Rudi melotot ke arah Rima, “Kamu tidak merasa bersalah sama sekali dengan membuat saya tidak bisa pulang ke rumah dan kamu bilang, saya senang kalau ketangkap orang kampung dan dinikahkan dengan kamu?”
“Kamu salah besar dengan berpikir seperti itu, saya sama sekali tidak suka dengan wanita jahat seperti dirimu dan kamu juga wanita terakhir yang ada di muka bumi ini, yang akan saya pilih. Dan hal itu tidak akan saya lakukan, karena saya sudah mempunyai istri yang saya cintai.”
Apakah ini tantangan, Pak?, karena saya suka tantangan dan akan saya buat Bapak bertekuk lutut!”
Rudi menggelengkan kepalanya dan berkata, “Kamu sudah gila!, akan saya buat kamu dipecat dari perusahaan ini.”
“Dan sebagai balasan, kalau saya dipecat, akan saya buat Bapak jatuh bersama dengan saya. Tak, ‘kan, mau saya jatuh sendirian,” sahut Rima tegas.
Rima kemudian menarik kerah kemeja Rudi dan dibenarkanya dasi pria itu yang sedikit miring. Ia lalu memberikan ciuman singkat di sudut bibir Rudi, “Apa Bapak suka dengan wangi parfum yang saya semprotkan ke kemeja Bapak? dan semoga saja wangi parfum saya kali ini menempel di badan Bapak,” bisik Rima.
“Karena sekarang kita sudah dekat, kalau kita hanya berdua seperti ini saja, akan saya ubah panggilan Bapak menjadi Mas.”
Rima kemudian meninggalkan Rudi yang terpaku memandang ke arahnya. sepertinya Rudi terlalu terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Rima, sehingga ia hanya bisa terdiam saja dan tidak menjawab apa yang dikatakan oleh wanita itu.
Rudi kemudian tersadar dan dilihatnya jam tangannya, ia menjadi terkejut. Sudah lewat 30 menit dari waktu jam makan siangnya. Kalau ia membatalkan makan siang, sama saja dengan dirinya menambah masalah yang belum selesai.
Ia juga menghirup bau badannya dan benar saja, samar-samar dapat diciumnya aroma parfum yang dikenakan oleh Rima menempel di tubuhnya. Memang sialan wanita itu, tetapi memang salahnya juga yang sudah memanggilnya untuk datang ke ruangannya, sementara ia sendiri sudah berjanji akan pulang untuk makan siang bersama dengan istrinya.
Rudi pun ke luar dari ruang kerjanya dengan raut wajah dingin, karena marah dan saat ia melewati Rima, dilihatnya wanita itu dengan santainya menyantap makan siangnya.
“Tunggu Pak!” panggil Rima.
Rudi pun menghentikan langkahnya dan ditunggunya Rima yang berjalan mendekat ke arahnya. “Ini Pak!, parfum dengan aroma yang sama dengan yang saya pakai, biar istri bapak tidak curiga. Selain itu, juga biar kalau Bapak kangen dengan saya, cukup dengan mencium aroma parfum itu untuk mewakili kehadiran saya.”
“Betewe, saya terlalu kaku, aku sepertinya lebih akrab untuk kita berdua. Jangan lupa, nanti sampaikan salam saya untuk istri Mas Rudi.”
Rudi mengepalkan kedua tangannya dan giginya pun berbunyi gemeretak, saking emosinya ia dengan Rima. Sang pembuat onar justru tersenyum dan dengan santainya kembali ke tempatnya semula untuk melanjutkan makan siangnya.
Harus Rudi akui, pemberian parfum dari Rima, sedikit banyak membantu ia memecahkan masalah parfum yang menempel di tubuhnya. Dengan terburu, Rudi pun menuju parkiran, di mana mobilnya berada.
Begitu sudah duduk di depan jok kemudi, ia pun membuka goodie bag yang diberikan oleh Rima. Memang benar isinya satu botol parfum dengan aroma yang khas dan tentu saja harganya pun tidak murah.
Dilihatnya ada sebuah kartu ucapan, dengan tulisan, “Wangi parfum ini, mewakili diriku, yang tak selalu bisa hadir di dekatmu. Aroma wanginya kuharap membuatmu selalu teringat denganku yang akan selalu mengingatmu. Dengan penuh rasa sayang dan rindu…
Rudi tersenyum membaca isi kartu itu, sebagai lelaki ia merasa tersanjung mendapatkan ucapan semanis itu, karena jujur saja setelah beberapa tahun menikah. Ia dan istrinya sudah jarang bertukar kalimat mesra.
Parfum dan kartu ucapan dari Rima, membantunya untuk memecahkan masalahnya, karena datang terlalu terlambat untuk memenuhi janji makan siang di rumah bersama istrinya.
Sementara itu, Mona istri Rudi duduk dengan gelisah melihat ke arah jam dingin. Sudah lewat waktu kedatangan Rudi untuk makan siang bersama. Ia sudah tidak mengharapkan lagi, suaminya datang untuk makan siang di rumah.
Mona merasa sedih, sudah dua kali suaminya tidak menepati janjinya. Dan kali ini, alasan apakah yang akan dipakainya, kalau ia sekali lagi membatalkan makan siang di rumah.
Baru saja Mona, hendak makan siang sendirian. Didengarnya deru mesin mobil memasuki halaman rumah. Rudi turun dari mobilnya dan dengan langkah kakinya yang panjang, ia pun menuju pintu rumah dan membukanya dengan perlahan.
Dengan senyum lebar, meski sedikit gugup, takut dan was-was, istrinya akan kembali mencurigainya dan menuduhnya.
“Maaf, aku sedikit terlambat datang untuk makan siang kita. Tadi aku singgah sebentar untuk membelikan mu ini,” kata Rudi, sambil menyerahkan buket bunga mawar dan juga goodie bag berisikan parfum.
Rudi mencium pipi istrinya sekilas, “Semoga kamu suka dengan wangi parfumnya karena kamu tadi pagi tidak keberatan dengan contoh aromanya.” Dalam hatinya, Rudi marah kepada Rima yang sudah membuatnya berbohong kepada istrinya.
Mona tersenyum bahagia, ia tidak menyangka alasan keterlambatan suaminya datang untuk makan siang, semanis ini. Bagaimana ia bisa marah lama-lama kepada suaminya.
Dipeluknya suaminya dengan rasa bahagia, “Terima kasih untuk hadiahnya, Seharusnya aku yang memberikan Mas hadiah, sebagai kado selamat ulang tahun,” kata Mona.
Rudi membalas pelukan istrinya, tadinya ia yang mengutuk Rima, sekarang ia dalam hatinya mengucapkan terima kasih kepadanya.
Pasangan suami istri itupun kemudian masuk ke dalam rumah dan menikmati makan siang mereka. Rudi, sebelumnya sudah menghubungi asistennya, kalau ia akan datang terlambat kembali ke kantor.
Mereka berdua menikmati makan siang yang dimasak oleh Mona dengan nikmatnya. Hilang sudah rasa was-was Rudi, kalau istrinya masih marah dan akan bertambah marah. Ia berhutang terima kasih kepada Rima, tetapi ia tidak akan mengatakannya. karena hanya membuat wanita besar kepala saja. Lagipula, ia tidak tahu apa yang akan direncanakan oleh wanita itu.
Selesai makan dan mengistirahatkan dirinya sebentar, Rudi pun berpamitan kepada istrinya untuk kembali ke kantor. Dengan suasana hati yang bahagia, ia menjalankan mobilnya menuju ke kantor.
Sesampainya di kantor, Rudi pun menuju ruangannya dan pada saat ia melewati meja Rima, dengan tidak tahu malunya wanita itu mengedipkan sebelah matanya ke arah Rudi.
Untuk menutupi rasa tersipu malu karena ulah Rima, Rudi melotot ke arah wanita itu dan dengan dinginnya mengingatkan kepada Rima untuk bekerja dengan benar.
Duduk di ruang kerjanya, Rudi merasakan perasaan bahagia dan juga tersanjung dengan apa yang dilakukan oleh Rima. Lelaki mana yang tidak akan luluh jika diberikan perhatian, bukan?. Begitu juga dengan Rudi yang mulai merasa senang dengan perhatian yang diberikan oleh Rima.
Rudi tidak bisa berlama-lama mengingat Rima, karena tumpukan berkas yang ada di mejanya lebih menuntut perhatian. Ia tidak mau membuat kesalahan dan dipecat, karena di masa sekarang ini susah untuk mencari pekerjaan. Terlebih lagi, kalau alasannya berhenti bekerja. karena dipecat.
Rima yang duduk di depan meja kerjanya merasa senang, kembali berhasil menggoda Rudi. Sedikit demi sedikit pria itu akan jatuh ke dalam pesonanya. Tidak akan ada yang bisa menolak dirinya, terutama sekali Rudi, pria yang menjadi targetnya.
Menjelang jam pulang kerja, Rima bangkit dari duduknya dan diketuknya pintu ruang kerja Rudi. Setelah dipersilakan untuk masuk, ia pun masuk dan duduk di hadapan Rudi. Matanya yang indah, dengan berani menatap Rudi, tidak berkedip. Sehingga membuat pria itu mengalihkan pandangannya.
Rudi merasa kesal pada dirinya sendiri, kenapa ia merasa tidak sanggup menatap mata Rima. Bukankah, seharusnya wanita ini yang segan dan merasa malu kepadanya, kenapa justru dirinya yang harus merasa malu kepadanya.
“Seperti yang kita berdua ketahui, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, dengan terpaksa, aku tadi malam ke luar dari rumahku. Dan pagi ini, aku dengan terpaksa juga, aku pergi ke kantor dengan nebeng mobil orang lain.”
“Sekarang, Mas Rudi harus bertanggung jawab mengantarkan ku pulang ke rumah dan aku tidak terima penolakan, kalau tidak, foto Mas Rudi yang tertidur di rumahku dengan memeluk diriku akan tersebar di kantor ini dan sampai ke telinga istri Mas Rudi.”
Rudi melotot ke arah Rima, “Aku tidak percaya kalau aku sempat tidur memeluk dirimu,” sahut Rudi dingin.
“Jangan bertaruh denganku, Mas, karena Mas tidak akan pernah menang. Tetapi untuk meyakinkan Mas Rudi, kalau aku tidak bermain-main, baiklah akan ku perlihatkan.”
Rima membuka ponselnya dan melihat koleksi fotonya di galeri, begitu ditemukannya apa yang ia cari. Ia pun memperlihatkannya ke arah Rudi, sambil tersenyum sinis, “Sekarang katakan kepadaku, kalau aku hanya berbohong saja kepada Mas Rudi.”
Rudi menatap tidak percaya ke arah layar ponsel Rima yang memperlihatkan dirinya sedang memeluk Rima dan dapat dilihatnya, tangannya melingkar dengan mesra di perut Rima.
“Bagaimana bisa?, sialan kau Rima!, kenapa kau melakukannya?”
“Aku tidak berniat jahat, kok. Hanya saja, aku merasa nyaman bersama dengan Mas Rudi, meskipun aku tahu Mas Rudi sudah memiliki istri, aku mau menjadi teman sekaligus sahabat Mas, hanya itu saja kok, mau ku dan sebagai seorang sahabat, wajar bukan?, kalau aku minta tolong untuk diantarkan pulang.”
Rudi menarik napasnya, ia merasa lelah dan kalah ketika berdebat dengan Rima, “Baiklah, aku akan mengantarkan kamu untuk pulang. Kau tunggu saya di parkiran dan jangan sampai ada yang melihatmu.”
Rima mengacungkan jempolnya ke arah Rudi, “Siap, bos ku!” Ia pun ke luar dari ruangan Rudi, dengan senyum yang terbit di bibirnya. Membuat temannya yang berada di ruangan yang sama dengannya merasa penasaran.
“Ada apa yang terjadi?, kamu kelihatan bahagia sekali!” tanya teman Rima.
Rima menoleh ke arah temannya, dengan senyuman tidak lepas dari bibirnya. ia pun berkata, “Aku tadi minta ijin kepada bos, besok tidak masuk kerja, karena aku akan memperingati meninggalnya saudari kembar ku," sahut Rima, tidak sepenuhnya jujur
Teman Rima merasa tidak nyaman telah bertanya, karena dilihatnya mata Rima yang berkaca-kaca. “Aku minta maaf sudah bertanya. Aku tidak tahu, kalau kau mempunyai saudari kembar yang sudah meninggal dunia.”
“Tidak mengapa, kau memang tidak mengetahuinya,” sahut Rima dan kembali duduk di tempatnya, hingga akhirnya jam kerja pun berakhir.
Rima dengan sabar menunggu teman-temannya ke luar dari ruangan mereka, setelahnya barulah ia ke luar dari ruang kerjanya menuju ke parkiran.
Dengan menggenggam kunci mobil Rudi, yang tadi diberikan kepadanya. Ia pun dengan cepat mematikan alarm mobil Rudi dan masuk ke dalamnya, untuk duduk di depan di samping tempat duduk pengemudi.
Tak lama kemudian, Rudi pun masuk ke dalam mobil dan dinyalakannya mesin mobil ke arah jalan yang menuju rumah Rima. “Entah kenapa, aku mau saja menuruti permintaanmu, yang membuatku bisa berada dalam masalah besar, apabila istriku mengetahuinya. Ku pegang janjimu, agar ini semua tidak sampai ke telinga istriku. Aku mencintainya dan aku tidak mau menyakiti hati istriku.”
Dalam hatinya, Rima mengutuk Rudi dan istrinya yang sudah menyakiti hati saudara kembarnya. “Kurasa kau salah paham dan salah pengertian, aku sama sekali tidak pernah berjanji untuk tidak mengatakan kepada istrimu apa yang kita lakukan.” sahut Rima dengan santainya.