Kembali ke Rutinitas

1380 Kata
Esme kembali duduk di kursi kemudi untuk menyetir mengantar Jhon kembali pulang ke rumahnya. Persinggahan mereka tadi membawa kesan yang lumayan berarti. Esme hidup dalam dunia yang begitu nyaman dan bergelimpangan harta, sehingga begitu mendapati ada tempat kumuh semacam tadi seolah membuka matanya lebar-lebar bahwa dalam hidup ini ternyata kesusahan itu benar-benar dialami oleh orang dan bukan hanya sekadar yang terlihat di layar kaca. Potret kemiskinan yang dahulu kerap Esme abaikan dan tidak percayai, justru diperlihatkan Jhon sejelas-jelasnya tadi. “Jhon, kenapa kau memberi anak-anak itu makanan. Bukankah kau sendiri juga hidup susah?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Esme tidak mengerti jalan pikiran pria yang duduk disampingnya sekarang. Buatnya kenapa memberikan sesuatu pada oranglain saat diri sendiri saja kesusahan? Bagi Esme itu aneh malah bisa dibilang tindakan bodoh. “Saya cuma mau membantu meski tidak banyak yang bisa saya beri, mereka anak yatim piatu yang ditelantarkan begitu saja. Kalau bukan saya yang peduli, siapa lagi yang akan melakukan itu untuk mereka?” Jhon sebetulnya lebih pada mengerti betul bagaimana penderitaan anak-anak itu. Karena dia sendiri sebenarnya adalah mantan anak jalanan juga yang harus mengais-ngais makanan sisa ditempat sampah untuk bertahan hidup dulunya. Jadi, Jhon ingin memastikan mereka tidak bernasib seburuk dirinya. “Aku terkejut kau ternyata orang yang baik, atau mungkin naif?” sahut Esme mengungkapkan apa yang terlintas dikepalanya. Jhon terkekeh. “Memangnya apa image saya di matamu, Ms. Gorgeous?” “Entahlah, kurasa kau itu dingin, tidak berperasaan, manipulative, dan misterius.” Jawab sang nona besar menyebutkan satu persatu yang dia ingat tentang Jhon ketika mereka menghabiskan malam bersama dari bar. Lagi-lagi Jhon tertawa kecil. “Saya rasa kamu justru adalah si naifnya disini, kenapa kamu sangat mudah terperangkap dan setuju menjadi submissive bagi pria yang seburuk itu?” Untuk sementara Esme tidak menjawab pertanyaan Jhon, kebetulan pula mereka telah sampai di sekitar apartment pria itu. Esme memandang lekat-lekat kedua mata si pria berambut coklat, mencoba mencari celah menuju ke dalam hatinya dan menguak apa yang disembunyikan oleh si pria. “Aku juga tidak tahu, kurasa karena kau pria yang menarik dan aku terpesona padamu malam itu. Kau berbeda dan itu yang membuatku ingin mencoba.” Esme kemudian menyerahkan sebuah kartu nama pada Jhon, sebuah kartu nama dengan laminasi doff dan design yang cantic seolah menggambarkan sang pemilik. Jhon menatap benda itu lekat-lekat. “Aku akan menunggu panggilan darimu, jadi tolong simpan nomerku biar aku tidak usah repot-repot mendatangimu seperti ini,” ujar Esme kemudian. “Esme Enderson…,” gumam Jhon memanggil nama yang terukir di kartu nama itu dan Esme tersenyum. “Sampai jumpa lagi dikesempatan berikutnya, Jhon.” *** Kembali pada rutinitas sang nona besar, Esme kembali menduduki kursi ruang kerjanya sambil sibuk membaca satu persatu berkas yang menumpuk di meja. Sebagian besar berisi laporan penjualan, hasil survey, juga riset yang sedang dikembangkan untuk menjalankan ekspansi bisnis. Kebetulan Esme memang sedang termotivasi untuk membuat perusahaan semakin bergerak maju dan melampaui prestasi gemilang ayahnya, dan lagi ayahnya pernah bilang bahwa dia ingin segera pensiun sehingga pria itu ingin menyerahkan perusahaan kepada Esme ketika dia siap. Nasibnya yang terlahir sebagai putri tunggal Ethan Enderson membuat wanita itu tidak punya pilihan hidup lain selain daripada mengikuti bisnis keluarga yang sudah ada. Kalau boleh memilih sejujurnya Esme lebih suka terlibat langsung dalam kegiatan produksi seperti merancang sendiri busana untuk brand clothing Enderson dan menjadi modelnya sekaligus. Tetapi mengingat dia punya tanggung jawab lebih dan pekerjaan utamanya adalah untuk mengawasi jalannya perusahaan sekaligus memikirkan eskpansi, kegiatan yang dia suka hanya bisa dia lakoni sesekali. Management bukan style-nya karena bagi Esme itu agak membosankan dan hanya bisa tahan dilakukan oleh orang-orang kaku, yang tidak mencerminkan dirinya sama sekali. “Sampai kapan aku harus duduk disini? membosankan sekali! Arrghh … tulisan-tulisan ini membuatku muak!” “Mohon bersabar, Ms. Esme. Pekerjaan Anda bahkan baru dimulai.” Shion sang sekretaris tiba-tiba menyahut dan masuk ke dalam ruangan dengan setumpuk berkas baru di tangan. Esme langsung pasang muka masam, ketika berkas tersebut sudah berpindah ke mejanya yang telah selesai setengahnya dan kini upaya penyelesaian itu sepertinya sudah tidak lagi terlihat adanya. “Oh … ya Tuhan, kenapa kau harus membawa berkas sialan itu kemari sekarang?” keluh Esme. Sebetulnya keluhan macam itu lebih pada sisi tenang sang nona besar. Sebelumnya bahkan sang nona besar bisa mengamuk, galak, temperamental pada semua karyawan. Tetapi hari ini tampaknya dia sedikit jauh lebih rileks meski masih sesekali mengeluh ketika sedang bertugas. “Ini dokumen yang harus Anda periksa dan tanda tangani,” jelas Shion cuek, dia sama sekali tidak mengindahkan perkataan Esme sebelumnya. “Ini banyak sekali lho, Shion. Apa ada meeting juga hari ini?” Shion tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan bos cantiknya. “Tidak ada, tapi saya tadi dapat telepon dari asisten Arthur Shelby, dia bilang atasannya ingin bertemu denganmu secara pribadi untuk membicarakan soal kerja sama bisnis antara Enderson Company dengan Shelby Grup” Kening Esme kontan berkerut mendengar penjelasan dari sang sekretaris. “Aku sudah membicarakan hingga ke detail terkait kerja sama bisnis itu dengan Thomy adiknya. Kenapa dia mendadak turun tangan untuk urusan yang sudah selesai?” Shion menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu, mungkin saja dia hanya sedang cari-cari alasan untuk menemuimu. Terlebih aku heran padamu, kenapa dari semua pria elite yang ada di negara ini, kenapa kau tidak pernah sedikit pun punya ketertarikan untuk mendekati dan merayu Arthur Shely?” tanya Shion yang sudah mulai keluar dari mode kerjanya dan masuk ke mode sebagai sahabat. Esme tertawa, baginya pertanyaan Shion terdengar lucu dan menghibur di sesi penatnya sekarang ini. “Shion … kau ini buta ya? Arthur itu terlalu serius dan alim untuk diajak gila-gilaan. Singkat kata dia sama sekali bukan tipe ku. Kalau kau ada pembicaraan pribadi diluar konteks pekerjaan dengan asistennya. Kau bisa sampaikan apa yang aku katakan hari ini kepadanya. Dan, umm … untuk pertemuannya kau bisa sampaikan pada Arthur kalau aku akan menemui dia sehabis jam makan siang walau sebenarnya aku malas bertemu dia sih.” “Oke, aku sudah mencatat itu dikepalaku. Tapi ngomong-ngomong apa yang membuatmu terlihat sumringah? Apa ada yang terjadi selama weekend? Kudengar kau membawa seseorang di Pesta topeng pekan raya,” Sepertinya rencana pertunangan antara dia dan Arthur belum tercium publik, tapi gara-gara kemarin seharusnya sudah banyak gossip yang mengulas. Apalagi Arthur terang-terangan menyebut Esme sebagai ‘tunangan’. Yah, tapi lebih baik begini. Gara-gara kemarin pun sudah pasti rencana itu akan dibatalkan bukan? “Yup, bukan sekadar pria, tetapi pria yang bisa menyuguhkan pengalaman bercinta yang luar biasa menarik.” Shion menggelengkan kepala. Dia sudah sangat hafal prilaku sahabatnya tetapi kali ini tampaknya pria yang Esme temui terbilang dalam strata yang lumayan tinggi. “Esme, kapan kau akan serius dengan laki-laki? kau sudah tidak muda lagi. Bahkan aku saja sahabatmu sudah menikah dan punya anak satu. Tinggal tunggu giliranmu sampai kau berada di fase yang sama denganku. Aku rasa ayahmu tidak akan tinggal diam, dia pasti sudah menyiapkan jodoh untuk kau nikahi sekarang.” Esme mendecak sebal. “Iya aku tahu kalau kau sudah menikah, tapi hei … tolong jangan ajak-ajak aku untuk punya garis hidup yang sama sepertimu. Lagipula kau sudah tiba timmingku untuk menikah ya, tentu saja aku akan menikah. Tapi untuk sekarang aku belum tertarik jadi milik seorang pria saja untuk seumur hidupku. Kalau kau masih ingin memberiku ceramah tambahan, aku ingatkan pintu keluarnya ada disana,” tunjuk Esme pada pintu ruangannya, dia melakukan tingkah polah Jhon waktu itu padanya dan tidak mengira dia akan meniru kelakuan pria itu di tempat kerjanya begini. “Aku sudah hafal sih dengan perangaimu yang menyebalkan. Tapi jujur, hari ini kau dua kali lipat mengesalkan dari pada biasanya, Esme,” sahut Shion sambil lalu menuju ke pintu keluar dan memberi Esme jari tengah sebelum menghilang dari balik pintu. Esme tertawa dengan reaksi itu, tetapi sejurus kemudian tawanya memudar dan senyumnya menghilang. Dia menatap langit-langit ruang kerjanya dan merenung. Dia bosan dengan ceramah soal punya hubungan dengan pria secara serius dan memikirkan pernikahan hanya karena teman-temannya sudah ada ditahap itu duluan. “Justru kau yang menyebalkan, kenapa aku harus ikut sibuk memikirkan soal pernikahan hanya karena kau sudah menikah? Kenapa pula wanita tidak boleh bersenang-senang tanpa terikat komitmen seperti laki-laki? kau pikir mudah menemukan seorang pria baik-baik saat dunia ini saja sekarang isinya lebih banyak pria b******k pecinta lubang?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN