Ketan Kompak

1003 Kata
“Bagus, deh, kalo bayi itu udah nggak ada. Jadi malem ini gue bisa tidur nyenyak tanpa gangguan suara tangisan yang lebih nyeremin dibanding ketawa Suzana waktu jadi Kuntilanak!” Kenapa Yas repot-repot mengurus kerapian kamarnya? Bicara soal Yas ... ia pasti punya tujuan khusus dengan tiba-tiba pulang dan bersikap sok peduli. sehari, ia sudah berani menggadaikan semua mobil. Untuk bertahan hidup sementara katanya? Untuk tabungan katanya? Jumlah uang yang didapat dari pegadaian pasti bernilai miliaran. Apa iya tabungan harus sebanyak itu? Lagipula bukannya justru lebih baik jika uang itu diinvestasikan dalam bentuk mobil? Audi miliknya dan milik Elang, juga Mercedes Benz milik Papa, tidak akan turun harga terlalu banyak seiring berjalannya waktu. Sebaliknya kalau sudah diuangkan, pasti akan cepat habis. Semua kebaikan Yas, termasuk memberi mereka makanan sehat dan membersihkan rumah—semuanya pasti hanya permainan belaka. Maaf saja. Theo bukan anak kecil yang mudah dibodohi. Ia bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang busuk. Jika Yas bisa membuat permainan seperti itu, Theo juga bisa. Sangat bisa. *** Yas menunggu bersama calon pekerja lain. Sekretaris cantik itu memanggil namanya. Yas segera mengikutinya menuju ruangan Junot. Lelaki yang merupakan adik bungsu dari almarhum Papa itu menyambut kedatangannya dengan hangat. "Oom kaget banget waktu lihat CV kamu. Tanpa pikir panjang, Oom nggak ragu buat rekrut kamu jadi Manajer Produksi yang baru." Junot menjelaskan dengan segenap wibawanya. Lelaki 32 tahun itu tersenyum hangat. Senyum Junot membuat Yas merindukan Papa. Karena senyum keduanya sangat mirip. Kini Yas terjebak di antara dua fokus yang membuatnya mematung di tempat. Senyuman Junot yang mirip Papa, dan juga sebuah fakta yang baru saja Junot sampaikan. Yas tidak tahu harus senang atau justru sebaliknya. "Kok reaksi kamu gitu? Kenapa? Jabatannya kurang tinggi?" Junot kebingungan. Yas gelagapan. "Ng-nggak gitu, Oom, eh, Pak. Saya ...." Junot segera menyelanya seraya terkekeh. "Panggil Oom aja, lah! Toh cuman kita berdua ini." "Iya, Oom. Bukan jabatannya kurang tinggi. Justru itu melebihi ekspektasi aku. Aku cuman takut kalau orang-orang pada anggep Oom melakukan KKN. Soalnya aku ini, kan ...." "Jangan khawatirin apa kata orang!" Junot menyela lagi. Yas tentu tak lupa, memang seperti ini tabiat pamannya. Selalu menyela perkataan orang yang menurutnya kurang tepat. Tapi meskipun begitu, Junot tetaplah salah satu orang terbaik yang pernah Yas kenal. "Oom pilih kamu karena latar belakang pendidikan, dan juga kamu orangnya pekerja keras. Bukan karena kamu keponakan Oom. Orang-orang pasti berspekulasi. Tapi mereka bakal langsung diem kalau udah lihat kinerja kamu." Mendengar penjelasan itu, Yas bisa tersenyum. "Terima kasih banyak, Oom." "Oke. Kamu mulai kerja besok. Shift-nya udah jelas, ya. Soalnya pagi sampai sore, kan, kamu ngajar." "Iya, Oom." "Habis ini langsung jemput Nami?" "Iya. Kasihan dari pagi dia di sana. Lagian saya juga udah kangen. Biasanya nggak pernah pisah lama-lama." Junot tertawa. "Wajar, kok. Namanya juga seorang ayah. Kapan-kapan, deh, Oom main ke rumah. Sekalian nengokin Elang sama Theo. Kamu yang sabar aja sama tingkah laku mereka! Cepat atau lambat pasti mereka bakal ngerti." "Iya, Oom. Terima kasih." Yas memang mencari pekerjaan lagi agar bisa menambah pendapatan. Bukan tanpa alasan Yas memilih tempat ini. Karena letaknya hanya sekitar 300 meter dari rumah. Sehingga Yas bisa lebih fleksibel dalam melakukan kegiatan sehari-hari, yang mulai sekarang akan menjadi sangat penuh dan sibuk. Pabrik Junot ini bergerak di bidang bakery. Yas tak berespektasi tinggi sebelumnya, apa pun jabatan yang akan ia dapat, tak jadi masalah. Tapi Junot memberinya jabatan yang jauh di atas harapan. Junot … lelaki itu adalah satu-satunya orang yang mengetahui rahasia Yas. Ya, satu-satunya … selain almarhum Papa. *** Yang terjadi malam kemarin terulang lagi. Theo sibuk menutup telinganya karena suara tangis Namira. Elang tak terlalu terganggu, ia cukup tenang karena sudah menemukan destinasi aman di kamar mandi. Ia bisa melakukan trading harian, sekaligus mengerjakan tugas dengan tenang. Sedangkan Theo? Ia tidak melakukan trading, tidak juga mengerjakan tugas. Ia hanya ingin tidur dengan tenang. Apa ia harus tidur di kamar mandi? Padahal tadi ia sudah cukup senang karena bayi itu tidak ada. Lalu kenapa sekarang jadi ada? Berarti bayi itu benar-benar anak Yas, dong! Theo tidak tahan lagi. Ia melompat dari kasur dan bergegas keluar kamar. Terlihat Yas yang sedang menggendong Namira menuruni tangga. Theo mematung di tempat. Memperhatikan Yas yang membawa bayi itu keluar rumah. Entah ke mana mereka. Yang jelas suara tangisan sudah tak terlalu terdengar. Theo mengedikkan bahu. Baguslah kalau Yas peka bahwa tangisan Namira sangatlah mengganggu. *** Apalagi Yas menitipkannya dalam kurun waktu lama. Yas bilang mereka harus hemat. Tapi ia sendiri buang-buang uang. Elang dan Theo juga tahu Yas bekerja di pabrik Junot. Tapi apa gunanya punya pekerjaan banyak, kalau biaya penitipan anaknya saja mahal? Sama saja bohong. Semua semakin jelas. Yas yang sok menjadi pekerja keras dan sok baik, hanyalah kamuflase. "Kenapa lantainya kotor banget? Siapa yang piket nyapu sama ngepel minggu ini?" tanya Yas. Baik Elang atau Theo tak berminat menjawab. Yas berjalan menuju ke kulkas, di pintunya tertempel jadwal piket untuk menyapu dan mengepel rumah. Semuanya dapat giliran masing-masing seminggu. "Theo kamu, nih, yang waktunya piket!" ucap Yas setelah melihat daftar piket hari ini. Theo menggeleng cepat. "Gue udah capek sama urusan sekolah, ya. Nggak mau gue disuruh ngurusin rumah juga." "Gue idem." Elang mengacungkan tangan. "Terus siapa yang disuruh beres-beres rumah?” "Sewa pembantu aja, lah! Toh lo juga udah kerja,” jawab Elang enteng. “Kerjaan lo ada dua pula," tambah Theo. "Gaji Mas tuh cuman cukup buat biaya sekolah kalian, biaya makan, sama bayar listrik. Buat susunya Nami aja Mas harus kerja lagi di tempat Oom Junot." "Terus duit hasil gadaiin mobil buat apa? Udah itu aja buat bayar pembantu! Daripada capek-capek bikin jadwal kayak gitu." "Uangnya buat nyicil hutangnya Papa. Sisanya ditabung. Kan Mas juga udah bilang waktu itu ke kalian. Lagian Mas juga mau bi- ...." Theo menyela. "Ck … omongan lo nggak ada yang bisa dipegang! Semakin sering lihat muka lo, apalagi sering denger omongan busuk lo, semakin bikin gue pengen muntah. Apa pun yang terjadi, gue ogah jalanin jadwal piket bego lo itu." "Gue idem lagi." Elang mengacungkan tangan lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN