Part 2

1882 Kata
PART 2 PART 2 “Aku akan mengantarkan kalian pulang.” Delmon merebut ponsel Freya saat wanita itu akan memesan ojek online dan saat ini Delmon tengah menggendong Dipta yang lagi tidur. Sebelumnya Delmon sudah memaksa Freya supaya mau bercerita mengenai soal luka gores di tangannya dan ternyata Freya baru saja menyelamatkan Amanda dari seseorang yang akan mencelakai temannya tersebut. Delmon merasa kagum mendengarnya namun sedari tadi Freya memasang raut wajah yang ogah-ogahan bertemu dengannya. “Tidak, aku bisa sendiri.” “Lalu Dipta?” “Aku bangunin aja.” Tangan Freya yang tidak sakit mulai memegang punggung Dipta dan berniat membangunkannya. “Sudah, tidak usah. Kasian si Dipta, kelihatan dia itu lagi capek nanti malah nangis kamu bangunin.” Delmon menurunkan tangan Freya dan Freya mendesah pasrah karena keadaanya juga tidak memungkinkan melakukan apa-apa sendiri. “Lagian temanmu menyuruhku juga di sini dan sampai kondisimu pulih.” “Ah tidak mungkin, om-om kayak Anda suka modus.” Suasana hati Freya bertambah buruk saja melihat ponselnya yang dirampas oleh Delmon dan pria itu sama sekali tidak mengembalikan padanya. “Tambah cantik aja kamu itu kalau lagi marah.” Delmon terkekeh pelan dan keduanya berjalan beriringan. “Om bilang begini pasti ada maksud lain, dari kemarin aja kayak ngajak berantem eh sekarang sok perhatian.” Freya Godehyda—Freya itu merasa curiga pada maksud sikap Delmon yang peduli padanya. “Lihat aja nanti.” “Tuh kan.” Freya mendengus dan berjalan mendahului Delmon. Suasana hatinya selalu buruk berada di dekat pria itu dan merasa waspada saja kala teringat sikap Delmon yang m***m kepada beberapa waktu yang lalu. “Kenapa aku malah senang menggodanya? Dia tidak sama seperti beberapa wanita yang pernah dekat denganku.” Delmon tersenyum miring penuh arti dan berjalan cepat menyusul langkah Freya yang hampir hilang dari pandangannya. Freya sangat cepat, pikirnya. Ketika sudah berada di dalam mobil, raut wajah Freya masih kesal dan tangannya bersedekap. Sesekali poninya ditiup hingga berantakkan, tingkah wanita berusia 24 tahun itu tak lepas dari pandangan Delmon yang tengah mengendarai mobil dengan kecepatan stabil. Dipta masih tertidur pulas di samping Freya dengan tubuhnya dibalut sabuk pengaman, berbeda dengan Freya yang sengaja memakai alasan menjaga Dipta agar dirinya tidak duduk di samping pengemudi. Meski raut wajahnya menunjukkan wajah-wajah kesal tapi perasaannya begitu takut apalagi ia tak mampu memandang mata tajam Delmon lebih lama dan seperti ada maksud lain Delmon tiba-tiba menjadi baik kepadanya. Di dalam perjalanan juga hening suasananya, tak ada salah satu dari mereka yang berniat mengeluarkan suaranya dan Delmon juga tidak berniat menyalakan musik di mobilnya. “Om, tolong jangan apa-apakan saya.” Freya akhirnya membuka suaranya lebih dulu. “Ngaco kamu itu.” Delmon terkekeh sebentar. “Om kan m***m sama saya.” “Aku hanya menggodamu saja. Oh jadi kamu takut kepadaku? Baguslah kalau punya rasa takut ke aku.” Delmon menahan senyumnya. “Menyebalkan.” Freya merasa geregetan pada pria berjambang tipis dan baru saja mengenakan kaca mata berwarna hitam. Tak lama kemudian, telah sampailah di rumah Freya dan Delmon turun dari mobil segera untuk menggendong Dipta. “Om juga ikut masuk ke dalam?” tanya Freya yang akan membuka gerbang rumahnya hanya dengan satu tangannya saja. Gerbang rumahnya telah dibangun menjadi lebih tinggi, mengingat kemarin-kemarin pintu gerbang rumahnya tanpa digembok dan sekarang Freya jauh merasa nyaman saja jika gerbang rumahnya dibangun sesuai apa yang diinginkannya. “Iyalah, rumahmu juga sepi.” “Aku mau telepon saudaraku biar Dipta digendong saudaraku, om pulang aja dan intinya om harus secepatnya pergi dari sini.” Jantung Freya berdegub kencang, sungguh dirinya sangat wasapada terhadap Delmon dan tingkahnya juga mencurigakan menurutnya. Hal itu dilakukan supaya dapat menghindari hal-hal tak diinginkan dan Freya merasa dirinya tak sebodoh itu bisa ditipu oleh pria di sebelahnya. “Oke,” jawab Delmon singkat dan bersikap santai, tak berniat mencegah Freya yang akan memanggil saudaranya ke sini. ‘Kenapa dia sikapnya aneh sih? Enggak pokoknya harus sesuai prinsip, jangan mudah terlena sama sikapnya. Aku tau dia ini tukang modus’—batin Freya melirik sekilas ke arah Delmon. Freya akui kalau paras Delmon begitu sempurna menurutnya, badan tegap, rahangnya yang aduhai, dadanya bidang tercetak jelas apalagi tubuhnya kala mengenakan setelan jasnya dan terdapat bulu-bulu halus di lengannya ketika pria itu menggulung lengan kemejanya ke atas. Freya menggelengkan kepalanya, sadar terlalu membayangkan tubuh Delmon padahal jelas-jelasnya orangnya itu tengah menatapnya heran saat ini. “Mbak Nur.” Freya mengangkat tangannya dan dilambaikan ke seseorang yang tadi telah dihubunginya. Ponselnya sudah dikembalikan oleh Delmon. Seorang wanita yang usianya hampir seperti Delmon kini memarkirkan sepedanya di sampimg Freya dan wanita itu juga menatap bingung ke arah Delmon yang nampak asing baginya. “Ada apa Frey manggil mbak? Untung mbak belum berangkat jemput bapak.” Mbak Nur—adalah kakak sepupu Freya. Freya memiliki banyak saudaranya yang tinggal dekat dengan rumahnya dan tak heran lagi kalau rumah Freya terkadang ramai mendadak sebab orang tua Freya ada yang menjaganya bergiliran di saat Freya sibuk bekerja. Meski Freya sudah menjadi pegawai tetap, pastinya dia juga menafkahi keluarganya dan memberikan upah pada saudaranya yang menganggur namun diberikan pekerjaan oleh Freya yakni untuk menjaga dan merawat orang tuanya ketika Freya pergi bekerja termasuk Mbak Nur yang sering dimintai tolong oleh Freya ketika Dipta ada urusan sekolahannya seperti rapat, mengambil rapot dan sebagainya. “Terus itu tanganmu kenapa? Haduh diperban tebal begini? Dilukai sama siapa? Atau kamu tadi jatuh? Jatuh di mana?” tanya Mbak Nur bertubi-tubi, merasa khawatir pada adik sepupunya tersebut. “Ah tadi ada kecelakaan kecil dan gak parah kok lukanya. Nanti cepat sembuhnya.” Freya mengulum senyumnya simpul. “Terus kamu siapa ya? Bisa-bisanya Freya dapat cowok matang, ganteng dan berotot begini. Astaga Anda tidak jadiin Freya simpenan kan? Frey tolong kamu bilang ke mbak yang jujur ya, kamu lagi kesusahan uang? Jangan jual diri dong!” Mbak Nur pikirannya mulai travelling entah ke mana saat menyadari pria itu terlalu tua untuk adik sepupunya. “Mbak jangan bilang begitu dong, kalau tetangga tau kan jadi bahan gosip keluarga kita.” Freya menepuk pundak kakaknya dan berdecak kesal karena Mbak Nur terlalu mencerocos tanpa mendengar penjelasan darinya lebih dulu. “Eh iya haduh maaf sepertinya mbak kelewatan kalau ngomong, maaf ya mas.” Mbak Nur meringis dan sadar atas kesalahannya tadi. “Tidak apa-apa, saya ini hanya temannya dan kebetulan bertemu Freya lalu saya bermaksud mengantarnya ke rumah karena Dipta yang ketiduran jadi saya tidak tega kalau anak ini dibangunkan.” Akhirnya Delmon-lah yang menjelaskan semuanya. “Ah begitu, ternyata masnya baik. Haduh jadi malu deh tadi habis mencaci masnya.” Mbak Nur tersenyum malu seraya mengusap lehernya. “Iya.” Delmon mengembangkan senyumannya dan tiba-tiba Dipta bergerak di dalam gendongannya. “Tante huaa.” Rengek Dipta yang belum sepenuhnya membuka matanya lantas Freya mendekati Dipta dan menepuk punggung bocah itu pelan. Beginilah kalau Dipta tidur dalam posisi yang tidak membuatnya nyaman dan bangun-bangun akan menangis. “Hey ini ada tante, matanya melek dulu gih!” Freya mengelus pipi Dipta yang mengembung dan bibirnya mengerucut sambil matanya berusaha dibuka. (buka) “Tante gendong.” “Tangan tante lagi sakit gini lho.” Dipta pun sadar kalau dirinya digendong oleh Delmon. “Om Delmon gendongnya yang tinggi, ini mau melosot. Nanti kalau aku jatuh gimana?” “Ya tinggal berdiri aja kan sudah bangun.” “Enggak mau, aku ingin digendong sama om.” Akhirnya Delmon membenarkan gendongannya. Freya tak bisa menahan senyumannya melihat Dipta yang lagi manja kepada Delmon dan entah mengapa hatinya terasa menghangat melihat Dipta melebarkan senyumannya yang tengah digendong oleh Delmon. “Ekhem.” Mbak Nur berdehem membuat mereka menoleh ke arahnya. “Gerbangnya sudah terbuka nih, oh ya sudah makan siang semuanya?” tanya Mbak Nur kepada mereka. “Belum, Mbak. Aku ingin makan.” Dipta masih betah berada digendongan Delmon, walau begitu Delmon tidak merasa pegal karena sudah terbiasa apalagi tubuh Dipta yang terbilang kecil sama seperti Jessi, anak Alden. “Oke, mbak masakin. Orang tuamu masih di Jombang Frey mungkin besok pulang,” ujar Mbak Nur memberitahukan kepada Freya. “Iya, Mbak.” Mereka masuk ke dalam dan Freya langsung menghentikan langkah Delmon. “Eh om pulang sana! Aku tidak mengajakmu makan.” Freya menatap Delmon tajam. “Tapi aku ingin sama om Delmon.” Dipta mengalunkan tangannya ke leher Delmon dan meletakkan kepalanya di pundak pria itu dengan manjanya. “Sudahlah Freya, kamu ini harusnya tau berterima kasih dan mengajak Mas Delmon makan siang bersama.” Mbak Nur kemudian menyuruh Delmon masuk ke rumah Freya. “Padahal aku itu manggil mbak biar dia pergi lho.” Freya menghampiri Mbak Nur yang sekarang berada di dapur. “Freya, tidak boleh bilang begitu. Katanya Mas Delmon itu temanmu, atau kamu lagi marahan?” tanya Mbak Nur yang mulai menyiapkan peralatan memasaknya dan bahan-bahan yang dibutuhkan. Delmon dan Dipta sedang mengobrol di ruang tamu. Dipta juga meraih mainan robot-robotannya yang tergeletak asal di sofa. Manik Delmon menyapu ke penjuru ruang tamu Freya dan terdapat barang-barang antik berbentuk unik terpajang di tempat rak khusus serta ada juga yang di dinding tergantung bentuk dan jenisnya. ‘Mungkin orang tua dia penyuka barang antik’—pikir Delmon. Delmon beranjak berdiri dan mendekati dinding yang terdapat beberapa pigura yang tersusun rapih di sana. Sudut bibirnya terangkat sedikit tak sengaja menatap sebuah pigura yang berisikan foto perubahan wajah Freya dari bayi hingga beranjak remaja. Tangannya meraih pigura tersebut dan dibelainya perlahan. “Dia manis walau wajahnya jutek. Ternyata sudah dari kecil. Senyum dikit aja sudah cantik apalagi senyum lebar.” Delmon meletakkan pigura itu kembali ke tempat asal lalu beralih mengambil pigura lain yang menurutnya menarik. “Foto dia waktu sarjana dan kedua orang tuanya. Emm sebentar, sebentar sepertinya aku pernah bertemu pria ini. Di mana ya? Ah ingatanku tidak bagus dan benar-benar lupa.” Delmon memijit pelan pangkal hidungnyadan berusaha mengingatkan sesuatu setelah menatap foto kedua orang tua Freya terutama ayahnya. “Om kenapa di sana?” Suara Freya makin mendekat membuat Delmon kembali meletakkan pigura tersebut ke tempat asalnya. “Aku hanya ingin melihat-lihat saja.” “Tidak sopan namanya.” Freya merapikan pigura yang tadi diambil Delmon. “Gitu amat sih.” Delmon menggelengkan kepalanya dan menghampiri Dipta yang bermain sendiri. “Terserah ini rumahku dan aku yang berkuasa. Om ya harus sopan santun di sini.” Freya kembali juga ke dapur. “Oh.” Delmon beroh ria saja mendengar ucapan Freya. Beberapa menit kemudian, mereka semua pun makan siang bersama di ruang makan dan Mbak Nur tidak ikut makan siang karena harus pulang ke rumah untuk mengurusi keluarga kecilnya. “Kamu biasanya sendirian di rumah?” tanya Delmon ketika semuanya telah selesai makan siang. “Kepo banget sih.” Sewot Freya. “Iya, aku memag kepo.” “Sudah sana om pulang aja.” “Jangan dulu!” Dipta menahan tangan Delmon supaya tidak jadi pergi. “Dipta jangan nakal dong!” tegur Freya pada Dipta yang biasa anak itu mulai nakal kalau tidur hanya sebentar. “Dipta.” Freya menghela napasnya saat manik Dipta mulai berkaca-kaca. “Aku kangen pipi, tadi habis mimpiin pipi. Digendong sama om Delmon rasanya kayak dipeluk sama pipi.” Dipta merasakan pedihnya merindukan orang tuanya yang langsung menghunjam hatinya. “Dipta, maafin tante.” Freya mendekati Dipta dan memeluknya erat. Delmon yang melihat luka dimata Dipta membuat hatinya terenyuh dan tangannya membelai rambutnya Dipta. ...

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN