahut Amel antusias. “Yakin? Emang boleh sama mama?” Setahu Jonathan, Laras menginginkan Amel kuliah mengambil management. Dan beberapa waktu yang lalu, sebelum mereka ujian akhir, Amel sempat menolak keinginan Laras dan menyebabkan perdebatan yang cukup panjang. Karena itu Jonathan sedikit terkejut mendengar perkataan sahabatnya. “Yakin dong. Lagian mama udah ngijinin kok.” “Oh ya? Kok bisa? Gimana cara kamu bujuk mama?” tanya Jonathan penasaran. “Ada deh,” sahut Amel sambil mengedipkan sebelah matanya. Amel tidak mungkin mengatakan pada Jonathan jika semua itu bisa terjadi karena campur tangan Ardian, tunangannya. “Oh …, jadi sekarang mau main rahasia sama aku?” tanya Jonathan dengan nada mengancam.. “Baiklah, mending aku pulang aja.” “Masa gitu aja ngambek?!” tukas Amel. “Habis kamu nggak mau bilang,” rajuk Jonathan. “Bukan nggak mau bilang Jo, tapi emang nggak bisa,” sahut Amel sedikit sedih. Selama sekian tahun mereka bersahabat, baru kali ini dirinya tidak dapat bercerita tentang suatu hal pada Jonathan. Amel masih ragu untuk berterus terang, dan lebih takut jika Jonathan tahu, maka hubungan persahabatan mereka berakhir. Jonathan memperhatikan reaksi Amel dan melihat kegelisahan di matanya. Dia yakin jika Amel sedang menutupi sesuatu, tapi Jonathan juga ingin menghargai kehidupan pribadi sahabatnya. “Ya udah, gapapa kalo nggak bisa bilang,” ujar Jonathan mengalah. “Jo, liburan ngapain ya? Masa kita di rumah terus?” ujar Amel mengalihkan topik pembicaraan. Jonathan terdiam mendengar perkataan Amel. Dia pun sempat berpikir hal yang sama dengan gadis itu. Pasti akan sangat membosankan diam di rumah hingga saatnya kuliah. Dan sempat terbersit di benaknya untuk mencari kerja sambilan. Selain akan menambah wawasan dan pengalaman, tentunya akan memiliki uang saku lebih. “Gimana kalo kita kerja sambil nunggu masuk kuliah?” saran Jonathan. “Maunya juga gitu, tapi di mana?” “Bantuin di resor bokap mau?” “Mau! Mau! Tapi emang bisa?” “Coba ntar aku ngomong dulu sama papa,” sahut Jonathan. “Semoga boleh,” sahut Amel dengan antusias. Dia langsung membayangkan bekerja di resor yang berada di Anyer. Selain akan mendapatkan bayaran, tentunya juga dapat menikmati liburan gratis. “Ah …, jadi nggak sabar deh,” gumam Amel. Jonathan terkekeh melihat reaksi Amel yang sangat menggemaskan.  “Jo, kenapa nggak sekarang aja elo telepon om Handoko,” usul Amel. “Ini kan udah malem Mel,” sahut Jonathan. “Tapi kalo begini kan gue jadi nggak bisa tidur,” bujuk Amel manja. “Apa hubungannya coba? Tidur kan tinggal tutup mata doang,” sahut Jonathan tidak mau kalah. “Ah, elo mah gitu,” dumel Amel sambil memonyongkan bibirnya. Namun, Jonathan bertahan dengan pendiriannya. Dia akan menelepon Handoko besok pagi. Selain karena sudah malam, dia juga harus menyiapkan hati untuk berbicara dengan ayahnya. Jonathan sangat jarang menghubungi dan berkomunikasi dengan Handoko, apalagi meminta sesuatu.  “Tunggu besok ya Mel,” bujuk Jonathan. “Iya, iya ….” *** Keesokan harinya, ketika jam di kamarnya menunjukkan pukul sembilan pagi, Jonathan mengambil ponsel dan menatap benda pipih di tangannya dengan gundah. Dia bimbang untuk menelepon Handoko, dan mengatakan keinginannya. Jonathan takut kalau Handoko akan mengatakan tidak, dan itu pasti akan membuat dirinya dan Amel kecewa. Namun, akhirnya Jonathan menelepon juga. Dia menunggu beberapa saat sampai panggilannya dijawab oleh Handoko. “Halo Pa,” sapa Jonathan kaku. “Kenapa Jo?” “Lagi sibuk?” “Sedikit. Kamu perlu sesuatu?” Seperti inilah hubungan dirinya dengan sang ayah, dingin dan datar, seperti ada tembok tinggi yang memisahkan. Dirinya belum dapat memaafkan perbuatan kedua orang tuanya di saat dirinya masih kecil, yang memutuskan berpisah sehingga dirinya kehilangan sosok seorang ibu, juga momen-momen bersama kedua orang tuanya. “Aku mau kerja sambilan di resor bareng Amel.” “Silakan. Mulai kapan? Biar nanti Papa hubungi Teddy.” “Secepatnya.” “Oke, nggak masalah. Ada lagi?” “Nggak ada. Makasih Pa.” “Ada perlu apa-apa, bilang sama om Chris.” “Hm. Teleponnya aku tutup sekarang.” Setelah mengatakan itu, Jonathan benar-benar langsung memutuskan sambungan telepon dan mengembuskan napas lega. Semuanya berjalan dengan lancar, dan merasa senang karena Handoko tidak menolak keinginannya. Dia tidak menyadari jika ayahnya masih menatap ponsel dengan wajah penuh kerinduan sekaligus sedih. Handoko duduk termenung hingga tidak menyadari jika Melvin, tangan kanannya masuk ke dalam ruangan. Melvin adalah salah satu anak laki-laki yang pernah ditolong oleh Handoko bertahun-tahun yang lalu. Hingga akhirnya Handoko menyekolahkan dan membiayai seluruh keperluan anak itu.  Handoko tidak pernah meminta imbalan ataupun balas jasa atas apa yang sudah dia lakukan pada Melvin. Namun, delapan tahun yang lalu Melvin mendatanginya dan memohon untuk dapat bekerja pada Handoko. Dan sejak saat itulah Melvin selalu membantunya hingga saat ini. “Kenapa muka Om murung?” tanya Melvin. “Jonathan,” sahut Handoko sambil mengembuskan napas. “Kenapa lagi sama dia?” “Sampai kapan anak itu akan terus benci sama Om?” Melvin menatap pria paruh baya yang sudah dianggapnya sebagai ayah. Selama ini, Melvin lah yang menjadi tempat curahan hati Handoko. “Kenapa Om nggak jujur aja mengenai tante?” tanya Melvin hati-hati. “Entahlah, Om nggak yakin Jo mau ngerti dan menerima semuanya.” “Kalo Om nggak ngomong, Jonathan akan terus salah paham sama Om, dan itu nggak baik untuk hubungan kalian.” “Entahlah,” sahut Handoko gundah. “Oh ya, ngomong-ngomong Jo ingin kerja paruh waktu di resor.” “Bagus dong, sekalian dia belajar sejak dini cara mengelola resor. Toh nantinya itu akan jadi milik dia.” “Hm,” sahut Handoko. “Nanti Om minta tolong kamu buat bantu ajarin dia dan temennya ya.” “Tapi kan udah ada Teddy di sana,” sahut Melvin. “Iya. Andaikan dia nggak bisa, tolong bantu.” “Siap Om,” sahut Melvin mantap. *** Selesai menelepon Handoko, Jonathan bergegas ke rumah Amel untuk memberitahu kabar gembira ini. Dia berlari memasuki rumah dan berpapasan dengan Atik, salah satu ART yang bekerja di sana. “Mbak, Amel ada di mana?” tanya Jonathan sopan. “Oh, Non Amel ada di belakang Mas,” sahut Atik. “Makasih ya.” Jonathan bergegas ke belakang dan melihat sahabatnya sedang duduk di pinggir kolam renang dengan kaki yang dimasukkan ke dalam air. Pelan-pelan Jonathan menghampiri Amel yang sedang duduk. Ketika sudah berada di belakang Amel, dia langsung menutup mata gadis itu dengan kedua tangannya. “JOJO!” pekik Amel yang kaget dengan perbuatan pemuda itu. “Kok tau?” tanya Jonathan sambil melepaskan tangannya. Jonathan kemudian duduk di samping Amel dan mengikuti yang dilakukan gadis itu dengan memasukkan kaki ke dalam kolam. “Tau lah! Siapa lagi yang berani gangguin gue selain elo!” sahut Amel gemas. “Ada apaan?” “Nggak jadi,” ujar Jonathan sengaja menggoda Amel. “Kan …, kan, ngajak ribut kalo gini caranya!” ujar Amel sambil mulai mencubiti pinggang Jonathan. Dengan cepat Jonathan berdiri dan langsung berlari menghindari serangan gadis itu. Amel yang kesal, ikut berdiri dan langsung mengejar Jonathan. Mereka kejar-kejaran di sekitar kolam renang sambil tertawa gembira. Namun, saat hampir menangkap Jonathan, Amel terpeleset. “ARGH!” pekik Amel saat dirinya hilang keseimbangan. Amel tercebur ke dalam kolam renang sambil berteriak kencang. Jonathan tergelak kencang melihat Amel keadaan Amel yang basah kuyup. “Bukannya bantuin!” seru Amel antara kesal dan malu. Jonathan menghampiri Amel dan mengulurkan tangan untuk membantu sahabatnya keluar. Seketika melintas pikiran curang di benaknya untuk membalas Jonathan. Amel menghampiri Jonathan dan berpura-pura hendak meraih tangan pemuda itu. Namun, saat itu juga dengan sekuat tenaga dia menarik Jonathan hingga pemuda itu pun terjatuh ke dalam kolam. Gantian kali ini Amel yang tergelak kencang melihat usahanya berhasil dengan baik. Saat Amel sedang tergelak, Jonathan berenang menghampiri Amel dan menangkap pinggang gadis itu dengan cepat. “JOJO! LEPASIN!” jerit Amel sambil terus tertawa. “Nggak mau,” sahut Jonathan sambil menggelitiki pinggang Amel. “JOJO!” seru Amel. “Ampun, ampun.” Sambil tetap merangkul pinggang Amel, Jonathan berjalan ke arah pinggir kolam. Dia memegang pinggang Amel dan mengangkat gadis itu ke atas. Setelah melihat Amel duduk, barulah Jonathan naik dan duduk di samping Amel. “Kan jadi basah semua,” gerutu Amel sambil tetap tertawa. “Kan yang basah bukan cuma kamu Mel,” sahut Jonathan sambil mengibaskan rambutnya. “JOJO!” seru Amel saat percikan air dari rambut pemuda itu mengenai wajahnya. “Ke dalem yuk,” ujar Jonathan yang sudah berdiri dan mengulurkan tangan pada Amel. Amel menyambut uluran tangan Jonathan. Mereka berjalan memasuki rumah dalam keadaan basah hingga membuat lantai menjadi basah dengan tetesan air dari baju mereka yang basah. “Ya ampun!” seru Laras saat melihat Amel dan Jonathan. “Kalian habis ngapain?!” “Kecebur ke kolam Mam,” sahut Jonathan. “Kalian ini,” ujar Laras menggelengkan kepala. “Kelakuannya kok masih kayak anak kecil sih.” “Tapi enak lho Mam,” sahut Amel. “Udah, sana pada mandi dan ganti baju,” usir Laras. “Liat lantai jadi basah semua, kalau ada yang kepeleset gimana?”  “Maaf Mam,” sahut Amel dan Jonathan berbarengan. Jonathan dan Amel berjalan menaiki tangga menuju ke kamar Amel. Amel mengambilkan handuk bersih untuk Jonathan supaya pemuda itu dapat mengeringkan rambut. “Tangkep Jo!” seru Amel sambil melemparkan handuk ke arah sahabatnya. “Makasih,” ujar Jonathan yang langsung mengeringkan rambutnya. “Kamu mandi gih, aku mau pulang dulu, mau mandi juga.” “Oke, habis itu balik ke sini ya. Elo punya hutang info sama gue.” “Hm.”  Jonathan membuka pintu kaca dan menuruni tangga menuju ke taman. Setelah itu berlari menuju ke kamarnya untuk mandi. Selepas Jonathan pergi, Amel berjalan masuk ke kamar mandi. Dia sengaja berlama-lama di kamar mandi, menikmati air segar yang membasahi rambut dan tubuhnya. Selesai mandi, Amel keluar dari kamar dan turun ke bawah, langsung menuju ke ruang makan, karena perutnya terasa lapar. Dia melihat Jonathan yang sudah duduk di ruang makan dan sedang menikmati makan tanpa menunggunya. “Kenapa nggak nungguin gue?” tanya Amel. “Maunya sih nungguin, tapi perut aku udah bunyi minta diisi,” sahut Jonathan sebelum menyuap. Amel duduk di samping Jonathan, membuka piring, mengambil nasi beserta sayur dan lauk yang tersaji di meja. Setelah itu baik Amel maupun Jonathan tidak ada yang bersuara. Selesai makan, mereka memutuskan mengobrol di belakang. Setibanya di gazebo, Amel langsung merebahkan diri di sofa karena kekenyangan. “Elo mau bilang apaan sih?”  “Tebak dong,” goda Jonathan. “Males ah. Kasih tau aja lah,” rengek Amel. “Masa nggak tau sih? Yang semalem ngerengek minta aku cepetan telepon papa siapa?” “Elo udah telepon om Handoko? Terus?” tanya Amel yang langsung merubah posisinya menjadi duduk. “Kita boleh kerja di resor sampe nanti mau masuk kuliah.” “Serius? Beneran? Mulai kapan?” “Secepatnya.” “YEAY!” sorak Amel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN