11 - Bersikap Manis

1686 Kata
Chisa merasa terusik. Saat ia berusaha untuk kembali ke alam mimpi, ia gagal, seolah ia sudah lelah tertidur semalaman. Perlahan, matanya mengejap. Ia terlonjak kaget saat mendapati dirinya berbaring nyaman di atas tempat tidur. Seingatnya, semalam ia masih mengerjakan skripsi di ruang tamu, kemudian ia lupa apa lagi yang terjadi setelahnya. “Kok aku bisa di sini?” kagetnya. Ia meraih ponselnya yang ternyata ada di atas nakas samping tempat tidur. Ternyata, sudah hampir jam enam. Ia ingat, pagi ini Orion harus berangkat lebih awal, dan Chisa belum menyiapkan sarapan untuk lelaki itu. Saat menoleh ke samping, ia tak mendapati Orion berbaring di sana. Tampaknya, Chisa benar-benar kesiangan. Chisa segera melompat turun dari tempat tidur. Dengan langkah yang masih sempoyongan akibat nyawa belum terkumpul sempurna, ia berusaha menuju ke dapur. Wajahnya tampak kacau dengan mata yang memerah dan rambut berantakan. Dan itu semua ia tunjukkan pada lelaki yang saat ini berdiri di dapur menatap ke arahnya. Sejenak, suasana hening karena keduanya yang sama-sama kaget dengan keberadaan satu sama lain. Orion memang sudah tidak ada di sampingnya saat Chisa terbangun. Namun, Chisa pikir laki-laki itu sedang mandi atau yang lainnya. Namun, ternyata sekarang Orion sedang berkutat dengan alat-alat dapur. Jangan lupakan aroma dapur yang sudah berubah menjadi wangi pagi ini. Chisa menarik langkahnya paksa untuk mendekat ke arah Orion. Ia mengambil pisau, lalu membantu Orion memotong sayuran yang sepertinya akan dibuat menjadi salat. “M- maaf. Aku benar-benar nggak sengaja. Kayaknya aku nggak sadar matiin alarmku. Jadi aku-” “Aku yang matiin tadi. Soalnya berisik,” potong Orion, membuat Chisa menoleh menatap lelaki itu. “O- oh? Benarkah? Maaf kalau berisik. Memang harusnya aku langsung bangun waktu alarmnya bunyi. Jadi nggak sampai ganggu istirahat kamu,” cicit Chisa yang merasa serba salah. “Kamu sudah mandi? Mau siap-siap? Kamu siap-siap dulu aja! Biar aku yang lanjutin masaknya. Ini kurang apa lagi? Aku-” “Ssstt … kalau mau bantu, ya tinggal bantu. By the way kamu belum cuci tangan. Cuci tanganmu dulu sebelum kamu menyentuh sayuranku!” Orion merebut paksa sayuran yang ada di tangan Chisa, membuat gadis itu nge-blank selama beberapa saat. Nyawa Chisa tampaknya benar-benar belum terkumpul sepenuhnya. Saat kesadarannya mulai kembali, Chisa bergegas menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Ia berusaha mencari karet atau jedai miliknya. Namun, sepertinya ia lupa membawanya. ‘Ceroboh banget, sih?’ batin Chisa, merutuki kecerobohannya. Namun, Chisa sadar, ia tidak punya banyak waktu. Ia kembali pada Orion untuk membantu laki-laki itu memotong sayur. Lalu, saat Orion memerintahkannya mengecek salmon yang ia masak, Chisa juga hanya menurut. Ia menunggui salmon itu hingga matang lalu mengangkatnya. “Kurang apa lagi? Mending kamu buruan siap-siap! Nanti telat loh. Sisanya biar aku saja,” kata Chisa, yang merasa tidak enak hati karena sudah membuat Orion kerepotan pagi ini. Padahal, baru beberapa hari yang lalu Chisa berjanji untuk tidak kesiangan lagi. Namun, dengan cepat Chisa sudah langsung melanggar janjinya. Orion mengangkat salat sayur yang ia letakkan pada wadah kaca berwarna transparan miliknya. Sembari tersenyum, ia menatap Chisa yang tampak kacau. “Sudah selesai, kok.” Chisa terperangah menyaksikan apa yang ada di hadapannya saat ini. Orion tersenyum padanya. Ia tidak mungkin salah lihat, kan? Bahkan, setelah ia mengejapkan mata beberapa kali, senyum di bibir Orion masih tampak di depan matanya. “Kamu kelilipan?” tanya Orion. Senyum lelaki itu perlahan luntur. Ia juga menurunkan wadah salat sayurnya dari tangannya. “Eng- enggak, kok,” jawab Chisa gugup. Tiba-tiba saja, Orion beranjak. Ia mengambil karet gelang, lalu berdiri di belakang Chisa. “Eh, kamu mau ngapain?” bingung Chisa. Ia hendak menghindar. Namun, Orion dengan cepat menahan bahunya agar tetap pada posisinya. “Aku pernah melakukan ini di film yang aku mainkan. Jadi, aku rasa aku masih tahu caranya,” kata Orion tiba-tiba, membuat Chisa mengernyit tidak mengerti. Chisa merasakan sentuhan pada bagian belakang tubuhnya. Seseorang seperti mengangkat rambutnya, hingga kemudian menyentuh bagian belakang tengkuknya. “O- Orion …” Orion diam. Ia fokus pada apa yang ia lakukan. Ia akui, ia memang tidak terlalu mahir melakukannya. Ia hanya sekadar bisa, karena pernah mempelajarinya untuk kepentingan shooting. Namun ternyata, hasilnya tak buruk juga. Ia tersenyum tipis setelah melihat hasil karyanya pada rambut Chisa. “Nggak usah berekspektasi bakalan bagus apalagi rapi. Aku cuma sekadar bisa-bisaan aja. Tapi seenggaknya sekarang rambut kamu udah nggak berantakan, lebih nyaman, kan?” ucap Orion, sembari melihat hasil karyanya. Kemudian, Orion kembali ke hadapan Chisa. Ia mengambil salat sayur buatannya, lalu membawanya ke meja makan. Menyadari Orion yang telah meninggalkannya, Chisa pun bergegas menyusulnya dengan membawa makanan lain yang telah dimasak oleh pria itu. Suasana makan pagi terasa lebih canggung dibanding biasanya. Orion tampak tenang seperti biasa, meski sesekali, ia tampak seperti mengecek ekspresi gadis di hadapannya. Sementara itu, Chisa justru lebih banyak menunduk. Ia berpura-pura fokus pada makanannya, meski kini pikirannya sedang melanglang buana memikirkan hal lain. ‘Yang tadi itu apa, sih? Dia itu sebenarnya kenapa? Kenapa tiba-tiba baik banget?’ batin Chisa. Ia merasa, sikap Orion pagi ini terlampau aneh untuk tidak membuatnya curiga. ‘Apa dia punya suatu rencana yang berhubungan sama aku?’ Orion berdehem, membuat Chisa mau tidak mau menghentikan kegiatan makannya. Gadis itu mendongak, menatap Orion bingung. “Kamu ngapain dari tadi ngelihatin aku?” “Nggak usah terlalu percaya diri. Aku cuma lihat ke depan. Dan kebetulan kamu duduk di seberangku,” jawab Orion. Chisa menggigit bibir bawahnya. Kemudian ia menunduk, berpura-pura kembali fokus pada makanannya. Ia sangat malu. Bisa-bisanya ia sempat beranggapan bahwa Orion menatap ke arahnya. Memang, ada hal menarik apa pada dirinya sampai-sampai Orion betah sekali menatapnya? “By the way, bukannya seharusnya kamu berangkat pagi-pagi sekali? Apa gara-gara aku belum nyiapin sarapan kamu, jadinya kamu-” “Enggak. Meeting yang harusnya dilakukan jam tujuh, mundur jadi pas jam makan siang. Jadi hari ini aku baru akan berangkat jam sembilan buat pemotretan dulu,” potong Orion, membuat Chisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam hati, ia lega karena kecerobohannya tidak lagi membuat laki-laki itu mendapat masalah. “Kamu ke kampus jam berapa?” tanya Orion. Chisa melirik ke arah jam dinding, “mungkin jam delapan on the way dari apartemen. Aku ada kelas jam setengah sembilan, terus jam dua mau ke perpus kampus,” jawab Chisa. Kemudian, gadis itu teringat dengan sesuatu. “Semalam, kamu yang pindahin aku ke kamar, ya? Soalnya, seingatku, aku ketiduran di ruang tamu. Terus tiba-tiba tadi udah kebangun di kamar.” “Aku cuma bangunin kamu, terus kamu jalan sendiri ke kamar,” bohong Orion. Rasanya ia terlalu gengsi untuk mengakui bahwa semalam dirinya rela menggendong gadis itu dan membawanya ke kamar. Kesannya seperti … terlalu peduli, kan? ‘Aku bukannya peduli. Aku cuma malas kalau dia sampai sakit dan endingnya bakal aku lagi yang lebih direpotkan,’ batin Orion, berusaha menyangkal pikiran lain yang sempat terlintas di benaknya. “Tapi aku kok nggak nyadari kalau sempat bangun terus pindah ke kamar?” gumam Chisa tanpa sadar. Pupil mata Orion membesar. Ia bisa berada dalam masalah kalau Chisa sampai menyadari jika dirinya berbohong. “Semalam aku emang jalan sambil merem, kayak zombie. Itu pun kamu sempat kesel banget waktu aku bangunin. Terus ngomong nggak jelas yang intinya mau ngomelin aku,” kata Orion, mengungkapkan kebohongan lainnya. Chisa menatap laki-laki itu bingung, seolah ia tidak percaya dengan penjelasan Orion. “Masa, sih? Perasaan aku nggak pernah kayak gitu. Kalau memang tidurku terusik, ya biasanya aku akan bangun, terus susah tidur lagi.” “Ya terus kamu pikir, kamu bisa pindah ke kamar karena aku gendong, gitu?” Orion tak habis akal. Ia mengatakan kalimat tersebut dengan raut wajah yang menandakan jika itu merupakan sebuah kemustahilan, untuk membuat Chisa percaya. Dan … berhasil. Chisa menggeleng cepat. Kemudian, gadis itu kembali makan tanpa banyak bicara lagi. Orion tidak tahu apa yang sebenarnya Chisa pikirkan saat ini. Ia juga curiga kalau Chisa belum sepenuhnya percaya pada ucapannya. Hanya saja, setidaknya, Orion bisa menghela napas lega karena gadis itu berhenti menanyakan pertanyaan yang membuat ia merasa semakin terpojok. ‘Kalau dia sampai tahu, dia pasti akan sangat besar kepala karena aku sudi menggendongnya,’ pikir Orion. Usai sarapan, Chisa mencuci piring-piring dan peralatan masak yang mereka gunakan tadi. Setelah itu, ia mencari laptopnya yang ternyata masih ada di ruang tamu. Ia menemukan laptopnya dalam keadaan tertutup, membuatnya was-was karena seingatnya, semalam ia belum sempat menyimpam file yang terakhir. Chisa pun segera menyalakan laptopnya. Ia mengecek pekerjaannya semalam, dan untungnya tidak ada yang hilang. “Semalam kamu ninggalin laptopn kamu gitu aja dalam keadaan menyala. Terus aku yang matikan. Dan aku tidak bodoh buat nge-save dulu file-file kamu yang masih kebuka, sebelum menutupnya,” ujar Orion yang tiba-tiba sudah bergabung dengan Chisa, duduk di ruang tamu. Chisa menolehkan kepalanya ke arah Orion, “makasih banget, ya. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau semalam kamu nggak bantu nyelametin file aku. Soalnya auto-save di laptopku suka error dan nggak bekerja.” Orion mengernyit. Ia tahu betul betapa pentingnya fungsi menu tersebut. Terlebih, bagi orang yang sedang dikejar deadline seperti Chisa. “Nggak coba kamu benerin?” “Nggak bisa. Aku udah beberapa kali bawa ke ahlinya juga, cuma tetap sering balik error lagi,” jawab Chisa. Melihat wujud laptop Chisa, tak heran sih jika hal itu terjadi. Melihat dari kenampakannya saja sudah sangat jelas jika laptop Chisa adalah sebuah laptop tua yang mungkin keluaran sekitar sepuluh tahun yang lalu. “Ya beli lah. Laptop kan alat paling penting kalau lagi skripsian. Emang kamu nggak takut kalau tiba-tiba itu rusak pas kamu lagi dikejar deadline? Mana kamu suka ceroboh lagi,” ujar Orion dengan gampangnya. “Lagi nabung. Tapi aku nggak yakin sih kalau masih sempat kebeli sebelum aku lulus. Ya tapi doain aja deh, semoga laptopku nggak papa sampai skripsiku selesai,” balas Chisa. Orion mengernyit. Padahal, harga laptop baginya tidak seberapa. Yang harganya di bawah sepuluh juta pun banyak. Dan Chisa seharusnya tinggal minta saja kan padanya kalau uangnya masih belum terkumpul? ‘Dia pikir aku sepelit itu, sampai buat minta uang buat beli laptop baru aja dia nggak mau,’ batin Orion, merasa tersinggung karena Chisa yang tak mencoba meminta uang darinya. ‘Padahal kan itu penting. Kalau dia minta, pasti juga bakalan aku kasih, kalau memang penting.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN