16 - Berasa Dimanjakan

1730 Kata
Hari pertama di Lembang, Orion membawa Chisa ke beberapa destinasi wisata. Setelah mengunjungi tiga wisata yang di antaranya adalah Farmhouse, The Lodge Maribaya dan Orchid Forest, Chisa pikir, perjalanan mereka akan usai. Namun ia salah. Orion membawa Chisa ke sebuah villa yang letaknya dekat dengan perkebunan teh. Chisa pikir, mungkin Orion akan mengajaknya ke perkebunan teh, mencari udara segar yang sepanjang jalan tadi terus mereka bicarakan. Namun, bukankah sekarang sudah terlalu malam untuk mereka pergi ke area terbuka seperti itu? “Kita mau ngapain lagi mampir ke sini? Kamu ada kenalan di sini?” tanya Chisa. Kemudian, seorang pria tua keluar dari villa tempat Orion menghentikan mobilnya. Pria itu menyambut Chisa dan Orion dengan ramah. “Aden, lama nggak kelihatan, Den. Bapak sama Ibu sehat?” tanya pria itu. Chisa mengernyit. Ia merasa, seolah pria tua itu punya hubungan yang cukup dekat dengan Orion. Dan dari apa yang ia sebutkan - Bapak dan Ibu, Chisa simpulkan, kemungkinan orang yang dia maksud adalah orangtua Orion. “Mereka sehat. Cuma Papa aja yang udah semakin tua, jadi sering drop. Tapi selagi ada Mama, Papa akan baik-baik saja,” jawab Orion. Chisa tersenyum. Dari cara Orion bercerita, tampaknya lelaki itu memiliki keluarga yang harmonis. Sadar dirinya diperhatikan, Orion pun menoleh ke arah Chisa. “Oh iya, Pak, kenalin, ini Chisa, teman saya.” Chisa gelagapan. Ia langsung mengulurkan tangannya pada bapak-bapak di depannya, sambil berusaha menunjukkan sikap seramah mungkin. “Salam kenal, Pak. Saya Chisa,” ucap Chisa memperkenalkan dirinya. Bapak-bapak itu menyambut baik keramahan Chisa. Ia menyalami Chisa sambil tersenyum. “Jadi, teman apa teman, nih? Masa teman aja? Bapak nggak percaya ah.” Chisa menatap bingung Orion di sampingnya. Ia khawatir bapak-bapak itu curiga tentang hubungan mereka di dunia yang cukup gelap itu. Bukankah kata Orion jika hal itu sampai bocor, maka mereka berada dalam bahaya? “Teman, Pak. Kebetulan saya nggak ada teman ke sini. Jadi, saya bawa dia,” jawab Orion santai. Chisa menghela napas lega melihat Orion masih bisa menghadapi suasana itu dengan tenang. “Ya sudah, ya sudah. Oh iya, pesanan Aden sudah Bapak letakkan sesuai perintah ya, Den. Besok pagi, istri Bapak juga akan datang buat masak dan-” “Nggak perlu, Pak. Chisa ini pintar masak. Biar dia yang besok pagi masak, lumayan buat kegiatan,” potong Orion. Chisa menoleh kaget. Kemudian, ia mengangguk pasrah. Toh memang memasak adalah tugasnya, selama ia tinggal dengan Orion, kan? “Iya, Pak, biar saya aja.” “Oh, baiklah kalau begitu. Kulkas juga sudah Bapak isi ya, Den, Neng. Kalau sewaktu-waktu butuh sesuatu, jangan sungkan panggil Bapak aja, ya!” pesan bapak-bapak tersebut. Kemudian, dia pamit pergi, meninggalkan Chisa dan Orion berdua di halaman villa tersebut. Chisa menatap ke arah Orion, melihat, apa yang akan selanjutnya dilakukan oleh pria itu. Orion pun balik menatap Chisa, kemudian, ia mengajak Chisa untuk masuk ke villa di depan mereka. “Memang ini villa siapa? Terus yang tadi siapa? Kok kayak kenal dekat sama kamu dan orangtua kamu?” tanya Chisa saat mereka mulai melangkah masuk ke villa minimalis itu. “Ini villa Papa.” “Hah? Papa kamu? Papa kamu punya villa pribadi? Kamu serius?” kaget Chisa. Ia tahu Orion memang bukan orang sembarangan. Dari wajahnya saja sudah jelas ia adalah orang kaya. Namun, Chisa masih tidak menyangka jika Orion termasuk ke sebagian kecil rakyat yang punya villa pribadi di daerah wisata seperti ini. “Ya ngapain juga aku bohong?” balas Orion santai. Mereka tadi sudah makan malam saat di Orchid Forest. Jadi, Orion berniat untuk langsung ke kamar untuk membersihkan diri dan beristirahat. Apalagi, mengingat ia yang nyaris tidak beristirahat sejak pagi. “Ini udah malam. Dan aku capek banget. Jadi, nggak papa kan kalau kita menginap di sini semalam? Besok kita bisa pergi setelah sarapan,” tanya Orion. Chisa mengangguk. Ia sama sekali tidak keberatan jika Orion mengajaknya menginap di sini. Justru, ia senang. Ia suka udara dingin yang kini menembus pori-pori kulitnya. Seperti inilah hawa yang ia ingin rasakan. “Besok, boleh nggak kalau aku jalan-jalan sebentar di sekitar sini? Aku lihat tadi kita sempat melewati banyak kebun teh. Aku mau berkeliling sebentar. Habis sarapan juga nggak papa kalau kamu takut aku bakalan telat nyiapin sarapannya,” kata Chisa. “Hm, boleh. Kalau lagi di sini, aku juga lebih suka sarapan agak siangan. Pagi cukup minum kopi dan roti, habis itu olahraga jalan-jalan atau olahraga sebentar biar lebih fresh,” jawab Orion. “Jadi boleh, kan?” “Iya. Ya udah, kamu boleh istirahat sekarang. Kamar kamu di sana! Itu belok ke kiri, lalu kamar kamu yang di sebelah kiri,” kata Orion. Chisa cukup terkejut menyadari ia dan Orion tidak akan tidur satu kamar seperti biasanya. Sebenarnya bagus, hanya saja, Chisa seolah sudah terbiasa tidur dengan seseorang di sampingnya. Dan kini, saat ia berada di tempat asing, Orion justru menyuruhnya untuk tidur di kamar terpisah. “Ada apa?” tanya Orion, menyadari ekspresi Chisa yang langsung berubah. Padahal pria itu ingin segera ke kamarnya. “Eng- enggak papa kok. Ya udah, kalau gitu kamu juga selamat istirahat,” ucap Chsia. Gadis itu beranjak lebih dulu. Ia sampai lupa, jika ia bahkan tidak membawa pakaian ganti dan alat mandi. Untuk itu, ia kembali ke ruang tamu dan mengetuk pintu kamar yang ia yakini adalah milik Orion. “Ada apa?” “Anu … aku nggak bawa alat mandi. Kamu ada? Kalau boleh, aku mau-” “Di kamar kamu semua sudah tersedia. Kamu bisa pakai apapun yang ada di sana,” potong Orion santai. "Oke deh kalau gitu,” balas Chisa. Lalu, ia kembali menuju ke kamar yang Orion tunjuk sebagai miliknya malam ini. Begitu Chisa masuk, ternyata, kamar itu benar-benar sudah disiapkan dengan baik. Lampunya sudah dinyalakan. Serta, spreinya tampak seperti baru diganti. Dari udaranya juga sangat terasa jika kamar itu baru saja dibersihkan. Chisa membuka lemari yang ada di kamar itu. Ada dua paper bag berisi pakaian perempuan, yang mungkin memang disiapkan untuknya. For: Orion [Ini di lemari ada baju baru juga. Ini milik siapa?] From: Orion [Buan kamu. Bisa kamu pakai buat ganti.] [Ada lagi yang mau ditanyakan? Aku mau cepat-cepat mandi.] Chisa meringis, “dih, dingin dingin begini dia mau mandi? Aku aja ogah. Mending nanti gosok gigi sama cuci muka aja deh.” From: Orion [Chis. Mau tanya lagi enggak?] Chisa terkekeh menyadari Orion benar-benar menunggunya. For: Orion [Enggak kok. Oke deh, thanks, ya …] Setelah itu, Chisa meletakkan ponselnya di atas kasur. Lalu ia mencari sesuatu dari dalam tasnya - jedai - sesuatu yang tak boleh terlewat harus selalu ada di tas Chisa. Chisa menjepit rambutnya, sebelum akhirnya ia beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri seperlunya. Selesai membersihkan diri, Chisa bingung harus melakukan apa. Sekarang masih pukul setengah sembilan malam. Ia belum mengantuk. Ia juga tidak mengerti dengan jalan cerita drama yang sedang ia tonton di televisi. Rasanya, ia ingin mengajak mengobrol seseorang. Namun, ia ingat. Ia hanya datang bersama dengan Orion ke tempat ini. Dan dari apa yang ia lihat tadi, sepertinya Orion sudah sangat kelelahan dan akan langsung beristirahat. Chisa menghela napas panjang. Ia meraih ponselnya, membalas beberapa pesan masuk dari teman-temannya. Bianca, Nanda, beberapa teman sekelasnya, dan tak lupa, Yasa. Chisa terkekeh saat mendengar cerita Yasa yang baru saja diomeli dosen pembimbing akademiknya karena lupa menyerahkan data tentang rancangan skripsinya, termasuk nama pembimbing skripsinya. Cara Yasa bercerita sangatlah hidup, membuat Chisa bisa dengan mudah masuk ke suasana yang Yasa jelaskan. From: Yasa [Jadi kamu lagi di luar kota? Padahal aku berencana ngajak kamu ke perpus kota bareng besok] For: Yasa [ Tinjauan pustaka kamu memangnya masih kurang?] From: Yasa [Bukan … aku mau cari referensi aja buat memahami metode penelitian yang aku ambil. Sekalian aku mau diskusi sama kamu soal metode ini. Kan metode ini juga atas usulan kamu. Kamu juga kelihatan lebih paham waktu sama Bu Inge kemarin.] Chisa terdiam. Ia jadi sedikit merasa bersalah karena tidak bisa menemani Yasa, mengingat Yasa akan sangat membutuhkan bantuannya. From: Yasa [Ya nggak papa sih kalau sekarang nggak bisa. Tapi next time, usahain ya, Chis. Serius. Kayaknya aku bakal butuh bantuan kamu. Nanti, sebagai bayarannya, aku traktir makan deh. Terserah mau makan siang atau makan malam.] Chisa terkekeh. Ia padahal tidak mengharap sama sekali imbalan apapun dari pria itu. Lagi pula, ia menganggap jika antara ia dan Yasa memang sedang bekerja sama di mana keduanya sama-sama memiliki peran dan berguna bagi yang lainnya. Namun, saat Chisa akan mengetikkan pesan balasan, sebuah ketukan pintu berhasil menarik jiwa Chisa ke alam sadarnya. Ia menatap ke arah pintu yang terbuat dari kayu jati tersebut. Tak lama, suara seorang pria terdengar. “Kamu udah tidur?” “Orion?” lirik Chisa. Chisa pun segera beranjak untuk membukakan pintu tersebut. Alisnya mengernyit, saat melihat Orion datang hanya dengan membawa ponselnya. “Ada apa? Apa ada sesuatu yang penting?” tanya Chisa. “Aku berubah pikiran,” ujar Orion. Chisa mengernyit tidak mengerti. Ia tidak tahu, apa yang berubah jadi keputusan yang sudah terlanjur Orion buat sebelumnya. “Maksudnya, kita nggak jadi menginap di sin-” “Aku berubah pikiran buat misahin kamar kita. Kayaknya akan lebih efisien kalau kita tidur satu kamar aja,” potong Orion dengan raut wajah yang masih terbilang santai. Orion sedikit mendorong Chisa agar memberinya ruang untuk menerobos. Namun, Chisa masih tidak beranjak dari tempatnya. “Kenapa?” protes Chisa. Padahal, ia baru saja merasa nyaman dengan kesendiriannya, ditemani beberapa chat dari sahabatnya. Orion mendorong Chisa lebih keras, membuat gadis itu akhirnya bergeser dan menyisakan celah untuk Orion masuk. “Biar lebih hemat listrik. Lagian, TV di kamarku rusak. Aku nggak bisa ngapa-ngapain di sana,” jawab Orion. Orion berjalan ke arah tempat tidur, lalu merebahkan diri di sana. Matanya tertuju pada layar televisi yang menyala. Lalu, ia menoleh saat mendengar denting notifikasi dari ponsel Chisa. Alis pria itu mengernyit aneh, membuat Chisa was-was dan segera meluncur dan menyelamatkan ponselnya dari pria itu. “Dia pacarmu?” tanya Orion. Chisa tidak menerti siapa yang dimaksud oleh Orion. Ia pun menatap apa yang tampak di layar ponselnya saat itu. “Buk- bukan. Dia teman satu kelasku.” “Cowok, kan?” Chisa mengangguk. Pasalnya, yang Orion maksud adalah Yasa. Tadi, saat Orion menoleh, yang ia lihat adalah pesan baru dari kontak bernama “Yasa”, dan foto profilnya terkesan maskulin. “Kamu tidak lupa kan dengan perjanjian kita?” tanya Orion dengan nada dan tatapan tajam, mengarah pada Chisa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN