“Ngapain harus HEBOH, sih? Sudah keguguran ya sudah. Lagian, belum tentu juga itu anak kamu, Jem!”
“Mah, itu anak aku! Aku suaminya Amel! Mamah jangan ngomong sembarangan!”
“Ngomong sembarangan bagaimana sih, Jem? Sebelum nikah sama kamu saja, dia hamil di luar pernikahan terus keguguran, kemudian divonis mandul!”
“Mamah benar-benar, ya! Bila memang Mamah enggak bisa tenang, bila Mamah tetap enggak bisa menghargai Amel, lebih baik sekarang Mamah pergi. Termasuk kamu, Ti. Sori, aku enggak bisa melanjutkan hubungan kita karena istriku jauh lebih membutuhkan aku.”
“Jem, kamu akan menikahiku dan Amel tahu bahkan Amel setuju! Aku yakin kamu bisa adil karena selama ini saja, kamu melakukannya. Kamu bisa adil padaku maupun Amel. Bahkan harusnya kamu menceraikan Amel karena Amel saja awalnya memilih cerai dari kamu. ”
“Aku begitu karena aku enggak waras. Sekarang, aku enggak butuh yang lain kecuali Amel! Aku hanya butuh Amel, jadi lebih baik sekarang kalian pergi!”
Di luar sana, suara ibu Marta dan Tianka benar-benar heboh, terkesan sengaja agar Amel mendengarnya layaknya biasa. Berbeda dengan suara Jemmy yang terdengar sengaja ditahan dan dibuat selirih mungkin.
Amel melirik sinis ke arah pintu selaku sumber suara. Di sana, di depan pintu ruang rawatnya, ibu Marta datang bersama Tianka—calon menantu idamannya.
Jemmy yang setengah hari ini tetap bertahan di sisi Amel, tidak mengizinkan ibu Marta dan Tianka masuk menemui Amel. Namun andai Jemmy berani melakukannya, mengizinkan kedua wanita iblis itu masuk, Amel sungguh tak segan mencekik ketiga-tiganya tanpa terkecuali Jemmy. Iya, sungguh tak hanya ibu Marta dan Tianka yang akan Amel hajar. Karena Amel juga akan menghajar Jemmy lebih dulu sebelum Amel meremukkan seluruh tulang ibu Marta dan juga Tianka.
Hingga detik ini, meringkuk ke kiri dan benar-benar bedrest total adalah hal yang Amel lakukan. Demi menjaga keamanan sekaligus kesehatan janinnya yang nyaris keguguran setelah mengalami pendarahan hebat. Iya, Amel telah bekerja sama dengan pihak rumah sakit untuk bersandiwara demi mengelabuhi Jemmy dan semuanya.
Amel akan memanfaatkan kondisinya untuk menguasai semua simpati bahkan kepedulian Jemmy. Karena melalui Jemmy, Amel akan balas dendam. Amel akan membuat ibu Marta apalagi Tianka merasakan luka-luka yang sempat Amel rasakan. Luka-luka yang tidak bisa hilang hingga sekarang. Karena meski waktu telah membuat luka itu terlupakan, tapi luka selalu meninggalkan bekas. Luka itu tidak akan pernah benar-benar hilang, bahkan meski perjalanan waktu telah membawakan banyak kebahagiaan sekaligus cinta baru.
Sambil mengelus-elus perutnya yang memang sudah ada semacam benjolan sebesar dua kepal tangan orang dewasa, Amel yang memunggungi keberadaan pintu, masih menyimak perdebatan di depan sana. Terdengar Jemmy yang sampai menyuruh pengawalnya untuk membawa ibu Marta dan Tianka pergi secara paksa dari sana. Sepertinya, alasan Jemmy nekat melakukannya tak lain karena baik ibu Marta maupun Tianka, terus saja berisik. Kedua wanita itu mencoba menerobos masuk. Amel yang juga sangat membutuhkan ketenangan sampai naik pitam.
Dengan agak kasar Amel duduk, menatap kesal ke arah pintu. Kebetulan Jemmy baru masuk dan langsung menutup pintunya.
“Kamu pergi saja kenapa, sih? Enggak hanya mereka, tapi kamu juga wajib pergi!” omel Amel jengkel dan sampai terengah-engah.
“Harusnya kamu enggak kasih tahu mereka kalau aku ada di sini. Bukan karena aku sengaja merahasiakan keadaanku bahkan dari kedua orang tuaku. Bagaimana bila mereka nekat menyewa orang untuk membunuhku? Mereka memang sejahat itu seperti kamu!” Menahan emosi benar-benar membuat Amel kehilangan banyak stok oksigen di tubuhnya.
Jemmy terpejam pasrah. Ia melangkah tergesa menghampiri keberadaan Amel. “Tenangkan dirimu.” Ia meraih sebotol air minum dan menuntunkannya pada Amel melalui sedotan yang tersedia.
Amel mengambil alih minumannya dan bermaksud melakukannya sendiri, tapi Jemmy menahannya. Jemmy bahkan sengaja menahan kedua tangan Amel hingga mereka sama-sama menahan botol air mineral.
“Jadi, apa mau kamu?” tanya Jemmy setelah Amel selesai minum.
“Aku ingin hidup tenang.” Sebelum melanjutkan ucapannya, Amel sengaja menengadah, menatap kedua mata biru Jemmy dengan tatapan tajam. “Tanpa kalian!”
“Aku tidak bisa,” balas Jemmy merasa frustrasi.
“Melukaiku saja kamu bisa, kamu bisa dengan begitu mudah dan bahkan sengaja. Namun, ... namun kenapa untuk melepasku kamu justru tidak bisa?!” balas Amel makin emosi. Sadar emosinya akan berdampak buruk pada sang janin, Amel kembali merebahkan diri secara hati-hati.
Jemmy langsung siaga membantu, merangkul punggung Amel. Namun dengan cepat salah satu tangan Amel memukulnya. Jemmy tetap bertahan hingga Jemmy yakin, Amel merasa sakit karena terus memukulnya.
“Aku benar-benar minta maaf,” sesal Jemmy sambil mendekap punggung Amel dari samping. Kedua tangannya ada persis di bawah dagu Amel, selain ia yang menahan salah satu pundak Amel menggunakan dagunya.
Dalam diamnya, Amel yang masih merasa kesal bahkan dendam, juga menitikkan air mata. “Aku tidak akan memintamu mengatakan itu di depan orang tuaku maupun dunia. Aku tidak akan membagi kisahku yang kalian perlakukan semena-mena. Mengenai kejahatan mamahmu, mengenai perselingkuhanmu dan Tianka, serta usaha gundik itu untuk selalu bisa bersamamu dan sebisa mungkin melukaiku, menyingkirkanku dari hidupmu.”
“Katakan saja, asal kamu mau memaafkanku, asal kita bisa sama-sama lagi seperti dulu, aku siap melakukan apa pun itu.” Jemmy sungguh serius.
“Mereka yang sudah pernah berselingkuh apalagi sengaja menikkmatinya, memiliki potensi mengulangi hal yang sama sangat besar, Jem. Jangan memaksaku untuk merasakan luka yang sama!” tegas Amel.
“Mel ...!” rintih Jemmy benar-benar memohon.
“Aku akan menghubungi Mas Arden. Katakan semua penyesalanmu, katakan semua kesalahanmu dan juga kesalahan mamahmu maupun gundik itu, pada Mas Arden!” ucap Amel. Susah payah ia beranjak sekaligus keluar dari dekapan Jemmy.
Amel dapati, Jemmy yang langsung diam kebingungan. Pria berwajah rupawan yang juga mantan play boy itu langsung pucat pasi hanya karena permintaan yang Amel katakan barusan.
“Mel,” desis Jemmy memohon.
“Aku hanya minta itu, kamu pun tidak sanggup?” ucap Amel kecewa.
“Oke! Oke aku akan melakukannya! Hubungi Arden sekarang juga!” balas Jemmy sungguh-sungguh apalagi Amel masih menatapnya sarat kecewa.
Dari luar, seseorang mengetuk pintu dengan irama yang teramat santun. Suara sapaan wanita juga kemudian terdengar menyusul dan sukses mengalihkan perhatian Jemmy maupun Amel.
“Masuk!” Amel berseru sambil menahan pangkal perutnya menggunakan kedua tangan. Ia masih duduk selonjor dan itu membuatnya cukup tidak nyaman.
Jemmy sengaja mengantongi kedua tangannya sambil menunduk, menunggu petugas rumah sakit yang datang dan sepertinya semacam perawat atau petugas pengantar makanan.
“Selamat petang menuju malam, Mom. Mom makan dulu habis itu minum obat dan vitaminnya, ya. Biar Mom dan baby Mom, makin sehat,” ucap wanita berseragam hijau tua tersebut dengan sangat ramah.
Meski hanya melalui lirikan, bisa Amel pastikan di seberangnya, Jemmy langsung syok dan tidak bisa berkata-kata. Jemmy langsung memelotot tak percaya memperhatikan kebersamaan Amel dengan si petugas yang baru datang. Di mana, si wanita ramah tersebut juga menyapa Jemmy melalui senyuman.
“Bu, kenapa obatnya tambah? Tari hanya empat sama yang penguat janin, kan?” tanya Amel kebingungan menatap mangkuk kecil berisi tablet dan kapsul yang harus ia konsumsi.
Di belakang si petugas wanita, Jemmy yang seperti kebakaran jenggot sudah berdiri dan menyikapi kebersamaan dengan serius.
“Oh, iya, Mom. Ini asam folat dan memang lebih dianjurkan untuk dikonsumsi malam sehabis makan.” Setelah ia menjelaskan dan langsung dibalas anggukan paham oleh Amel berhias senyuman, ia segera undur dari sana. Tak lupa, ia juga pamit pada Jemmy melalui senyuman hangat meski ulahnya kembali tidak dibalas.
Setelah yakin petugas tadi benar-benar pergi, Jemmy langsung duduk di hadapan Amel.
“Jangan menyentuhku!” larang Amel masih dengan rencana meski jujur saja, Amel memang masih sangat jengkel pada Jemmy.
Tak bisa berkata-kata bahkan menggeragap cukup lama, dengan mata berkaca-kaca, akhirnya Jemmy bertanya, “Kenapa kamu bohong? Kenapa kamu bohong kepadaku? Dia baik-baik saja?”
“Aku berhak!” Amel menatap tajam Jemmy. Emosinya kembali pecah mengiringi gemuruh yang seketika terdengar dari dadanya. “Kamu bilang dia baik-baik saja? Dia nyaris dikuret! Siang tadi aku terus menangis dan memohon pada Tuhan agar Tuhan mau memberiku kesempatan untuk bersamanya! Dan baru saja kamu dengan seenaknya bilang dia baik-baik saja!” Amel terengah-engah. Susah payah ia mengendalikan diri. “DASAR PAPAH JAHAT!”
“Aku benar-benar minta maaf, Mel. Aku benar-benar minta maaf!” Tangis Jemmy pecah. Pria itu mendekap kedua kaki Amel. “Aku mohon maafkan aku. Aku mau kalian. Aku mau sama-sama dengan kalian. Sayang, Papah mohon, maafkan Papah!” Beberapa kali, di tengah isak pilu yang menyelimuti, Jemmy juga mencium telapak kaki Amel.
Amel membuang wajah, menepis tatapannya dari kesibukan Jemmy yang sampai detik ini masih memohon. Amel bungkam dan sengaja tak menjawab. Rencana besar tengah Amel susun untuk balas dendam. Sungguh, Amel tidak bisa hidup tenang sebelum balas dendam. Bahkan meski ia masih bisa mempertahankan janinnya.