Khitbah itu sudah di depan mata. Meminang seorang gadis yang diharapkan bisa menjadi jodoh yang terbaik dari Tuhannya. Akhtar memantapkan hati, mengumpulkan niat sucinya untuk segera mengikat Sang wanitanya sebelum ijab qabul diucapkan. Hari ini kedua keluarga telah mempersiapkan dengan matang.
Keluarga Akhtar yang sehari sebelumnya telah berangkat dari kota pahlawan. Menginap di rumah Ayuni yang terletak di Jakarta Selatan. Tak banyak yang diajak andil dalam acara khitbah ini. hanya Ayuni beserta suami, ayah, ibu dan juga Akhtar.
Di tempat terpisah, Arin yang sedari pagi mencoba menenangkan dirinya. Serasa ada sebongkah beban yang membuatnya merasa berat dalam melangkah. Meski sebenarnya dia sangat bahagia dengan hari ini, hari di mana sebuah niat akan semakin didekatkan. Debar rasa itu menggerubuti jantungnya yang berdetak lebih kencang. Pasang mata tertuju lekat padanya.
“Kamu grogi?”
“Iya, Yah.”
“Apa mau dibatalkan saja supaya tidak grogi?”
Pak Siswoyo mencoba menggoda putrinya. Spontan tangan mungil itu pun menepuk pundak Sang ayah penuh kegeraman. Namun meski begitu Arin mencoba terus untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Semua sudah dipersiapkan, bahkan kabar terakhir yang didengarnya dari sang ayah, keluarga Akhtar telah dalam perjalanan menuju rumah Arin.
***
“Cincin ini sebagai tanda bahwa Arin sudah dikhitbah oleh Akhtar, untuk menjaga dari hal yang tak diinginkan, tak boleh ada laki-laki yang ingin menjalin sebuah hubungan dengannya.”
Ibu Akhtar memakaikan cincin di jari manis Arin. Senyum pun menimpali. Langkah demi langkah telah dilalui. Dua orang yang memiliki rasa yang sama, namun masih belum bisa terucap. Dua insan yang mencuri pandang satu sama lain, seakan ingin berlama dalam sebuah tatapan cinta, namun waktu masih harus menjaga keduanya.
Alih-alih saat sebuah pembicaraan serius itu dilangsungkan. Arin mengunci mulutnya rapat. Dia sangat malu memposisikan dirinya di depan calon mertua dan juga calon suaminya. Padahal dia adalah gadis yang biasa menghadapi orang, wajahnya yang menghiasi layar kaca, kali ini terpatahkan hanya karena suatu hubungan yang akan dirajut untuk selamanya.
“Bagaimana dengan pernikahannya?” tanya pak Siswoyo kepada calon besannya.
“Niat suci alangkah baiknya disegerakan,” Jawab pak Khafid, ayahanda Akhtar.
“Saya setuju, tapi bagaimana dengan Akhtar dan Arin,” lanjut pak Siswoyo.
“Insya Allah saya siap, kapan pun itu,” terang Akhtar.
Jawaban Akhtar membuat Arin memicingkan matanya segera. Ulu hatinya seakan merintih. Di sisi lain dia bahagia, namun haruskan secepat itu dia akan melepas masa lajangnya. Semua mata kini tertuju pada Arin, menunggu jawaban yang akan disuguhkannya.
Suasana hening, terjeda sebuah jawaban yang ditunggu. Arin menarik napas panjang. Geletar-geletar asmara itu seakan mengikat rasa yang bersemayam di dadanya. Ketampanan Akhtar yang baru saja diliriknya membuat matanya terkesima, membuat jantungnya kembali bergeletar. Arin menutup matanya sejenak, seolah wajah sang ibu hadir dalam bayangannya. Tersenyum indah, seindah niat yang akan diikrarkannya.
“Bismillah, insya Allah saya siap.”
Kedua keluarga saling mendukung. Tawa indah tanda kebahagiaan itu pun mengiringi, tak lama keduanya pun bersepakat, satu bulan lagi akan dilangsungkan pernikahan Akhtar dan juga Arin, bertepatan dengan peringatan seribu hari meninggalnya ibunda Arin.
***
Ayuni mengurusi segala keperluan untuk pernikahan adiknya. Sampai detik ini dia pun menjadi penjembatan komunikasi antara Akhtar dan juga Arin. Segala sesuatu yang ingin dibicarakan pastilah melalui dirinya, bahkan saat pemilihan undangan, keduanya memilih dengan bantuan Ayuni.
Tak lama, sebanyak seribu undangan berwarna merah hati itu pun dipesan. Maklum saja, kedua keluarga sama–sama terpandang. Keluarga Akhtar yang notabene hidup di lingkungan pesantren, banyak wali santri dan juga beberapa ulama yang pastinya akan turut serta mendoakan pernikahannya. Sedangkan Arin, ayahnya yang memiliki jabatan di pemerintahan pastinya tak sedikit kenalannya. Belum lagi Arin sebagai publik figur dan Akhtar adalah seorang penulis n****+ terkenal.
Seminggu setelahnya, undangan telah jadi dan siap untuk disebar. Tak butuh waktu lama dalam jangka waktu tiga hari semua undangan telah berada di tuannya. Tak terkecuali Jihan. Perempuan yang menjadi sahabat karib Arin itu pun menjadi sangat terkejut. Perempuan itu segera mengambil ponselnya, lalu sedetik kemudian segera menelpon Arin.
“Kamu serius akan menikah dengan Akhtar Bilal Amani?”
“Iya, Jihan datanglah ke rumahku, aku butuh banyak bantuanmu.”
“Seorang novelis terkenal itu, Arin?”
“Iya Jihan, yang dulu mengembalikan dompetku yang terjatuh saat di Turki, apa kamu ingat?”
Jihan segera menutup ponselnya. Kunci mobil itu segera diraihnya. Pembicaraan yang tak kurang dari satu menit itu membuat Jihan bertanya-tanya. Lekat-lekat kembali dilihatnya nama mempelai laki-laki yang tertulis di undangan itu. Mata Jihan tiba-tiba berair. Dia segera menyekanya dengan cepat.
Mobil berwarna merah itu terparkir di depan halaman rumah Arin. Jihan mengambil bedak padat yang berada di dalam tas. Mencoba untuk menyamarkan sedikit mata sembab karena air mata yang menetes. Segera diaplikasikan pada wajah putih nan bersih tanpa bintang itu.
Membuka pintu mobil, melangkah dengan segera. Senyum simpul yang berhias kerudung berwarna ungu muda. Jihan segera mengetuk pintu dan kembali melirik sebuah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Masuk, Jihan. Aku menunggumu.”
Suara Arin membelah lamunan Jihan yang hanya sebentar. Lalu keduanya dengan cepat menuju ke sofa ruang tamu dan duduk dengan senyum bintang yang terang.
“Kamu benar akan menikah dengan Akhtar? Laki-laki yang dulu pernah satu kampus dengan kita di Turki?”
Arin mengangguk penuh senyum. Lalu meraih tangan sahabat dekatnya itu. Meminta sebuah doa agar rencana pernikahan itu dilancarkan. Jihan tersenyum, namun seperti ada rasa yang tertahan, yang masih dia kunci tanpa harus dikatakan.
“Aku sama sekali tak menyangka, Jihan. Bila laki-laki yang dulu pernah kita temui bersama, sekarang akan menjadi suamiku.”
“Selamat ya, semoga acaranya dilancarkan.”
Arin meraih tubuh langsing sahabat sekaligus rekan kerjanya itu. Merengkuh dan mendekap penuh erat. Kebahagiaan yang kini dirasakan Arin berharap mengundang rasa yang sama. Namun, pikiran Jihan seperti carut marut tak terkendali. Dia pun pamit undur diri. Sebuah alasan klise disampaikan bahwa Jihan akan bertemu dengan klien untuk membicarakan sebuah bisnis.
***
Jihan membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kristal itu menggenangi kedua matanya. sedetik kemudian, pipinya pun basah. Air mata itu menganak sungai. Bergidik dengan rasa yang tertahan. Hatinya seolah patah.
Betapa tidak. Jihan memiliki cinta yang terpendam. Terdiam tanpa mengatakan. Sejak pertemuan pertama dengan Akhtar. Sebuah rasa itu seakan tertinggal dan bersemayam dalam hatinya. Seorang laki-laki penulis n****+ itu telah membuat dirinya terjatuh dalam indahnya cinta. Dari sekian banyak n****+ karya Akhtar, tak satu pun yang terlewat untuk dibacanya. Namun berita tentang pernikahan sahabatnya kini membuat Jihan seolah tenggelam.
Cintanya akan hilang, bahkan harus dipaksa untuk dikubur selamanya. Menepis kenyataan yang tak seindah bayangannya. Dalam sujudnya nama Akhtar Bilal Amani selalu dipanjatkan dalam doanya. Namun Tuhan seakan berkata lain, cintanya pada Akhtar harus benar-benar dibuang jauh ke dasar lautan. Hatinya patah dan tangis itu terus mengalir hingga tubuhnya tenggelam dalam kesedihan.