Sebetulnya Esme juga pernah mengalami jatuh cinta yang naif ketika masih remaja. Tetapi keindahan yang dia rasakan tidak bertahan lama dan malah hancur lebur ketika tahu bila lelaki yang dia sukai mendua dan tidak cukup hanya dengannya saja. Karena itulah sejak putus dari pacar pertamanya, Esme mulai belajar untuk tidak mudah memberikan perasaan dan kepercayaan pada seseorang.
Esme tidak pernah menjadi korban permainan lelaki buaya darat disekitarnya, malah justru kini peran tersebut dibalik. Jujur saja, sejak berulah Esme merasa sangat puas dan cenderung ketagihan menghancurkan hati para lelaki playboy. Buat Esme, seseorang perlu memberikan lelaki macam itu sebuah pelajaran, yang setidaknya membuat mereka jera dan tidak bermain-main pada perempuan setelahnya.
Kalau soal tampang sebenarnya pria yang pernah dia cicipi kebanyakan pria-pria tampan bertubuh bagus, tetapi belakangan ini Esme memang menginginkan sesuatu yang berbeda. Pria yang kebanyakan menjadi rekan one night stand-nya biasanya tipikal para playboy kaya banyak mulut, terlalu mudah bagi Esme untuk menaklukan pria seperti itu karena Esme memiliki kecantikan yang bisa memikat mereka tetapi semua itu terlalu membosankan.
Esme menyentuh choker yang Jhon berikan kepadanya. Benda itu masih melekat dilehernya, padahal seharusnya Esme menanggalkan benda itu sebelum ke kantor. Tetapi entah bagaimana dia justru tak malu-malu memamerkan apa yang dia dapatkan kepada hal ramai. Terutama karena kenangan yang membekas antara choker ini dengan Jhon, pria yang begitu kompleks dan kelam tetapi sangat menarik perhatian. Pria itu terlalu pintar untuk menyembunyikan emosinya sendiri sehingga Esme kerap kali tidak bisa menduga apa saja yang hendak dia lakukan. Jhon bisa menjadi begitu kasar tetapi Esme juga bisa melihat kebaikan yang ada di dalam dirinya. Entah mengapa dia sama sekali tidak terganggu dengan fakta bahwa dia setuju menjadi property bagi pria itu dan membiarkannya melakukan hal-hal tabu.
“Apa yang akan Jhon lakukan padaku ya bila kami bertemu lagi?” ujarnya pada udara disekitar. Sadar betul bahwa hanya dia yang berada di ruangan itu sendirian. Dia juga mengecek ponselnya hanya untuk sekadar memastikan pria itu menghubunginya. Tetapi hingga saat ini tidak ada satu pesan atau pun panggilan baru yang datang membawa kabar dari Jhon. Pikiran Esme tiba-tiba merebak dan menjurus pada fantasi seksual yang kinky dan nyeleneh.
Ketika stress melanda terkadang lebih mudah mengalihkannya dengan pikiran kotor, dan mengingat sekarang dia sudah memiliki patner untuk pelepasan gairah. Esme rasa dia perlu membuat wish list tertentu yang bisa mereka praktekan. Terlebih Jhon adalah tipikal pria yang penurut, Esme rasa dia pasti bisa mewujudkan keinginan yang biasanya selalu dia pendam sendiri. Tidak ada yang bisa membuat Esme tercukupi, dan terpuaskan selama ini.
Melihat jam dinding di ruang kerjanya sudah menunjukan pukul enam sore, Esme sadar bahwa keberadaan karyawannnya sekarang sudah bisa dihitung jari. Bahkan sebagian besar sudah pulang karena jam kerja sudah habis satu jam yang lalu. Kini dia memiliki waktu untuk dinikmati sendirian.
Sekali lagi, Esme tenggelam dalam lamunannya sendiri. Bagian bawah tubuhnya terasa lembab ketika membayangkan kembali permainan pertama yang Jhon lakukan kepadanya. Wanita itu berniat untuk memuaskan hasratnya sekarang juga, mumpung kantor sudah sepi. Terlebih Esme juga butuh relaksasi sejenak sebelum lembur dan menyelesaikan sisa pekerjaannya malam itu.
Esme mendesah parau. Tenggelam dalam fantasi yang dia ciptakan, Esme tidak sadar ada seseorang yang mengetuk pintu ruang kerjanya bahkan telah masuk ke dalam karena tidak menerima sahutan.
“Ehem …”
Suara deheman maskulin serta merta membawa Esme kembali pada realitas, menyibak semua trance-nya dan membuat tubuh wanita itu tersentak dan langsung menurunkan kakinya dari meja. Kedua mata Esme membelalak lebar melihat sosok seorang pria yang mengganggu kegiatan nistanya.
Tepat di pintu ruang kerjanya, telah berdiri seorang pria berambut hitam dengan muka yang mirip sang mantan. Pria itu mengenakan stelan Armani yang meningkatkan maskulinitasnya. Eskpresi geli yang terpancar dari wajah tampannya saat itu seolah mengejek Esme yang sebal lantaran sesi klimaks yang nyaris dia rasakan terganggu akibat kedatangannya yang tidak diundang.
“Ar … thur?”
Esme bergegas merapikan kembali pakaiannya. Berusaha untuk bersikap tenang dan normal meski keberadaannya ditempat itu saja sudah sangat salah. Wajahnya merona semerah tomat, dia merasa malu lantaran kepergok melakukan kegiatan panas sendirian di jam pulang kantor.
“Sungguh, aku terkejut menemukan seorang calon CEO Enderson Company sedang bersenang-senang sendirian di ruang kerjanya,” komentar pria itu dengan nada bicara yang sangat menyebalkan.
“Mau apa kau datang kemari? Bukankah sekretarisku sudah mengirimkan pesan kalau kita sudah sepak membuat janji temu esok hari?” balas Esme dengan agresif, dia sudah cukup stress seharian ini dan memandang wajah Arthur adalah hal terakhir yang dia inginkan. Bertatap muka dengannya membuat Esme selalu emosi, apalagi bicara. Awalnya dia memang tidak punya dendam kesumat apa-apa pada Arthur, tapi sejak tahu ayahnya bilang bahwa pria dihadapannya ini akan jadi calon pendamping hidupnya, terus terang Esme jadi menanam kebencian padanya.
“Ya, rencananya begitu. Tetapi tadi siang aku meeting bersama ayahmu dan ayahku. Mereka berdua menyuruhku … ah, bukan. Lebih tepatnya mereka berdua memaksaku untuk menjemputmu pulang.”
Mendengar kata meeting dan ayah dalam satu kalimat membuat Esme memicingkan mata. Ekspresi masam langsung tercipta secara otomatis pada wajah cantiknya. “Atas dasar urusan apa? tidak ada kepentingan yang mendesak sehingga kau perlu menjemputku kemari. Dan lagi urusan kerja sama antara Enderson Company dengan Shelby Company sudah dihandle oleh Thomy. Kenapa tiba-tiba kau merangsek masuk dan terkesan mengambil alih?” tuding Esme to the point yang langsung membuat si pria memberikan senyuman manis.
“Aku hanya menjalankan perintah dari ayahku, untuk alasan dan detailnya kau mungkin bisa bertanya langsung pada ayahmu. Tetapi kita berdua sepertinya sama-sama bisa menduga bahwa segala hal yang terjadi diantara kita telah direncanakan sedemikian rupa.”
Esme mendesis dan mendecakan lidah. “Kau pikir hal-hal seperti ini masih lumrah? Kau mau menurut begitu saja? Kau ini laki-laki seharusnya kau bisa berbuat sesuatu! Ah … sial, mereka sudah gila karena menjodohkanku denganmu tiba-tiba seperti ini. Dengar ya Arthur, aku tidak tertarik padamu dan aku juga tidak punya niatan untuk menikah.”
Arthur hanya menaikan bahunya acuh tak acuh. “Aku pun begitu, kita sebenarnya ada dikapal yang sama kalau boleh kuingatkan. Aku pun tidak suka dengan perempuan barbar sepertimu. Tapi aku tidak bisa melawan ayahku dan terus terang kelakuanmu di pesta topeng tempo hari sedikit melukai pride-ku.”
“Aku tidak peduli dengan pride-mu. Lagi pula kalau kau memang benar dikapal yang sama kenapa kau tidak berbuat sesuatu? Kenapa hanya diam?”
“Begini, Esme. Bagaimana kalau kita pura-pura berkencan saja dan setelah semuanya kita tinggal bilang pada mereka bahwa kita tidak cocok, setidaknya sampai salah satu dari kita menemukan orang yang tepat untuk masing-masing. Apa pendapatmu?”