ORANG KEPERCAYAAN

2131 Kata
Wulandari tampak keheranan saat Surya melewati jalanan yang terasa asing baginya hingga membawanya ke sebuah apartemen mewah dengan penjagaan ketat. Hanya orang yang mempunyai unit di apartemen itu yang bisa masuk dan naik menggunakan lift setelah melewati pemeriksaan ketat penjaga keamanan gedung. Bahkan tamu pun harus mendapatkan ijin seizin sang tuan rumah agar bisa berkunjung. Belum lagi semua area dikeliling CCTV hingga nyaris penjahat atau perampok sulit untuk berbuat kejahatan di tempat ini. Wulandari hanya bisa terpengarah melihat apartemen yang dimasukinya saat ini. Apartemen yang sangat mewah. “I-ini apartemen siapa?” tanya Wulandari yang mengekor Surya. “Ini apartemen milikku tetapi tanpa sepengetahuan Cahaya. Kamu orang pertama yang mengunjungi apartemen milikku ini,” jawab Surya dan menarik tangan Wulandari yang berjalan terlalu lambat karena keasyikan mengamati apartemen itu. Surya menekan lantai 11 untuk menuju unit apartemen miliknya. Dia melirik Wulandari yang tampak resah. Ting. Pintu apartemen terbuka, Surya kembali menggenggam jemari Wulandari dan menuju unit apartemen miliknya. Suasana tampak sepi dan tidak ada orang yang berlalu lalang. Tiba di sebuah unit apartemen bernomor 1101, Surya menekan nomor untuk membuka pintu unit apartemen itu. “Selamat datang,” Surya mempersilahkan Wulandari masuk dan kembali sibuk mengamati keadaan apartemen itu. Unit apartemen benar-benar sangat luas dengan interior yang mewah dan berkelas. Sungguh disayangkan, jika ini hanya menjadi tempat persinggahan sementara dan tidak ditempati seterusnya. “Mas ini bagus banget,” puji Wulandari. “Kamu mau lihat kamarnya?” tawarkan Surya, belum sempat Wulandari mengiyakan, Surya langsung menarik tangannya. Sekali lagi Wulandari hanya bisa menatap takjub, kamar yang luas dan juga mewah. “Auchh…!!!” pekik Wulandari saat Surya mendorong lembut tubuhnya ke ranjang hingga tubuhnya terpental. “Ma-mau apa Mas?” tanya Wulandari yang melihat Surya melepaskan pakaiannya satu persatu dan matanya seolah mengunci Wulandari agar tetap menatapnya. “Aku kan udah ngomong tadi, bobo bareng. Masa iya kamu lupa,” Surya kemudian menyisakan dalamannya saja dan naik ke atas tubuh Wulandari. “Hmphhh…,” ciuman Surya yang lembut dan dalam membuat Wulandari tidak berdaya. Dia seolah terbius dan tak mampu menolak. “Ma-mashhhh,” rintih Wulandari saat Surya mengecup lehernya, memberikan sensasi hangat dan dingin bersamaan. Memicu gairah Wulandari, kakinya bergerak gelisah menahan rintihan gairah yang diciptakan oleh Surya. Surya kembali menatap Wulandari satu tangannya menahan bobot tubuhnya sedangkan tangan yang satu perlahan membuka kemeja Wulandari. Lagi-lagi Wulandari merasa terhinoptis. Dia tak berdaya. Merasa tidak ada penolakan dari Wulandari, yang hanya mampu menutup matanya, Surya tersenyum senang. Kali ini dia bahkan telah berhasil membuka semua kancing baju Wulandari. Surya sejenak menatap tubuh Wulandari. Badannya yang putih sangat kontras dengan bra hitam yang melekat menutupi dua gundukan kenyal miliknya. Surya mereguk ludahnya. Bahkan bagian tubuhnya juga ikut bereaksi. Kali ini dia harus berhasil untuk melaksanakan niatnya yang selama ini tertunda. Kali ini tangan Surya turun membuka kancing jeans, “mas stop,” cekal Wulandari yang tersadar dari kekhilafannya. “Lan, plis. Tanggung banget,” mohon Surya. Wulandari tak gentar dan mendorong tubuh Surya hingga harus telentang di sampingnya. Surya menghela napas kecewa. “Mas aku kan pernah ngomong, aku gak bakalan lakuin itu kalau kita belum menikah, itu kan janji kamu,” tuntut Wulandari. “Jadi kamu mau nikah? Kapan? Sekarang? Ayok,” tantang Surya. “Serius?” tatap Wulandari tak percaya. “Iya aku nikahin kamu. Aku janji. Tapi kali ini kita kawin aja dulu ya, ya sayang hmm…. Nikah mah gampang,” Surya kembali lagi melancarkan rayuannya agar Wulandari mau tidur dengannya. Satu hal yang selalu saja membuatnya penasaran. Tidak seperti beberapa perempuan lain yang pasrah saat Surya meminta, Wulandari mampu menahan diri dan menuntutnya untuk menikahinya. Tentu saja tidak semudah itu Surya mewujudkan keinginan Wulandari itu. Hubungan dengan Cahaya lebih dari hubungan rumah tangga, ada perusahaan yang juga ikut serta di dalamnya. Ini yang menjadi penghalang terbesar Surya. Terlebih lagi, saham Cahaya di perusahaannya mencakup 70% dan Surya tidak ingin gegabah. “Mas, aku kira kamu berbeda,” Wulandari menutup kedua wajahnya dan menangis. Dia merasa terluka karena merasa Surya hanya menginginkan tubuhnya saja. Padahal dia akan menyerahkan segalanya jika mereka dalam ikatan yang sah. Wulandari sangat kecewa. “Hei jangan nangis sayang,” Surya mendekap erat Wulandari dan mengelus rambutnya sayang. Hasratnya lenyap seketika berganti rasa bersalah karena memaksa Wulandari. Ya, Wulandari berbeda dengan wanita lainnya yang rela tidur dengannya dan hanya dijanjikan sejumlah uang kemudian merasa puas dan menghilang. “Udah tenang?” Surya menangkup kedua wajah Wulandari dengan sisa isak tangisnya yang perlahan mereda. Sesekali ibu jarinya menyeka air mata yang masih berada di pipi Wulandari. Wulandari mengangguk dan tersenyum membuat Surya gemas dan memberikan kecupan ringan di bibir Wulandari. “Ya udah kamu rapiin pakaianmu ya sayang. Kita bersiap balik ke rumah ya. Aku mandi dulu,” Surya mengecup kening Wulandari dan mengelus pipinya sayang kemudian menuju kamar mandi. Wulandari kali ini tersenyum lega melihat Surya telah kembali menjadi pria yang dikenalnya, pria yang sabar, penuh perhatian dan juga mencintainya. Cukup lama Surya berada di kamar mandi membuat Wulandari khawatir apa yang terjadi di dalam sana. Tok…tok… “Mas!!!” teriak Wulandari tetapi Surya tidak menjawab. Wulandari mendekatkan telinganya di pintu. Dia mendengar Surya seperti menggeram di dalam sana. Tok…tok… “MAS!!!” kali ini ketukan Wulandari lebih keras dari sebelumnya. Krek “Iya, kenapa sayang?” Surya membuka pintu kamar mandi dengan handuk yang menutup bagian bawahnya. “Mas ngapain di dalem?” tanya Wulandari menaruh curiga. “I-itu,” Surya gugup sembari mengelus tengkuknya. “Apa!?” tuntut Wulandari dengan tatapan intimidasi. “Self service,” ucap Surya menunduk dan melihat bagian bawah tubuhnya. “Maksudnya?” Surya mengangguk karena Wulandari sepertinya mengerti maksudnya. “Mau aku bantu?” tawarkan Wulandari, entah dia serasa ingin menebus rasa bersalahnya karena menolak permintaan Surya tadi. “Hah!? Kamu yakin sayang? Nanti kamu mikir aku hanya inginkan tubuh kamu aja,” tolak Surya. “Gak kok. Ajarin aku,” Surya tentu saja mengangguk setuju yang dengan sedikit kelicikan berhasil membujuk Wulandari. Dia akan sabar mengajar Wulandari perlahan-lahan, hingga nantinya Wulandari akan pasrah dan rela menyerahkan dirinya seutuhnya. Surya harus menunggu saat itu tiba. “Argh…terus sayang. Astaga kamu pinter banget. Ya…terus sayang,” rintih Surya saat Wulandari perlahan-lahan mulai mengulum miliknya. Kedua tangannya memegang rambut Wulandari agar tidak mengganggu aktivitasnya yang membuatnya serasa melayang. Untuk orang yang baru pertama kali melakukannya, Wulandari termasuk berhasil dan patut diacungi jempol. Pujian demi pujian semakin membuat Wulandari ingin membuktikan diri bahwa dia memang bisa memuaskan Surya di segala hal. *** Sepanjang jalan Surya tidak henti tersenyum karena merasa puas atas pelayanan yang diberikan oleh Wulandari tadi. Walaupun belum sampai tahap berhubungan intim tetapi kali ini dia mengganggap satu langkah besar telah dilakukan oleh Wulandari yang hanya membatasi hubungan mereka sebatas ciuman saja. Berbeda dengan Surya, Wulandari tidak mampu menatap Surya dan merasa malu atas tindakannya tadi. Tidak ada penyesalan tetapi hanya riish karena Surya menatapnya tanpa henti. “Mas, jangan tatap terus ih,” tegur Wulandari. “Soalnya hari ini kamu tuh membuat aku mabuk kepayang,” puji Surya lagi dan mencium punggung tangan Wulandari berkali-kali. “Makanya nikahin aku, aku bakalan ngasih lebih dari itu,” Surya tersenyum dan mengangguk. Tiba di depan panti asuhan. Keduanya terkejut akan sosok Cahaya yang terlihat sedang bercengkerama dengan anak panti. “Mas, a-ada Bu Aya,” ucap Wulandari panik. “Kamu tenang aja. Inget kita harus ngasih alasan yang sama. Ngomong aja kita kena macet. Ok,” jelaskan Surya lagi dan Wulandari mengangguk dan menggigit bibirnya resah. “Hei sayang, kamu di sini?” sapa Surya berbasa-basi. Cahaya yang asyik seketika menoleh saat Surya menghampirinya. “Lah kok kalian baru tiba. Dari mana aja?” usut Cahaya. Berbeda dengan Surya yang santai menanggapi, raut wajah Wulandari seketika pucat layaknya orang yang melakukan kesalahan. Wulandari tidak tahu bahwa Cahaya sangat peka pada hal itu. “Tadi kami lama karena tungguin bus ibu yang berangkatnya agak telat dari jadwalnya. Terus setelah itu balik ke sini eh malah kena macet,” jelaskan Surya dan duduk di samping Cahaya. Wulandari masih berdiri mematung layaknya seorang murid yang kena hukuman. “Mas…” lirih Cahaya dan menyentuh rambut Surya yang masih lembab. “Kamu mandi? Dimana?” cecar Cahaya lagi melancarkan serangannya. Surya tercekat, otaknya dipaksa berpikir keras, “oh gak lah. Mau mandi di mana? Tadi di terminal panas banget sayang. Aku kegerahan. Jadi ke kamar mandi dan cuci muka sampai harus nyiram rambutku, biar kepalaku adem,” alasan Surya. Cahaya mengangguk paham. “Iya sih ya. Kalian tuh lama banget di terminal sampai baju Wulandari aja kusut gitu,” sindir Cahaya lagi. Wajah Wulandari benar-benar memucat dan tangannya dingin. Layaknya penjahat yang tertangkap basah. Cahaya tersenyum penuh arti. Dia benar-benar menahan geram di dalam hati. Ingin sekali dia menampar kedua makhluk tak tahu diri di depannya, tetapi jika dia melakukan itu dia bagai mengotori tangannya yang suci, dia tidak mau dianggap seperti itu. Kali ini dia akan menjadi pemain catur dan keduanya harus menjadi pion yang akan dimainkan sesuka hati oleh Cahaya, pembalasan dendam sesungguhnya. “Ya udah Lan. Kamu istirahat aja. Kasian wajah kamu pucet. Mungkin kecapean,” saran Cahaya lagi membuat Wulandari mengangguk dan segera masuk ke dalam kamarnya. “Kamu masih di sini atau kita pulang bareng?” tawarkan Surya lagi. “Gak Mas, aku mau singgah di butik dulu. Lagian aku juga bawa kendaraan kan.” Surya paham, “ya udah. Kalau gitu aku balik ke rumah duluan ya,” pamit Surya dan mengecup kening Cahaya. Dia tidak tahu Wulandari mengintip mereka dari balik jendela kamarnya. Sungguh Wulandari harus rela berbagi Surya dengan Cahaya. Dia terus bertanya di dalam hati, kapankah saat Surya menjadi miliknya seutuhnya. Semoga hari itu segera tiba. Cahaya menunggu mobil Surya menghilang kemudian ikut meninggalkan panti. Dia awalnya hanya ingin mengetahui apakah benar Surya dan Wulandari akan balik ke panti asuhan ataukah singgah ke tempat lain. Namun ternyata firasatnya benar. Keduanya tidak ada di panti asuhan saat dirinya tiba, padahal jika dihitung berapa lama mereka meninggalkan rumah, ini sudah melebihi dari waktu yang seharusnya. Keduanya seperti tidak menganggap keberadaan Cahaya lagi. Ini semakin membulatkan tekad Cahaya untuk berpisah dengan Surya. *** Cahaya mengemudi dengan santai hingga tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan Pradana Law & Firm, sebuah kantor pengacara ternama. Di surat perjanjian pra nikahnya, terdapat nama pengacara Pradana Anumerta sebagai kuasa hukum dari Ayah Cahaya. Karena itulah, Cahaya mendapatkan ide untuk bertemu pengacara yang menjadi orang kepercayaan Ayahnya itu. Semoga saja dia bisa membantu Cahaya. “Selamat siang, apakah saya bisa bertemu dengan bapak Pradana Anumerta?” tanya Cahaya kepada seorang wanita yang berjaga di pintu masuk kantor pengacara itu. “Siang ibu. Oh maaf, apakah ibu ada janji sebelumnya?” “Gak. Tapi tolong kasih tahu beliau bahwa putri dari Agung Tirtahardja ingin bertemu,” ucap Cahaya menyebut nama Ayahnya yang mungkin saja lebih dikenal oleh sang pengacara. “Oh putri Bapak Agung Tirtahardja, baik bu, silahkan ibu menunggu sebentar ya. Saya akan panggilkan beliau,” ulang sang resepsionis yang tampak familiar mendengar nama ayah dari Cahaya dan langsung mengarahkan Cahaya menuju sebuah ruangan. Cahaya masuk ke dalam sebuah ruangan rapat yang tergantung beberapa piagam penghargaan dan juga beberapa foto. Tidak lama resepsionis membawakan secangkir teh untuk menemani Cahaya menunggu walaupun Cahaya sudah tidak pernah bertemu sang pengacara itu. “Selamat siang,” sapa seorang pria muda yang memakai jas masuk ke dalam ruangan. Cahaya mengernyitkan alisnya. Pria itu terlalu muda baginya atau mungkin hanya beberapa tahun di bawah usianya. Seingatnya sang pengacara seumuran dengan Ayahnya. “Siang,” Cahaya menatap pria itu. “Saya ingin bertemu dengan Pradana Anumerta,” ucap Cahaya. “Oh maaf anda akan sulit bertemu dengan beliau,” ucap pria muda itu tersenyum dan duduk di hadapan Cahaya. “Kenapa?” “Ya karena beliau telah meninggal,” jawab pria itu membuat Cahaya terkejut sekaligus kecewa. “Oh maaf. Kalau begitu saya permisi. Sepertinya saya tidak bisa melanjutkan niat saya,” Cahaya bangkit dan hendak meninggalkan ruangan “Kenapa anda ingin bertemu dengan beliau?” tanya pria itu lagi membuat langkah kaki Cahaya terhenti. “Saya ingin meminta dia mengurus sesuatu tetapi syaratnya dia pernah menjadi orang kepercayaan Ayah saya,” jelaskan Cahaya. “Perkenalkan saya Dewa Pradana, putra dari Pradana Anumerta,” pria itu bangkit memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan. “Saya Cahaya Ayuningrum, putri dari Agung Tirtahardja,” Cahaya menyambut uluran tangan pria bernama Dewa itu. “Jika dahulu Ayah saya bisa menjadi orang kepercayaan Ayah anda. Mungkinkah putra dari Pradana Anumerta bisa menjadi pengacara kepercayaan putri dari bapak Agung Tirtahardja?” ada nada tantangan sekaligus permintaan dari ucapan sang pengacara muda itu. Cahaya tersenyum dan seolah mendapat sebuah keyakinan yang kuat. Dia sangat berharap pria bernama Dewa ini bisa menjadi orang yang diandalkan untuk melawan Surya dan membuat Surya kehilangan semua miliknya. Keduanya tersenyum dan sebagai pertanda mereka saat ini berada di kubu yang sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN