12 - Berdamai dengan Takdir

1959 Kata
Hari ini, kelas Chisa usai pada pukul setengah dua siang. Hanya ada kelas satu SKS yang Chisa hadiri setelah jam makan siang. Dan setelah kelasnya selesai, Chisa pun segera ke perpustakaan kampus, tempat ia janjian dengan kedua sahabatnya. “Maaf telat. Udah dari tadi banget, ya?” tanya Chisa pada Bianca yang sudah mulai membaca jurnal. “Hm? Belum kok. Nanda mana?” “Dia lagi nyari jadwal dosbingnya di jurusan katanya. Soalnya dua hari ini susah dihubungi. Nanti bakal nyusul ke sini,” kata Chisa. Bianca mengangguk. Kemudian, Bianca kembali membaca jurnalnya. Namun, tiba-tiba kepalanya terangkat hingga ia bersitatap dengan Chisa yang menatapnya bingung. “Kenapa?” tanya Chisa, saat sadar tatapan Bianca tampak tidak biasa padanya. “Kamu deket ya sama Yasa? Dia tetangga satu komplek aku. Dan pas kapan itu, kalau nggak salah aku sempat lihat kamu di cafe bareng dia. Cuma mau tanya saat itu juga, nggak enak. Baru sekarang deh berani tanya,” ujar Bianca. Yasa adalah teman Chisa. Teman sekelas, sekaligus satu dosen bimbingan skripsi - lelaki yang sama dengan yang Orion lihat beberapa hari yang lalu. Dan berdasarkan ucapan Bianca, tampaknya momen yang Bianca maksud sama dengan Orion. Sebab, Chisa belum pernah lagi bertemu dengan Yasa di cafe, baik sengaja maupun tidak. “Kami sekelas. Satu dosen bimbingan juga,” jawab Chisa, membuat alis Bianca mengernyit. “Yakin cuma itu?” “Lah, terus apa lagi dong?” bingung Chisa, yang tidak mengerti apa yang sebenarnya diharapkan oleh Bianca. Bianca menggeser laptopnya ke samping, agar ia bisa benar-benar berhadapan dengan Chisa tanpa menghalang apapun. “Gini, Chis. Sebenarnya aku nggak enak ngomong gini ke kamu. Sumpah, aku nggak ada niat buat ngehina atau apapun itu. But, aku rasa kamu perlu tahu tentang apa yang ada di pikiranku dan Nanda,” ucap Bianca. Alis Chisa semakin menukik tajam, penasaran dengan apa yang akan Bianca katakan sebenarnya. Kenapa sepertinya terkesan sangat serius? “Go ahead!” balas Chisa mempersilakan. Lagi pula, mereka sudah berteman lama. Dan Chisa bukan tipe orang yang akan dengan mudahnya tersinggung karena ucapan sahabatnya, selagi mereka bisa benar-benar menjelaskannya. “Soal kamu yang tiba-tiba bisa lunasin tagihan uang kuliah, sering naik taksi, dan sering tiba-tiba buru-buru pulang padahal di kos nggak ada, aku sama Nanda sempat kepikiran kalau mungkin aja kamu punya seseorang yang royal di belakang kamu? Maksudnya cowok atau … ya gitulah,” kata Bianca yang merasa sulit untuk mengatakannya secara gamblang. Chisa sempat menahan napasnya sejenak. Ia mulai khawatir. Jika ia salah menanggapi, maka bukan tidak mungkin hubungannya dengan Orion akan bocor. “Maksudnya, kamu curiga kalau semua ini bantuan dari seseorang? Dan seseorang itu cowok? Terus kamu pikir, dia adalah Yasa?” tanya Chisa. Bianca mengangguk. “Maaf. Bukan maksud berpikir kalau kamu cewek kayak gitu. Cuma kan bisa aja memang cowoknya yang royal, kan? Cuma setahuku Yasa nggak gitu. Dia bukan orang yang terbuka, lingkup pertemanannya cenderung kecil dan aku rasa dia cukup apatis. Jadi, menurut kamu gimana?” Chisa menghela napas panjang. “Aku jawab satu-satu, ya?” “Yang pertama, soal semua tagihan kampus yang aku lunasin, itu benar. Aku dapat uangnya dari seorang laki-laki,” jawab Chisa. Pupil mata Bianca langsung melebar. Gadis itu juga menegakkan tubuhnya yang semula tampak loyo tak bertenaga. “Serius? Kamu-” “Dan dia adalah ayahku,” potong Chisa, tak ingin membuat pikiran sahabatnya semakin liar. “Kok rasanya aku kayak nggak percaya, ya? Lagian bukan itu yang kami pikir. Cuma … kalau memang iya, daripada ngelakuin itu, mending kamu bilang ke aku deh, Chis! Aku masih bisa kok bantu kamu, walau nggak bisa back up full. Seenggaknya buat bantu, ada lah,” ujar Bianca. Chisa tahu, Bianca berniat baik padanya. Meski terlahir menjadi anak orang kaya dan memiliki kepribadian sedikit nakal, tetapi Bianca adalah orang yang tulus. Namun, justru hal itu lah yang membuat Chisa merasa serba sungkan untuk meminta bantuan sahabatnya itu. Ia tidak bisa membayangkan, jika dirinya sampai meminjam uang pada Bianca, lalu suatu hari ternyata ia kesulitan untuk mengembalikannya, bukankah hal itu bisa merusak persahabatan mereka? Pasti semua jadi canggung. Dan akhirnya Chisa justru akan kehilangan sahabat terbaiknya itu. Chisa menggeleng. “Memang sih, Ayah bilang kalau dia akan anggap ini sebagai utang, dan minta aku buat nggak lupa ke mereka setelah lulus nanti. Tapi, beneran kok, Ayah yang kasih uang ke aku buat lunasin tunggakan-tunggakan aku.” “Terus soal kata tetangga kos kamu yang katanya kamu pindah?” tanya Bianca lagi. “Itu inisiatif aku sendiri. Karena uang yang dikasih Ayah nggak cukup kalau harus buat lunasin semua tunggakan kuliah ditambah biaya kos, makanya aku mutusin buat mulai tinggal sama saudara jauhku di sini. Seenggaknya aku jadi lebih hemat nggak bayar biaya tempat tinggal, kan?” Chisa berhasil menjawab pertanyaan Bianca. Namun, ia tetap merasa tidak tenang. Khawatir Bianca akan kembali melayangkan pertanyaan yang sulit untuk ia jawab. “Dan soal kamu yang sekarang selalu naik taksi online?” Benar, kan? Ketakutan Chisa akhirnya terjadi. Untuk yang satu itu, ia tidak yakin bisa memberikan jawaban yang bisa membuat Bianca percaya. Pertanyaan itu sangat menjebak. “Akhir-akhir ini kamu pulang-pergi naik taksi online. Kalau memang tujuan kamu ingin hemat, bukannya naik trans kayak biasanya akan lebih hemat? Atau seenggaknya ojek, deh. Setahuku, taksi online biayanya bisa sampai empat kali lipat dari ojek loh,” lanjut Bianca. Chisa memaksa otaknya untuk bekerja cepat. Rasanya, ia sekarang seperti sudah berada di ujung tanduk. Salah menjawab sedikit saja, maka pasti Bianca akan mengorek lebih dalam tentang kehidupannya. Perempuan itu memang sangat cerdik, meski tujuannya baik. “Itu karena … saudaraku kerja di perusahaan taksi online. Terus aku dikasih semacam member khusus pegawai gitu. Jadi, kalau naik taksi online nanti diskon besar. Sayang kan kalau nggak dipakai?” bohong Chisa. Ia tahu, alasannya cenderung tidak masuk akal. Namun, otaknya sudah benar-benar buntu. Mau memaksakan diri untuk memikirkan alasan lain pun, Bianca pasti malah akan semakin curiga. Bianca menghela napas panjang. “Nggak tahu kenapa, tapi feeling aku kamu masih menyembunyikan sesuatu. Aku bukannya mau ikut campur. Cuma, Chis, kayak yang aku bilang. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu masih punya aku dan Nanda. Jangan sungkan buat kasih tahu kami, ya? Kita kan temenan juga udah lama. Kamu juga sering bantu aku atau pun Nanda.” “Iya, tenang aja. Buat yang sekarang, aku ngerasa masih sanggup jalanin sendiri kok. Kalau memang terlalu berat, aku pasti bakal sharing ke kalian berdua,” jawab Chisa. Bianca mengangguk. Lalu, dia mengajak Chisa untuk segera mengerjakan proposal masing-masing, agar hari ini progres mereka cukup banyak, mengingat besok Chisa ada jadwal konsultasi dengan dosen pembimbingnya. *** From: Orion Nggak usah masak. Di lokasi syuting ada banyak makanan sisa. Dan kami disuruh bawa pulang. Nanti kita makan ini aja. Padahal Chisa baru saja mengeluarkan beberapa sayuran dari kulkas. Ia pun menata kembali bahan makanan itu di kulkas, sebelum beranjak menuju ruang tamu untuk kembali mencicil skripsinya. Satu jam kemudian … “Kamu lagi apa?” Chisa mendongak saat mendengar suara mengagetkan itu. Ternyata, Orion sudah pulang. Ia bahkan tidak mendengar suara orang memencet password atau saat lelaki itu membuka pintu. Dan tiba-tiba saja, Orion sudah ada di sampingnya sekarang. “Skripsi. Besok ada jadwal bimbingan. Cuma tinjauan pustakaku udah kelar. Udah aku cek juga barusan. Bingung mau ngapain lagi. Mau santai-santai, sayang dong waktunya …” Orion duduk di sofa tepat sebelah Chisa. Sedangkan mahasiswi semester akhir itu duduk di atas karpet sambil menatap layar laptopnya. “Kenapa nggak sambil nyicil bab tiga? Jadi, besok bisa sekalian kamu konsultasikan. Atau … bisa juga kamu nyicil bikin hipotesis,” usul Orion. Chisa menggaruk belakang tengkuknya yang tidak gatal. “Tapi kan ini tinjauan pustaka aku aja baru mau aku konsultasikan sekali ini. Masa tiba-tiba ngerjain hipotesis sama bab tiga?” “Ya why not? Kan biar sekalian. Lagian, biasanya tinjauan pustaka revisiannya nggak sebanyak dan seribet bab satu dan bab tiga kok. Paling urutan sama penulisannya aja besok yang dibenerin. Jadi, better sekalian kamu konsulin hipotesis sama bab tiga deh. Jadi kalau ada revisi, bisa sekalian juga ngerjainnya,” kata Orion. Chisa masih terdiam. Beberapa detik berikutnya, ia menatap Orion dengan mata berbinar. “Boleh juga idenya. Bisa aku coba.” Orion tersenyum tipis melihat semangat gadis itu dalam menjalankan kewajibannya. Chisa pun mulai membaca-baca kembali proposalnya dan beberapa sumber acuan lain untuk mencari hipotesis dari penelitiannya. “Sebentar. Aku mau mandi. Nanti coba aku bantu mikir setelah aku selesai mandi,” kata Orion, lalu bangkit dari sofa. “Eh … memang kamu bisa? Kamu dulu sempat kuliah di fakultas ekonomi dan bisnis juga?” tanya Chisa. Orion menoleh, menatap gadis lugu itu dengan datar. “Seengaknya aku masih punya otak buat berpikir dan bantuin orang.” Chisa terkesiap. Apa pertanyaannya tadi telah menyinggung Orion? Ia mengacak-acak rambutnya frustrasi. “Gimana kalau nanti dia marah lagi? Lagian kenapa sih kamu banyak tanya, Chis? Udah tahu ngadepin orang kayak dia cuma harus iya iya aja.” *** Orion menepati janjinya untuk membantu Chisa mengerjakan proposalnya. Lelaki itu duduk di sofa, memangku laptop jadul Chisa dengan bantal sofa sebagai alasnya. Sedangkan Chisa sabar menunggu di samping pria itu, sambil sesekali melirik ke arah layar laptopnya dan menuliskan sesuatu di note book yang ada di pangkuannya. “Bab satu kamu sudah di-acc?” tanya Orion. Tatapannya masih fokus pada layar di di hadapannya. “Sudah kok,” jawab Chisa. “Untuk bab tiga nanti, kamu bakalan lebih fokus ke data kualitatifnya, atau kuantitatif?” tanya Orion lagi. “Sebenarnya dataku ada dua-duanya sih. Cuma kayaknya yang akan lebih aku bahas data kuantitatifnya. Jadi, kemungkinan pakai SPSS,” jawab Chisa. Orion mengangguk mengerti. “Udah kepikiran, metode penelitiannya mau pakai yang mana?” “Sebentar!” Chisa sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Orion. Kebetulan, ia sudah sempat mencari referensi untuk metode yang akan dia gunakan nanti dan telah menyimpannya di file lain. “Menurut kamu, ini gimana?” tanya Chisa. “Aku udah bandingin dua metode sih. Tapi aku cenderung suka yang bawah.” Orion membaca file yang Chisa tunjukkan. “Aku lebih suka yang atas. Kalau fokus kamu mau ke data kuantitatifnya, aku rasa metode yang atas bakalan lebih pas.” “Oh ya? Kenapa gitu?” “Karena kalau pakai metode yang atas, kamu bakal lebih fokus ke angka. Data kamu bakalan berupa angka, jadi nggak perlu repot-repot ngubah datanya. Tapi ya terserah kamu aja, sih, menurut kamu lebih gampang yang mana,” terang Orion. “Wah … kamu kok bisa tahu sedetail itu?” kagum Chisa. Orion menoleh, menatap malas gadis di sampingnya. “Makanya, kalau baca tuh jangan sekadar baca, tapi pahami, sambil pikirin kalau kira-kira ini dilakukan, hasilnya akan seperti apa!” Chisa terkekeh. “Ya kan belum sempat. Ini aku baru sekadar nyari aja, belum jadi aku konsultasikan ke siapa pun apalagi aku pelajari lagi.” Orion menyerahkan laptop Chisa kembali ke pemilliknya. “Ya udah nih! Coba masukkan metode itu ke proposal kamu! Jangan lupa, yang teliti nentuin apa aja yang akan jadi variabelnya!” “Kamu mau ke mana?” tanya Chisa, melihat Orion yang seperti akan beranjak dari duduknya. “Mindahin makanan ini ke wadah. Nanti, dua puluhan menit lagi, kamu save dulu file-nya. Istirahat, makan malam!” kata Orion. Chisa meletakkan laptopnya di samping. Lalu, ia menyusul Orion berdiri. “Biar aku aja yang meny-” “Ssstt … nggak usah banyak alasan buat ngulur-ngulur waktu! Kerjain apa proposal kamu. Targetkan malam ini bab tiga harus udah masuk ke proposal kamu, biar besok bisa jadi bahan konsul sekalian. Buat hipotesis, nanti aku bantu lagi pas bab tiga kamu udah selesai,” ucap Orion, sambil mendorong kening Chisa dengan telunjuknya, hingga gadis itu terduduk kembali di posisinya. “Tapi-” “Nggak usah ngeyel!” potong Orion, sebelum akhirnya lelaki itu pergi dari ruang tamu, menuju ke dapur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN