AWAL PERTEMUAN

2014 Kata
Flashback Siang itu Cahaya, ditemani kedua sahabatnya Dewinta dan Ratih mengunjungi perusahaan Papanya-Agung Tirtahardja. Ketiganya saat ini sedang berstatus mahasiswi di sebuah kampus swasta terkenal di Jakarta, jurusan manajemen bisnis. Mereka sekarang sudah memasuki semester enam, dan tahun depan berencana akan menamatkan pendidikannya. Mengenai rencana setelah menjadi sarjana, ketiganya belum memikirkannya. Ketiganya mendapatkan tugas dari kampus untuk membuat tugas makalah dari salah satu dosen mata kuliah mereka. Usulan Dewinta yang memilih untuk melakukan penelitian di perusahaan milik orang tua Cahaya agar memudahkan mereka mengurus semua perijinan dan lainnya membuat Cahaya menyetujui usulan mereka. “Siang mba,” sapa Cahaya kepada resepsionis di depan ruangan Papanya. “Eh Mba Aya,” ucap resepsionis itu menunduk hormat. “Papa sibuk gak? Aku boleh ketemu gak?” tanya Cahaya lagi meminta ijin. “Pak Agung lagi ada tamu Mba. Tentu aja boleh. Sejak kapan Pak Agung melarang putrinya sendiri menemuinya,” ujar resepsionis itu. “Kalau gitu, aku tungguin aja ya,” saran Cahaya dan duduk bersama kedua sahabatnya di sofa. “Kenapa Ya? Papa lo bisa ketemu kita gak?” tanya Ratih ragu. “Dih, Cahaya minta dunia juga Papanya bakalan beri. Ini kita sok formal aja. Andai Cahaya mau, kita langsung aja menemui bagian manajemen dan mencari informasi di sana buat tugas kita,” jawab Dewinta yang memang bersahabat dengan Cahaya sejak SMU. Cahaya hanya menggeleng geli karena Dewinta berucap terlalu berlebihan. Berbeda dengan Ratih yang bersahabat dengan keduanya saat berada di kampus sama pada saat menjadi mahasiswa baru. Ratih juga jarang bertamu ke rumah Cahaya karena segan dengan Papa Cahaya. Ayah Ratih adalah dosen di perguruan tinggi tempat mereka berkuliah. Sedangkan Ayah Dewinta adalah seorang pengusaha tekstil walaupun skalanya tidak terlalu besar. Dari ketiganya memang Cahaya di atas baik dari segi kekayaan maupun juga kecantikan. Cahaya sejak menjadi mahasiswa baru telah menjadi incaran para senior dan juga teman seangkatannya. Sosoknya yang cantik, cerdas, ramah dan tidak sombong tentu saja menjadi penilaian yang lebih sehingga menjadi idola para pria. Tetapi Cahaya belum menentukan siapa sosok yang akan mengisi hatinya. Dia seolah memberikan harapan kepada semua pria tanpa ada niat menjalin hubungan serius. Sembari menunggu, ketiganya sibuk melihat majalah remaja yang menampilkan banyak model yang ganteng untuk dipilih dalam pemilihan cowok tertampan tiap tahunnya. “Mba Aya, tamunya bapak udah pulang,” resepsionis itu menghampiri Cahaya dan kedua sahabatnya. Cahaya mengangguk kemudian bangkit dan masuk ke ruang kerja Papanya. “Pa!” sapa Cahaya yang melihat Papanya terlihat sibuk dengan berkas yang berada di mejanya. Sosok Agung Tirtahardja, adalah pria paruh baya dengan beberapa uban yang terlihat di beberapa helai rambutnya, sosok Ayah yang bijak tetapi juga tegas di saat yang tepat. Sisa ketampanannya di masa muda masih tampak di wajahnya. Tetapi wajah Cahaya lebih banyak diwarisi dari ibunya. Oleh karena itu saat Agung menatap Cahaya sama saja mengobati kerinduan akan sosok istrinya itu yang meninggal karena sakit. Cahaya dahulu sering mendesak Papanya untuk menikah agar ada wanita yang bisa mengurus dan menemani masa tuanya. Tetapi Agung menolak usulan Cahaya itu dan takut wanita itu hanya menginginkan hartanya saja dan kelak malah menyusahkan Cahaya karena sifat tamaknya. Dia takut salah memilih ibu tiri yang berpura-pura baik dan pandai bersandiwara tetapi nyatanya berhati busuk. Sedangkan Agung telah berjanji kepada istrinya saat ajalnya menjemput bahwa dia akan menjaga putrinya dan akan selalu memberikan limpahan kasih sayang agar Cahaya tidak merasa kehilangan sosok ibunya. Agung harus bertindak sebagai Papa dan Mama bagi Cahaya yang saat itu menginjak menjadi gadis remaja yang labil dan juga sensitive. Mengingat saat itu Agung sepertinya sangat bersyukur berada pada titik ini. Cahaya telah menjadi gadis dewasa dan juga baik hati. “Hai sayang, kok tumben ke sini,” Agung bangkit dan menghampiri Cahaya memeluk putrinya sayang. “Ini siapa?” tanya Agung melihat dua yang berdiri canggung di belakang Cahaya. “Aku Dewinta om,” jawab Dewinta maju dan menunduk hormat. “Ya aku tahu kamu hahaha,” Agung terbahak karena Dewinta masih memperkenalkan dirinya. Dia tahu Dewinta adalah sahabat karib Cahaya sejak dulu. Dewinta menunduk malu karena reaksi Papa Cahaya. “Sa-saya Ratih om,” kali ini Ratih maju dengan ragu sembari mengulurkan tangannya. “Oh iya. Saya Papanya Cahaya,” Agung membalas uluran tangan Ratih yang langsung mencium punggung tangannya. Agung merasa senang putrinya itu bisa berteman dengan gadis yang baik dan juga sopan. “Pa, aku punya tugas kampus dan pengen nyari informasi di bagian manajemen, bisa gak?” ungkap Cahaya maksud kedatangannya. Dia bersandar pada bahu Papanya penuh manja. “Ya boleh dong. Malah bagus kamu udah bisa pelajari perusahaan kita sejak awal.” “Ya udah, nanti aku bakalan direktur manajemen buat nyari orang yang bantuin kalian dan nyediain apa yang kalian butuhin,” saran Agung lagi. “Makasih Pa,” Cahaya mencium pipi Papanya sebagai ungkapan terima kasihnya. Kedua sahabatnya hanya bisa menatap iri melihat kedekatan Cahaya dengan Papanya yang akrab dan diberi limpahan kasih sayang. Cahaya seolah menjadi gadis sempurna yang memiliki segalanya. Cahaya awalnya meminta kepada Papanya untuk berkuliah di luar negeri tetapi Papanya menolak keras usulannya. Sejak istrinya meninggal saat Cahaya Sekolah Menengah Pertama membuat Agung lebih protektif terhadap putrinya. Dia tidak ingin putrinya hidup jauh darinya dan membuatnya selalu khawatir akan keadaan Cahaya. Lagipula beberapa kampus negeri dan swasta di Jakarta banyak yang berkualitas dan tidak kalah dengan kampus di luar negeri. Selain itu juga, titel yang akan dimiliki Cahaya hanyalah embel-embel semata, Cahaya mau tidak mau tetap akan menjadi penerus perusahaannya kelak atau mungkin dia juga akan memilih pendamping yang sesuai untuk putrinya itu. “Selamat siang pak, bapak manggil saya?” seorang pria paruh baya masuk ke dalam kantor Agung. “Oh pak Hendri. Ini putri saya dan sahabatnya. Dia punya tugas dari kampusnya. Nah dia tuh butuh ditempatin di bagian manajemen sebagai referensi untuk tugas mereka,” jelaskan Agung. “Oh baik pak. Saya akan mengatur semuanya,” ucap pria bernama Hendri itu menunduk patuh. “Aya, kamu dan temenmu ikutin aja Pak Hendri ya. Dia Direktur Keuangan dan Manajemen di sini. Nanti dia nyari orang yang bisa bantuin kalian,” saran Agung membuat Cahaya dan kedua sahabatnya mengangguk mengerti. Hendri berjalan di depan diikuti oleh Cahaya, Dewinta dan Ratih turun ke lantai tiga bagian Keuangan dan Manajemen. Kedua sahabat Cahaya terkesima melihat perusahaan milik Papa Cahaya yang begitu keren di mata mereka. Meja karyawan yang dibatasi sekat-sekat dan juga para karyawan terlihat sangat serius menekuni pekerjaannya terlihat profesional di mata mereka. Hendri berdiri melihat ke arah meja karyawannya terlihat berpikir untuk menunjuk siapa orang yang tepat mendampingi Cahaya dan teman-temannya. “Kamu!” tunjuk Hendrik ke arah seorang pria yang terlihat serius menatap komputer di hadapannya. “Hei kamu!” teman pria itu yang duduk di sampingnya menyenggol lengannya agar sadar bahwa DIrektur mereka sedang menunjuknya. “Iya pak, saya!?” pria itu tersadar dan menunjuk dirinya sendiri. Hendir mengangguk, “Iya kamu ke sini!” panggil Hendri membuat pria itu bangkit. “Kenapa ya pak?” tanya pria itu saat berdiri berhadapan dengan direkturnya. “Kamu nama kamu siapa?” tanya direktur yang melupakan nama si pria itu. “Surya pak,” perkenalkan pria itu. “Oh iya Surya. Kamu yang baru tiga bulan di sini kan. Yang pindahan dari kantor cabang,” tegaskan direktur lagi akan sosok pria bernama Surya itu. “Iya bener pak,” ucap Surya menunduk hormat. “Oke. Ini Nona Cahaya, putri Bapak Agung, CEO sekaligus pemilik perusahaan ini. Dia butuh referensi dan juga bantuan untuk mengerjakan makalah mereka mengenai manajemen. Tugas kamu, tolong bantuin mereka. Aku yakin kamu orang yang tepat mengingat prestasi kamu di kantor cabang hingga bisa dipindahkan ke kantor pusat,” Agung memberikan arahannya. Ketiga gadis itu yang sejak tadi berdiri hanya melihat interaksi si Direktur dan pria bernama Surya itu, menunggu seraya tersenyum manis. Mereka saling menyenggol lengan seolah saling memberikan kode-kode yang hanya bisa diketahui ketiganya. “Nona Cahaya, perkenalkan ini Surya yang akan bantuin tugasnya,” ucap Hendri memperkenalkan Surya kepada Cahaya. “Salam kenal nama saya Surya, Surya Bakti Nagara,” ucap Surya tersenyum manis dan mengulurkan tangannya. Surya termasuk pria yang masuk kategori tidak terlalu tampan, tetapi berkharisma dengan senyum yang memikat. Ketiga gadis itu terus terang merasa terpikat pada pandangan pertama akan sosok Surya ini. “Cahaya Ayuningrum Tirtahardja,” sambut Cahaya uluran tangan Surya. Genggaman tangan Surya yang kuat dengan lengan kokoh terasa di tangan Cahaya. Ditambah lagi tatapan dalam Surya membuat Cahaya salah tingkah. Jabatan tangan keduanya seolah saling menunggu siapa yang akan melepaskannya. Jabatan tangan itu akhirnya terlepas setelah disela oleh Dewinta, “Saya Dewinta Razak,” ucap Dewinta memperkenalkan diri. “Surya.” “Saya Ratih,” kali ini berganti Ratih dan memberikan senyum termanisnya kepada Surya. Surya yang ramah kepada ketiga gadis ini membuat ketiganya tidak pernah memutus kontak mata dengan Surya. Pandagan mereka seolah terfokus hanya kepada Surya saja. Penampilannya yang rapi menambah kesan ketertarikan mereka. Setelah perkenalan itu, Surya dan ketiga gadis itu pindah ke ruang meeting. Di sana ketiganya menjelaskan bahan apa yang