Part 1
PART 1
PART 1
“Terima kasih ya, Delmon. Telah menemani ibu terapi,” ujar seorang wanita berusia 63 tahun itu mendongak sedikit kepalanya agar bisa menatap putranya yang kini mulai mendorong kursi rodanya.
“Sama-sama, Bu. Aku lebih senang ibu memilihku untuk hal-hal ini dan aku memang mengkhawatirkan keadaan ibu. Bagus terapi di rumah sakit saja didampingi dokter yangs sudah ahlinya. Aku makin khawatir aja kalau terapi di rumah.” Delmon Garrick menghentikan kursi roda Jenar Candrakanti—ibunya hanya sejenak ingin merapikan rambut ibunya supaya terlihat lebih rapi. Rambut yang sudah banyak memutih warnanya menandakan ibunya semakin tua dan rasanya tak rela waktu berjalan begitu cepat. Ia ingin kembali menjalani masa anak-anaknya yang belum pernah dirasakannya sebab Delmon menghabiskan waktu kecilnya hanya belajar dan belajar bahkan sewaktu remaja pun jarang sekali keluar rumah. Didikan ayahnya memang keras pada anak-anaknya terutama kepada Delmon yang notabenenya anak laki-laki. Delmon memiliki seorang kakak perempuan dan adik perempuan.
“Terapi itu lho cuman berdiri saja.” Jenar terkekeh sebentar dan tangannya terangkat lalu menepuk punggung tangan putranya yang berada di pundaknya. Di antara anak-anaknya yang lain, Delmon selalu menjadi pilihan pertamanya dikala tengah sakit. Sebab putranya yang paling dekat dengannya dan Delmon selalu tau apa yang disukainya atau tidak. Delmon yang memahaminya dan Jenar malu jika meminta tolong pada dua anaknya yang lain daripada ke Delmon.
“Ya tapi kan namanya juga khawatir, kok malah diketawain?” Delmon memasang muka sebal kemudian melanjutkan mendorong kursi roda ibunya.
“Nanti ada acara makan malam, kakakmu sama adikmu datang ke rumah.”
“Pasti membicarakan aku kapan menikah begitu kan? Sudah ketebak dari dulu juga gitu.”
“Ibu juga ingin melihat cucu darimu dan adikmu ingin menikah di akhir tahun ini.”
“Ya nikah sajalah, aku tidak masalah.”
“Cuman adikmu tidak mau melangkahimu dan masih ingin menunggumu menikah.” Jenar menghela napasnya perlahan.
“Bu, tapi menikah itu tidak dipaksakan.” Delmon menarik napasnya.
“Iya, Nak. Ibu tau, tapi umurmu itu lho yang sudah tua dan apa kamu ingin menjadi perjaka sampai tua?”
“Enggak mau.” Delmon mengulum senyumannya mendengar kata ‘Perjaka’ yang terlontar dari ucapan Jenar.
“Kan gak mau, sana cari calon istri dan bawa ke rumah ibu sama ayah!” suruh Jenar kepada putranya.
“Sabar, Bu.”
“Asal jangan bawa wanita sewaan ya, ibu tidak suka kamu berbohong.”
“Iya ya, ibu tersayang,” jawab Delmon sedikit mengangguk.
Dari kejauhan, Delmon tak sengaja melihat seorang bocah laki-laki yang familiar menurutnya dan Delmon mendadak menghentikan kursi rodanya lagi.
“Ada apa, Delmon?” tanya Jenar pada putranya sembari keningnya berkerut bingung.
“Katanya ibu ingin aku bawa calon istri bukan?”
“Iya.”
“Emm maaf bu, aku tidak bisa mengantar ibu sampai pulang ke rumah hari ini dan mendadak aku ingin ke suatu tempat.” Mata Delmon masih tertuju pada satu objek di sana.
“Baiklah, tapi secepatnya bawa calon istri ke rumah.”
“Iya, Bu. Ibu pulang sama Noval saja.” Delmon buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku kemejanya.
“Noval segera ke sini!” Tidak butuh waktu yang lama asistennya sekaligus sekretarisnya datang tergopoh-gopoh menghampiri Delmon.
“Astaga habiskan makananmu itu.” Delmon menggeleng mengetahui Noval Nugroho—asisten sekaligus sekretarisnya itu sedang mengunyah makanan dan di kedua tangannya membawa dua kantong plastik tentunya berisi makanan.
“Delmon.” Panggil Jenar.
“Oh ya, Bu?”
“Noval kelaparan kayak gitu, tidak kamu kasih makan berapa tahun sih?” Jenar meringis menatap Noval yang tampak kelaparan saat memakan cemilan yang dibeli di kantin rumah sakit.
“Mana masih muda.” Lanjut Jenar.
“Biasa, Bu. Cari simpati.” Delmon menepuk pundak Noval keras sampai Noval membungkukkan tubuhnya.
“Bos, jangan kejam-kejam!” Suara kemayu dari mulut Noval, ingin rasanya Delmon memberi bogeman mentah ke wajah asistennya yang saat ini menyengir tanpa rasa bersalahnya dan berlindung pada Jenar.
“Aku tampar mulutmu itu!”
“Sudah, sudah Delmon. Sana pergilah! Ibu sama Noval sekarang.” Jenar melerai mereka berdua, Noval juga sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Jenar dan dialah yang memperkerjakan Noval menjadi asisten putranya.
“Okelah, Delmon pergi dulu.” Sebelum beranjak pergi, Delmon mencium tangan Jenar terlebih dahulu.
Namun Jenar yang penasaran menyuruh Noval mendorong kursinya dan mengikuti ke mana Delmon pergi.
“Ibu mau nanya, tapi jawab dengan jujur ya!” suruh Jenar pada Noval.
“Iya, Bu.”
“Delmon lagi dekat sama seseorang kah?” tanya Jenar penasaran ditambah ia melihat Delmon menghampiri bocah laki-laki yang sedang menangis di tempat duduk koridor rumah sakit.
“Iy—oh itu sama keponakan si Mbak Freya.” Noval melihat arah pandang Jenar dan paham apa yang sedang ditanyakan oleh ibu dari bosnya tersebut.
“Siapa itu?” tanya Jenar lagi.
“Jadi gini bu, kan Pak Alden menikah sama Bu Amanda nah Bu Amanda itu punya teman namanya Mbak Freya ini dan dia pegawainya Pak Alden.”
“Oh gitu, ya gak papa lagian anakku sudah kepala tiga dan belum punya anak juga. Memang umurnya berapa dan dia punya anak kah?” Jenar menyuruh Noval beranjak pergi dari karena ingin segera pulang ke rumah.
“Umurnya kalau gak salah sih sama kayak saya.”
“Muda banget? Delmon ini yang ketuaan.”
“Terus itu keponakannya, Ibu. Karena orang tuanya Dipta—keponakannya Mbak Freya itu meninggal, jadi yang mengurus semuanya itu Mbak Freya.” Noval harus menjelaskan lagi sebab Jenar juga sering mengalami lupa atau pikun di usianya ini apalagi penyakitnya yang makin membuatnya tambah lupa.
“Ah begitu, sepertinya dia wanita yang baik-baik dan mandiri karena juga mengurus adiknya.”
“Keponakannya, Bu. Haduh si ibu ini.” Noval meralat ucapan Jenar sambil menahan rasa sesalnya di hatinya. Harus ekstra sabar jika bersama Jenar.
...
“Kamu Dipta kan?” tanya Delmon seraya memegang pundak bocah laki-laki itu yang tengah bergetar karena menangis sesenggukkan.
Tangisannya tiba-tiba berhenti mungkin mendengar suaranya lantas bocah bernama Dipta Adelard itu mendongakkan wajahnya sambil tangannya yang masih memegang pipinya.
“Iya, Om.”
“Om yang mengantarkan pulang, masih ingat?” Delmon menyunggingkan senyumannya lebar.
“Masih, Om Delmon kan? Tapi kok bisa ke sini?” tanya Dipta kepo dan masih sesenggukan. Matanya memerah dan raut wajahnya pula menunjukkan rasa takut serta cemas yang dicampur adukkan.
“Iya. Om memang sedang berada di rumah sakit menemani ibu—om lagi kontrol dan tidak sengaja melihatmu di koridor. Kamu mengapa menangis sendirian di sini?” tanya Delmon khawatir.
“Tante kena pisau tangannya.”
“Pisau? Kok bisa di sini?” gumam Delmon yang kebingunan dan tak mengerti maksud dari bocah laki-laki di hadapannya itu.
Lalu pintu UGD terbuka dan seorang dokter yang masih muda itu menghampiri Dipta.
“Tante kamu sudah diobati dan sadar dari pingsannya. Kamu masuk sana. Sudah tidak apa-apa, jangan menangis.” Dokter itu berjongkok, tersenyum kecil seraya tangannya mengusap air mata Dipta yang kembali bercucuran.
“Iya, Pak doktel. Telima kasih.” Dipta mengangguk dan menerima tisu basah dari sang dokter untuk mengusap tangannya yang sedikit terkena darah tantenya.
Setelah Dipta masuk ke dalam sedangkan dokter itu kembali berdiri dan keningnya berkerut menatap sosok pria dewasa yang sepertinya mengajak Dipta mengobrol tadi.
“Bapak siapanya Freya?”
“Saya temannya,” jawab Delmon bingung dan asal mengakui kalau Freya ialah temannya.
“Oh begitu, saya juga temannya.” Dokter itu tersenyum lebar hingga memperlihatkan lesung pipitnya.
“Iya.” Delmon mengulas senyum tipis dan mengangguk. Ia tak berniat berkenalan dengan seseorang dan menginginkan orang di hadapannya itu segera beranjak pergi.
“Okelah, saya tinggal dulu. Urusi Freya dan Dipta. Jangan tinggalin mereka!” suruh dokter itu kepada Delmon sembari mengedipkan sebelah matanya lalu pergi dari hadapan Delmon.
“Ngadi-ngadi tu dokter.” Gerutu Delmon, padahal ia tak ada niatan mengurusi Freya dan Dipta. Delmon hanya sengaja lewat di sini dan mencoba meredakan tangisan Dipta yang terdengar seperti orang yang tengah tersakiti. Mungkin kalau ada orang mendengar tangisan Dipta dipastikan akan ikut menangis.
Kemudian Delmon mengintip dari jendela untuk melihat keadaan Freya, pandangannya terjatuh pada lengan Freya yang diperban begitu tebal dan wanita itu hanya tersenyum saja seolah pandai menyembunyikan rasa sakitnya di depan Dipta.
“Sepertinya dia sedang kesusahan.” Segera Delmon masuk ke dalam ruangan di mana Freya baru saja selesai diobati tadi.
“Om Delmon.” Kompak Freya dan Dipta menoleh ke arah pintu yang menampilkan sosok Delmon berdiri di ambang pintu sana.
Om?
Delmon di sini malah seperti menemani dua ponakannya, bagaimana tidak? Dua-duanya Memanggilnya dengan sebutan ‘Om”. Walau begitu Delmon merasa mereka tidak bersalah karena mereka benar menyebutkan dirinya ‘Om’. Usianya saja sangat jauh dari Freya tapi Freya tak seperti Amanda yang bisa saja memanggilnya ‘Mas’.
“Hmm?” Delmon menutup pintu dan selanjutnya mendekati ke brangkar rumah sakit.
Delmon mengangkat tubuh Dipta agar duduk di atas brangkar dan dekat dengan Freya.
“Telima kasih, Om. Telnyata om ke sini juga.”
“Om ingin tau keadaan tantemu yang katamu terkena pisau.” Pandangannya beralih ke Freya sedangkan Freya memalingkan wajahnya menghadap ke jendela yang tengah terbuka.
...