"Ada apa, Co?" Pak Yusuf langsung mengenalinya.
"Begini lho, Pak.” Chico mulai menjelaskan. “Saya tadi, kan, terlambat. Terus saya dihukum lari keliling lapangan tujuh kali sama Pak Saipul. Nah, pas saya sampai di depan Ruang BK, saya dipanggil sama Bu Mina. Nah, terus Bu ...."
"Langsung pada intinya aja, Co!" Pak Yusuf sudah tak tahan dengan omongan Chico yang selalu panjang kali lebar dan tidak jelas juntrungannya.
Ibarat dalam perjala nan, padahal ada jalan lurus tanpa hambatan serta lebih dekat. Tapi ia malah memilih jalur yang jauh, ber kelok-kelok dan macet.
"Theo dipanggil ke ruang BK, Pak!" seru Chico akhirnya.
Anak-anak di kelas masih lanjut tertawa. Kecuali Theo. Tawanya otomatis berhenti begitu namanya disebut.
“Duh … ngapain, sih, gue dipanggil lagi? Bu Mina naksir sama gue apa gimana?” Theo langsung mencak-mencak.
"Theo … kalau ngomong dijaga, ya!” Pak Yusuf langsung menegurnya. "Sana, segera ke BK menghadap Bu Mina!”
Theo mencebik kesal. Ia dengan ogah-ogahan berdiri dan melenggang pergi. Langkah Theo menelusuri lorong-lorong panjang dengan gontai.
Ia menerka kesalahan apa lagi yang ia perbuat sehingga Bu Mina kembali memanggilnya? Bu Mina pasti hanya cari-cari kesalahan seperti biasa. Mengingat alasannya memanggil Theo selalu aneh dan mengada-ada.
Langkah Theo terhenti kala melintas di depan kantor guru. Matanya mengernyit melihat dua orang berbeda jenis kelamin yang tengah asyik bercengkerama di dalam sana. Sayup-sayup ia mendengar obrolan mereka.
"Pak Yas pasti capek banget, ya. Pak Yas benar-benar seorang pekerja keras.” Wanita itu mewarnai kata-katanya dengan senyuman terbaiknya. “Kapan-kapan boleh saya main ke rumah? Mau ketemu Namira."
Baru kali ini Theo melihat sisi lainnya. Ia … wanitanya.
Guru Ekonomi sekaligus Akuntansi yang selalu Theo kagumi. Berkat kekagumannya pada wanita itu, Theo menaruh perhatian ekstra pada dua pelajaran yang diajarkan oleh Bu Alila, demi mendapat pengakuan lebih dari yang bersangkutan. Theo rela melakukan apa pun agar di-notice beliau.
Perih rasanya melihat wanita idamannya bercengkerama dengan orang yang paling ia benci. Demi Tuhan, dari sekian banyak guru lelaki di sekolah ini, kenapa harus Yas?
"Boleh. Tapi nanti saja kalau libur, ya, Bu. Soalnya hari-hari biasa jarang ada orang di rumah,” jawab Yas.
"Ya, nanti saya konfirmasi dulu sama Pak Yas, deh, sebelum ke sana. Kali aja Pak Yas mau masakin apaaaaaaa gitu buat saya." Bu Alila mengakhiri ucapannya dengan tawa renyah.
"Saya nggak bisa masak, Bu Al. Cuman bisa yang sederhana-sederhana aja."
Bu Alila semakin antusias. Memanfaatkan jawaban rendah hati Yas untuk semakin mendekatkan diri dengan lelaki itu.
"Wah … kebetulan banget … kemampuan masak saya juga payah. Juga cuman bisa masak yang sederhana-sederhana aja. Kalo gitu nanti saya bawa bahan dari rumah, terus kita masak bareng di rumah Pak Yas."
Jemari Theo mengepal. Gemuruh di dadanya semakin mengeruh.
Perlahan Theo melenggang pergi. Lebih baik diceramahi Bu Mina di ruang BK, daripada bertahan di sini dan makan hati.
***
"Siapa yang ngambil tepung dari gudang?" tanya Yas pada beberapa karyawan bagian produksi.
"Itu si Lintang, Pak," celetuk salah satu dari mereka.
Yas melirik lelaki seumurannya, yang berdiri agak jauh. Ternyata Lintang juga tengah menatapnya. Yas melangkah menghampirinya. "Kenapa kamu ngambil tepung tanpa sepengetahuan saya?"
"Tepung sudah mau habis, tapi Bapak belum ngasih perintah." Lintang menjawab dengan menatap tajam Yas, nada bicaranya pun dingin.
"Tepung masih ada tiga sak. Kamu nggak bisa ngambil apa pun dari gudang tanpa otorisasi saya. Kamu pasti sudah tahu, kan?"
Lintang hanya diam. Semenjak kedatangan Yas, Lintang tak pernah suka padanya. Lintang menganggap Yas sebagai musuh.
Yas bisa mengerti. Ia mendengar kasak-kusuk, Lintang ini adalah kandidat kuat yang akan dijadikan Manajer Produksi—dulu sebelum Yas datang. Dan justru Yas yang direkrut Junot.
Inilah yang ditakuti Yas. Spekulasi.
"Ya sudah, lain kali jangan diulang, ya! Tunggu otorisasi saya kalau mau ambil barang." Yas memutuskan untuk tak memperpanjang masalah ini.
Lintang melangkah pergi masih dengan menunduk, tak menatap Yas sama sekali. Yas memaklumi hal itu. Jika saja ia berada di posisi Lintang, mungkin ia akan merasakan kekesalan yang sama.
Tengah malam, shift Yas akhirnya selesai. Ia menggeliat hingga tulang-tulangnya berbunyi. Baru juga dua minggu ia menjalankan seluruh aktivitas baru yang menguras tenaga.
Bangun tidur rutin jam empat pagi, membawa Namira ke daycare, menyiapkan sarapan, membangunkan Elang dan Theo, bersih-bersih rumah, mengajar mulai jam tujuh pagi sampai jam empat sore, menyiapkan makan malam, menjadi Manajer Produksi dari jam enam sampai jam dua belas malam, menjemput Namira, menidurkan Namira, kemudian baru ia bisa istirahat.
Kesibukan Yas akan bertambah jika putri sematawayangnya sedang rewel. Ia harus membawanya keluar rumah, agar tidak mengganggu istirahat Elang dan Theo.
Yas mengikuti nanny yang mengantarkannya pada Namira. Nanny itu masuk ke ruangan paling ujung bertulisankan '0-1 years old'. Yas menunggu hingga nanny itu keluar, membawa Namira, menyerahkannya pada sang ayah. Senyum Yas merekah. Namira balik tersenyum padanya.
"Kamu kok genit banget, sih, senyum-senyum gitu!" goda Yas. Namira malah tertawa dibuatnya. Seakan mengerti apa yang dikatakan ayahnya.
"Dia tadi sebenarnya sudah tidur lho, Pak," lapor si nanny.
Yas mengangguk, kemudian berbicara pada putrinya lagi. "Kenapa kamu selalu bangun pas Ayah jemput, hm?"
Kiriman bonus dari Tuhan mungkin. Setiap hari Namira selalu bangun saat dijemput oleh Yas. Dan ajaibnya anak ini tidak menangis. Meskipun Namira sebenarnya hanya menunda waktu menangisnya menjadi nanti—saat menjelang pagi.
Tapi tetap saja, semua rasa lelah Yas seperti terbayar oleh sambutan dari Namira seperti sekarang ini.
***
Bunyi alarm memekakan telinga. Yas berusaha membuka mata. Tak ingin kembali tertidur, ia segera memaksakan diri untuk duduk. Telapak tangannya bergerak menampar pipinya sendiri, agar nyawanya cepat kembali 100%.
Yas langsung berbalik ke kamar Theo. Ia memukul p****t panci dengan sendok sayur sampai tangannya lelah. Theo memang sangat sulit dibangunkan, tapi pagi ini yang paling parah. Hampir 15 menit, tapi Theo belum membuka pintu kamar.
Merasa aneh, jemari Yas terulur memutar knop. Tumben pintunya tidak dikunci. Mata Yas membulat begitu tahu kamar Theo kosong. Elang di belakangnya juga ikut kaget.
"Adik kamu ke mana, Lang?" tanya Yas segera. Ronanya menyiratkan kepanikan.
"Gue nggak tahu! Habis makan malem gue langsung masuk kamar," jawab Elang.
"Kira-kira kamu tahu nggak dia pergi ke mana?”