dibutuhin oleh mereka. Surya paham dan mulai membawa beberapa berkas sebagai bahan referensi mereka. Surya mulai menjelaskan apa yang harus mereka lakuin dari awal. Penjelasan demi penjelasan yang diberikan Surya sangat mudah dipahami dan dia juga sangat sabar menjawab pertanyaan demi pertanyaan dari ketiga gadis itu. Walaupun kadangkala mereka lebih banyak bercanda. Selain penjelasan Surya mereka menatap takjub akan wajah dan pesona Surya. Senyumannya selalu saja terselip dari setiap penjelasan yang diberikannya. “Eh udah jam makan siang nih,” celetuk Ratih yang melihat jam di tangannya. “Oh gitu ya. Ya udah nanti habis makan siang kita lanjutin,” saran Surya, Cahaya dan ketiganya mengangguk bagai murid yang patuh. Surya kemudian membereskan berkasnya sebelum meninggalkan ruangan meeting. “Kak Surya, makan di mana?” tanya Dewinta memberanikan diri dan berharap Surya bisa diajak untuk makan siang bersama. “Saya bawa bekal hehehe,” jawab Surya dan mengelus tengkuknya. “Oh dari istrinya,” timpal Ratih. Kedua sahabat Cahaya sontak berubah menjadi cemberut dan kecewa. “Gak. Saya belom nikah kok. Itu bekal buatan saya sendiri,” jelaskan Surya. Sontak saja mulut ketiga gadis itu membentuk huruf o. Surya ini benar-benar pria langka di jaman saat ini. Padahal dia sudah bekerja dan bisa saja memilih makan di kantin atau ke restoran, tetapi dia lebih memilih membawa bekal sendiri. “Kalau pacar?” usut Ratih lagi membuat Cahaya menggeleng heran. Dia tidak habis pikir kedua sahabatnya ini begitu penasaran dengan kehidupan pribadi Surya. “Ada,” jawaban dari Surya ini membuat Cahaya tersenyum geli melihat wajah kedua sahabatnya yang ditekuk karena kecewa. “Yah kecewa,” ucap Dewinta blak-blakan dan saat sadar langsung membekap mulutnya sendiri. Ratih memukul lengan Dewinta karena sahabatnya itu sering kali keceplosan di waktu yang tidak tepat. “Iya ada tapi nanti. Masa iya saya gak pengen punya pacar,” jelaskan Surya yang melirik ke arah Cahaya. Cahaya yang dilirik sontak membuang muka untuk menutup salah tingkahnya. “Oh gitu ya kak. Ya udah semoga segera dapet paca. Salah satu dari kita boleh,” ucap Dewinta menambahi dan cekikikan bersama Ratih. “Udah. Kalian banyak nanya ih. Kasian kak Surya tuh udah kelaparan,” sela Cahaya yang tidak ingin Surya merasa risih karena tingkah kedua sahabatnya. “Gak kok. Gak masalah. Saya gak merasa terganggu,” bantah Surya dan tersenyum sekali lagi ke arah Cahaya. “Kalau gitu saya permisi,” Surya menunduk hormat dan memeluk beberap berkas dan kembali ke mejanya. “Kok ada yang cowok seperti Kak Surya di dunia ini dan kita terlambat menemuinya,” Dewinta menopang pelipisnya di meja dan berkhayal akan sosok Surya. “Kamu tuh, bukannya fokus buat nyelesein makalah malah ke yang lain,” tegur Cahaya tidak habis pikir. “Kamu emang gak tertarik Ya sama kak Surya?” tanya Dewinta heran. “Iya dia apa ya penuh kharisma,” ucap jujur Cahaya. “Masuk gak kriteria kamu?” cecar Ratih. “Entahlah, liat nanti,” Cahaya tersenyum sembari mengendikkan bahunya. Untuk saat ini dia hanya tahu penampilan luar Surya dan belum mengetahui sifat dan karakter pria itu sebenarnya. Namun dia tidak bisa banyak berharap karena status sosial mereka yang berbeda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN