Setelah acara makan-makan bersama keluarga, aku dan Yuki gagal pergi ke kantor. Kami berdua terdampat di ruang keluarga mendengar ceramah dari Papa dan Mama. Kami, terutama Yuki dia sempat menolak untuk libur, tapi karena Mama merengek dan Papa menelpon ke kantor Yuki yang baru kali ini aku juga tahu jika kantor itu milik kakek yang di kelola oleh Om Bagaskara, sehingga denga sekilas petikan jari saja Om mengizinkan Yuki izin kantor. Apalagi setelah om mendengar jika Yuki adalah calon menantu keluarga.
"Gimana? " suara Papa. Beliau tidak menyebutkan nama siapa yang hendak beliau tanya, tapi dari sorot matanya aku tahu. Pertanyaan Papa barusan di tujukan pada siapa.
"Gimana apanya, Pa? " aku balas bertanya pada beliau, pura-pura tidak tahu maksud, tujuannya.
Papa mencari posisi duduk yang nyaman. "Hubungan kalian, kami para orangtua sudah ingin menimang cucu. Apa kalian nyaman dengan hubungan kalian sekarang?"
Bagiku pertanyaan Papa jauh lebih sulit dibanding dengan soal ujian sekolah ataupun ujian pendadaran waktu kuliah dulu. Aku melirik kearah Yuki, dia hanya diam malahan dia juga menatapku seolah berkata kamu aja yang jawab, kamu kan yang nggak jelas, bukan aku....!!! Hufttt aku menghembuslan nafas, mengulur waktu.
"Mama udah siap lho sayang nganterin ke rumah Yuki untuk meminang Yuki ke orangtuanya."
Belum sampai aku mengucapkan jawaban, Mama ikut-ikutan meninpali bikin Aku makin pusing. Jujur aku belum punya jawaban untuk menjawab pertanyaan dari orangtua masalah ini, hatiku masih terombang-ambing.
"Biar nanti kita berdua yang bahas, Tan, Om." Akhirnya Yuki bersuara.
"Lho kenapa?" tanya Mama penasaran, nggak cuma Mama aja tetapi aku juga.
"Emmm nggak apa Tan, biar aku sama Al yang menentukan. Kalau ada kabar bagus nanti kita berdua juga ngomong ke keluarga." Ok kali ini aku mengangguk, menyetujui ucpan Yuki.
??
Mereka, Yuki dan Al kini sudah berada di jalanan menuju sebuah tempat belanja. Sebelum mengantar Yuki pulang, Al sengaja mengajak Yuki untuk membeli beberapa jenis makanan buat Ibu Yuki di rumah. Awalnya Yuki menolak, tapi Al tetap ngotot. Kata Al biar sesekali belanja buat calon mertua.
"Makasih ya.. " kata Al, dia memelankan laju kemudi.
"Buat apa? "
"Buat tadi, kamu sudah menyelamatkan nyawa ku dari Papa dan Mama. "
"Sebetulnya bukan hanya menyelamatkanmu tetapi lebih tepatnya menyelamatkan diriku sendiri, Al. "
Al menepikan mobilnya secara tiba-tiba, beruntung jalanan sedikit sepi sehingga tidak kena maki orang.
"Maksud kamu?" Tanya Al, ia benar-benar tak tahu maksud perkataan Yuki barusan.
"Yang ditanya sama Mama dan Papa kan bukan hanya kamu, yapi aku juga. Kamu tenang aja Al.... " Yuki menatap manik mata Al dalam. "Aku nggak menuntut apapun dari hubungan kita ini, aku masih sadar diri. Jadi jangan terbebani dengan hubungan kita dan ucapan kedua orangtuamu tadi. "
Diam, keduanya terdiam saat Yuki selesai bicara. Dalam hati Yuki mengumpat keras, kenapa justru kalimat itu yang ia keluarkan. Bukankah selama ini dia minta kejelasan hubungan. Kenapa saat hubungan mereka sudah membaik Yuki justru bersikap sebaliknya.
Disisi sebelah Yuki juga ada hati yang sedang berkecamuk, Al tak menyangka Yuki akan kembali mendebat dan mengucapkan kalimat pasrah barusan. Al berpikir jika Yuki pasti akan lebih menuntut atau meminta penjelasan tapi kenapa sekarang Yuki begitu pasrah dengan keadaan. Apa dia sudah lelah menjalani hubungan ini atau bagaimana. Lalu apa arti pembahasan mereka semalam? Al menenggelamkan kepala di atas benda berbentuk bundar itu selama beberapa saat untuk menerima dan mencerna baik-baik.
Setelah dirasa susana keduanya membaik, Al melanjutkan perjalanan menuju tempat belanja. Bagaimanapun niat awal tak boleh gagal hanya gara-gara masalah seperti tadi yang seharusnya tak di besar-besarkan.
"Mau beli apa buat Ibu?" Tanya Yuki sesampainya mereka berdua di salah satu tempat belanja. Yuki sengaja bertanya menghilangkan rasa canggung diantara dia dan juga Al.
"Aku mau beli buah dan beberapa sayuran buat Ibu, terutama kesukaan kalian dan juga aku. "
Kesukaan aku? Kesukaan Al maksutnya? Kenapa harus membeli kesukaan dia juga, apa dia mau makan di rumah ?
Kening Yuki berlipat, Al yang melihatnya terkekeh geli. Sontak tangan Al mendarat untuk menghapus lipatan kerutan itu.
"Nggak usah mikir sampai segitunya juga kali. Itu kode buat kamu supaya bisa masakin aku setiap hari. "
"Makanya jadi suami aku dulu biar aku masakin tiap hari. " goda Yuki tak mau kalah.
"Ya udah, ayo besok kita nikah!"
"Kamu pikir nikah gampang!"
"Lha tadi katanya mau nikah, sekarang diajakin nikah nggak mau. Kamu tuh maunya gimana? "
"Buang dulu mantan sama gebetan-gebetan kamu, baru aku mau nikah sama kamu. "
Buang, kamu pikir sampah harus dibuang. Gumam Yuki merutuki mulutnya.
"Oke, tunggu aja."
Mata Yuki membelalak tak menyangka kalau Al akan menjawab seperti demikian.
Kemudian keduanya berkeliling untuk menyingkat waktu yang sudah terbuang. Rupanya Al betulan akan ucapannya. Ia membeli bahan makanan kesukaan keluarga Yuki dan juga kesukaan Al.
Siap siap kamu Ki buat nganterin masakan ke tempat calon suami
"Aku mau kesana sebentar, " Pamit Yuki. Dia menunjuj kearah etalase yang berisi makanan ringan. Al mengangguk mengizinkan.
Mereka berpisah untuk beberapa menit waktu, sibuk dengan tujuan masing-masing. Yuki hendak mengambil kripik kentang bergambar kingkong, tapi sudah ada tangan tang lebih dulu mengambilkan.
"But wanita yang paling cantik. " ucap laki-laki bertubuh kekar kearah Yuki.
Yuki belum menerima snake tersebut, dia justru terpana memandang laki-laki yang kini berdiri dihadapan dia. Laki-laki sudah lama tak ia jumpai, laki-laki yang pernah mengisi disetiap harinya.
"Kakak.... " panggil Yuki kemudian berhambur kepelukan laki-laki tersebut.
"Miss u dek, "
"Miss u toooooo..." bisik Yuki lirih.
"Udah donk pelukannya, malu nih dilihat orang " Kata Stefan tepat di telinga Yuki.
Yupsss laki-laki yang kini ada dalam pelukan Yuki adalah Stefan. Tetangga rumah Yuki yang sudah dianggap sebagai kakak oleh Yuki sejak ia kecil. Mereka lama tak berjumpa karena kepergian Stefan ke kota lain untuk melanjutkan studi dan bekerja disana. Stefan tak pernah pulang karena disana juga ada keluarga dari sang Mama yaitu nenek dan kakek tercinta, mereka tinggal bertiga di sebuah kota. Sebenarnya Stefan bisa saja pulang ke Jakarta, namun waktu seolah tak mengharapkan itu.
"Kakak nggak kangen sama aku apa? Kenapa nggak pernah nengok Jakarta ? Kenapa kakak seolah menghilang padahal kita dekat?! " cecar Yuki, membuat Stefan tersenyum geli.
Stefan mengacak rambut Yuki, sebelum akhirnya kembali memeluk adik, namun tanpa ikatan darah.
Al menunggu Yuki di depan kasir, namun yang di tunggu tak kunjung datang.
Kemana wanita itu pergi, nggak lucu kalau dia nyasar hanya gara-gara nyari makanan kan? Sepertinya aku benar-benar harus mencari Yuki.
"Mba, saya nitip ini dulu ya? Mau cari calon istri saya dulu. "
Al menitipkan barang yang sudah dibayarkan ke kasir. Dia mencari ke tempat dimana Yuki pamitan tadi, tapi orang yang dicari tidak ada. Al terus berkeliling hingga matanya memicing ketika melihat sosok yang dicari sedang tertawa lepas bersama seorang laki-laki. Hati Al memanas, karena Al tak pernah melihat Yuki tertawa seperti apa yang ia lihat sekarang saat berdama dirinya. Ada rasa tak rela karena bukan dirinya yang ada bersama Yuki saat ini.
Kenapa seperti ini rasanya kala melihat dia bersama yang lain, meski hanya tertawa bersama. Apa dia juga akan tertawa selepas itu kala bersamaku.
*****