Kekacauan di Hidup Rudi

1418 Kata
Ia merasa heran, ada orang di perusahaan tempatnya bekerja mengetahui tentang ulang tahun Monica dan sepertinya juga mengetahui sesuatu di masa lalunya, yang ia simpan dengan rapat "Apa maksud dari kartu ucapan ini?, di sini tidak ada yang mengetahui tentang dosa masa laluku." Rudi lalu membuang buket bunga tersebut ke tempat sampah. Dan kemudian duduk di depan meja kerjanya. Sayangnya, ia tidak dapat begitu saja melupakan isi dari kartu ucapan tadi. Merasa tidak bisa berkonsentrasi, Rudi pun ke luar dari ruangannya. Dan pada saat melihat meja Rima kosong, ia mengernyitkan keningnya. "Kenapa Rima belum datang juga?, biasanya ia datang tepat waktu," gumam Rudi. Dilihatnya jam tangannya sudah menunjukkan pukul 10.00. "Baru menjadi pegawai saja sudah berani membolos kerja," gumam Rudi lagi. Ia pun berbalik dan masuk ke ruangannya. Dicobanya untuk berkonsentrasi mengerjakan pekerjaannya. Ketika jam makan siang telah tiba, Rudi pun ke luar dari ruangannya untuk makan siang di luar. Dan ketika ia kembali dari makan siangnya. Dilihatnya Rima sudah duduk di depan meja kerjanya. Rudi pun memanggil Rima memerintahkan kepadanya untuk masuk ke dalam ruangannya. Rima masuk ke dalam ruangan Rudi dengan santainya dan duduk di depan meja kerjanya. "Ada apa bapak memanggil saya?" "Kamu tidak merasa salah dan menjelaskan kepada saya, alasan kamu datang sangat terlambat sekali bekerja!. Kamu pikir, ini perusahaan nenek moyangmu, sehingga bisa kamu seenaknya saja datang dan pulang kerja" bentak Rudi galak "Maaf, Pak!, tetapi saya sudah berniat untuk meminta ijin kepada Bapak, saat saya menumpang mobil bapak untuk pulang." "Akan tetapi, dengan tidak berperasaan, Bapak menurunkan wanita baik-baik dan secantik saya di tengah jalan." "Kamu memang pantas diturunkan dan mana ada wanita baik-baik yang melakukan ancaman kepada orang lain. Dan saya baru saja ingat, kalau tadi pagi saya menerima buket bunga dengan kartu yang berisikan ancaman untuk saya,” kata Rudi. “Mengapa Bapak menuduh saya sebagai pelakunya?, karena saya memilih untuk mengancam bapak secara langsung, daripada main sembunyi-sembunyi seperti seorang pengecut!” Rudi kemudian mengamati wajah Rima dengan seksama. Ia mencoba memastikan apakah memang benar, wajah Rima hampir mirip dengan wajah almarhumah mantan kekasihnya. Merasa dipandang dengan begitu lekat, Rima pun menjadi jengah. “Bapak jangan lama-lama melihat wajah saya, karena saya tidak mau harus bertanggung jawab kalau bapak jatuh cinta dengan saya dan menjadi patah hati, karenanya.” “Baru sekali ini, saya bertemu dengan wanita yang terlalu percaya diri seperti kamu. Sampai kapanpun juga, saya tidak akan jatuh cinta sama kamu. Sebagai wanita, kamu itu barbar, tidak memiliki sifat anggun yang seharusnya dimiliki oleh seorang wanita.” “Terima kasih, atas pujian yang Bapak berikan. Tentu saja, saya tidak anggun, karena saya bukanlah Angsa Gunung. Saya ini adalah wanita yang bertekad kuat dan tekad ku, membuat Bapak jatuh cinta kepadaku.” Kata Rima, sambil mengedipkan sebelah matanya. Merasa kalah berdebat dengan Rima, Rudi pun mengusir Rima untuk ke luar dari ruangannya. Pikirannya mengatakan kalau Rima lah, yang potensial sebagai tersangka yang mengirimkan buket bunga disertai dengan ancaman. Akan tetapi, ia juga merasa ragu, karena ia mengetahui Rima baru saja datang dari luar negeri dan tidak mungkin, ia mengenal Monica bukan?, karena berdasarkan data pribadi milik Rima yang dibacanya. Wanita itu anak tunggal dan sekolahnya pun berbeda dengan sekolah yang pernah ditempuh oleh Monica. Rasanya mustahil kalau mereka saling mengenal. Rudi pun menjadi pusing dibuatnya. Ketika jam kerja sudah usai, Rudi pun ke luar dari ruangannya dan dilihatnya Rima bangkit berdiri dari duduknya, begitu melihat ia keluar. Rudi pun memandang tajam Rima, melalui tatapannya, ia seolah menuduh Rima menunggu ia ke luar dari ruangannya. Rima tidak merasa terintimidasi dengan tatapan yang diberikan oleh Rudi, Rima justru berjalan menghampiri Rudi dan berkata dengan nada suara yang pelan, “Bapak jangan geer ya!, saya tidak akan menumpang mobil Bapak, karena saya akan pulang dengan menaiki motor saya sendiri.” Rima kemudian berbalik dengan mengibaskan rambut hitamnya yang tergerai sepanjang bahu, hingga mengenai bagian samping wajah Rudi. “Maaf Pak!, saya tidak sengaja.” Kata Rima, sambil menangkupkan kedua tangannya di depan d**a, sebagai kode untuk meminta maaf. Namun, mata Rima menyiratkan ejekan ke arah Rudi. Rudi hanya bisa menggerutu dalam hatinya, “Mengapa Rima berani sekali bersikap tidak sopan kepadanya? dan mengapa ia tidak merasa takut akan dipecat, karena kelakuannya itu.” Ketika Rudi sudah berada di parkiran, dilihatnya Rima sedang menaiki motornya dan dijalankannya menuju ke tempat ia berada. Saat berada tepat di sampingnya, Rima mematikan mesin motornya. Rima pun berkata, “Bapak jangan memimpikan saya, apalagi sampai mengigau menyebut nama saya, nanti Bapak menyalahkan saya. Padahal sudah jelas, Bapak yang memimpikan saya," goda Rima, sambil mengedipkan sebelah matanya. “Ngomong-ngomong, bagaimana dengan parfum pemberian saya?, pasti istri Bapak senang menerimanya, secara itu parfum import dan mahal. Namun, Bapak jangan mengira itu gratis ya!, karena saya akan menuntut p********n dari Bapak.” “Untuk sementara waktu Bapak santai saja, tetapi nanti kalau sudah tiba waktunya, akan saya tagih pembayarannya dan jangan lupa tagihannya bukan dalam bentuk uang.” Usai mengatakan hal itu, Rima pun melajukan motornya meninggalkan Rudi yang berdiri terdiam dan harus menelan kemarahannya, karena obyek yang akan menjadi sasaran balasan kemarahannya justru sudah pergi. Begitu Rima menghilang dari pandangannya, Rudi pun masuk ke dalam mobil dan menjalankannya, meninggalkan areal parkiran dengan pikiran yang tidak tenang, memikirkan apa yang dikatakan oleh Rima. Sungguh pusing ia dibuatnya, mengapa sejak kehadiran Rima dalam kehidupannya ia merasa masa lalunya datang kembali menghantui dan juga permasalahan datang ke dalam rumah tangganya. Wanita itu mengancam keutuhan pernikahannya dengan Mona. Masuk ke dalam rumahnya yang terlihat sepi, bahkan aroma makanan yang biasanya tercium pun. Kini tidak menyapa indera penciumannya. Tentu saja hal ini membuat Rudi menjadi heran. "Semoga saja tidak ada masalah yang menimpa Mona," gumam Rudi dalam hatinya Rudi pun menaiki tangga dengan langkah kaki yang panjang dan terburu. Saat pintu terbuka. Tidak ditemukannya keberadaan Mona. Masuk ke dalam kamarnya, Rudi meletakkan tas kerjanya di atas meja di samping tempat tidur. Ia lalu masuk ke dalam kamar mandi dan dibiarkannya tubuhnya diguyur air pancuran yang turun dengan derasnya menimpa badan Rudi. Dicobanya untuk mengusir bayangan wajah Rima yang berubah menjadi wajah Monica. Napas Rudi terdengar memburu, ia merasa kalut dan takut dengan bayangan wajah Monica yang sudah tidak diingatnya lagi selama berbulan-bulan sejak ia memutuskan untuk menikahi Mona dan meninggalkan Monica yang berjuang melawan penyakitnya. Rudi memukulkan tangannya pada dinding kamar mandi , sambil berteriak dengan nyaring, “Katakan kepadaku Monica!, apakah kau ingin aku datang untuk mengunjungi makam mu?, kalau tidak jangan ganggu aku dengan menampakkan wajahmu di hadapanku lagi!” Ia lalu mengacak rambutnya dengan rasa frustrasi dan marah kepada dirinya sendiri, karena sudah menyakiti hati wanita sebaik Monica, mantan kekasih yang bertahan mencintainya, Sampai akhir hidupnya. Dan sekarang, kenapa harus hadir wanita seperti Rima, yang membuat kekacauan dan mengancam keharmonisan rumah tangganya dengan istrinya. Rudi pun ke luar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Dilihatnya, istrinya sedang menghapus riasan di wajah di depan cermin besar. Tatapan keduanya bertemu, Mona pun berkata dengan suara yang terdengar lelah dan kecewa, “Aku tadi datang berkunjung ke rumah ibu. Ibu menelpon, memintaku untuk datang ke rumah. Dan kau tahu!, betapa aku merasa sangat sedih dan terluka, setelah mendengar apa yang ibu katakan." “Ibu bertanya, apakah aku sudah ada tanda-tanda hamil? dan kau tahu sendiri bukan?, apa jawaban tang kuberikan kepada ibu.” Rudi hanya diam saja, ia membiarkan Mona menyelesaikan ceritanya terlebih dahulu. “Ibu merasa sedih dan kecewa, karena aku tidak kunjung hamil juga, padahal kita sudah dua tahun menikah. Aku merasa sedih dan kecewa, kepada diriku sendiri yang belum juga bisa memenuhi harapan ibu untuk menimang seorang cucu,” kata Mona dengan terisak di akhir penjelasannya. Rudi meraih Mona ke dalam pelukannya dan membiarkan istrinya itu menangis. di dadanya. Menumpahkan segenap kesedihannya. Dalam hatinya, Rudi merasa ini adalah hukuman dari Tuhan, karena ia bersama dengan almarhumah Monica, pernah menghilangkan hak seorang anak untuk hidup dan melihat begitu berwarna nya dunia ini. Rudi pun ikut menangis bersama dengan Mona, ia menangisi dosa dan kesalahannya di masa lalu. Ia yang terbawa napsu muda dan terkena bujuk rayu setan. Membuat dirinya berkubang rasa sesal. “Katakan kepadaku, Rudi!, apakah kau akan mencari wanita lain, yang bisa melahirkan anak untukmu?, ataukah kau akan terus bertahan bersama denganku. Sampai pada akhirnya aku bisa melahirkan anak untukmu?” tanya Mona, sambil mendongakkan wajahnya menatap Rudi, untuk mencari jawaban dari suaminya itu. “Ibumu sudah memiliki calon istri baru, yang menurut ibumu pasti akan bisa melahirkan anak untukmu dan cucu untuk beliau.” Tambah Mona, disertai isak tangis yang tidak juga mau berhenti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN