Sementara itu di rumah Diana.
“Kau dari mana saja, jam segini baru pulang?” Tanya Bima, suami Diana datar. Wajah tenang yang akan berubah menjadi bencana bagi Diana.
Tubuh kaku Diana yang berdiri mematung, bergetar.
“Maaf mas, jemputan Ana yang biasa tidak datang hari ini. Jad...” Ucapan Diana terpotong karena suara keras suaminya.
“Jadi kau malah diantar oleh orang lain dengan mobil mewah..!!!?” Diana menelan ludahnya ketakutan. Tetapi dia berusaha bersikap tenang.
“Mas ja..jangan salah paham dulu, itu bukan orang lain.. it..” lagi-lagi Diana tidak bisa meneruskan penjelasannya.
“Oh jadi bukan orang lain ya? Jadi itu siapa, selingkuhanmu?” suara Bima berubah tenang, tapi itu justru fase bahayanya.
“Bukan mas..bukan. Dia itu salah satu siswaku di sekolah. Dia merasa tidak tega melihatku menunggu sendiri, jadi dia mengantarku pulang.” Jelas Diana dalam ketakutannya. Kalau suami gilanya ini tidak juga percaya ucapannya maka tamatlah riwayatnya.
Bima terdiam, dia terlihat memikirkan sesuatu. Dia kemudian menatap Diana dan beranjak dari duduknya, menghampiri Diana yang masih berdiri membeku. Dengan kasar Bima mencengkeram dagu Diana dan memaksanya menatap wajah hitam sangarnya. Kuatnya cengkeraman tangan Bima di wajahnya membuat air matanya luruh karena menahan sakit.
“Ingat, aku tidak suka di bohongi. Kau tentunya sudah terbiasa kan dengan hukumanmu. Itu bukan apa-apa jika di bandingkan dengan apa yang akan kau rasakan jika aku mendapatimu berbohong.
Kau beruntung karena hari ini aku percaya ucapanmu, tapi jangan harap di lain waktu kau akan mendapatkan keberuntungan ini.” Ucap Bima lalu melepaskan cengkeramannya dan meninggalkan Diana yang masih berdiri terpaku dengan wajah yang memerah.
Diana menghembuskan napas lega, setidaknya hari ini dia selamat. Entah sampai kapan penderitaan hidupnya akan berakhir. Kenapa nasibnya harus sepahit ini untuk seumur hidupnya? Apakah memang ini takdir yang harus dia jalani sampai ajal menjemputnya? Air matanya yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah tanpa bisa terbendung lagi. Kesengsaraan jiwa dan raganya bahkan sudah melewati batasannya tapi Tuhan sepertinya masih ingin melihatnya lebih tersiksa lagi.
Sudah berapa kali Diana mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri tapi tidak sekalipun berhasil. Suaminya akan punya berjuta cara untuk mencegahnya melakukan hai itu untuk kembali menyiksanya. Sehingga Diana seolah terperangkap dalam neraka yang akan mengikis hidupnya sedikit demi sedikit sampai akhirnya dia benar-benar akan mati tanpa sisa. Jika saja kematian mudah untuknya dia akan sangat bersyukur.
Lama dia meratapi nasib buruknya sampai bunyi getaran ponselnya membuatnya kembali tersadar. Dia lalu melihat dilayar ponselnya panggilan dari rumah sakit. Diana langsung berusaha menormalkan suaranya dan buru-buru menjawab panggilan itu.
“Halo..” ucapnya dengan suara yang masih sedikit bergetar.
“Halo Diana, ibumu ingin bicara.” Suara seorang wanita terdengar.
“Iya Sus.” Jawab Diana sambil buru-buru menghapus air matanya.
“Halo Diana?” suara lemah ibunya terdengar dari ponsel di telinganya. Suara lemah itu satu-satunya harapan kenapa dia masih tetap bertahan berada dalam kungkungan suaminya yang tidak berperasaan. Penyakit kangker darah yang di derita ibunyamemaksa Diana menerima kesepakatan nikah dengan orang yang dia tidak kenal sebelumnya.
“Iya Bu, ibu baik-baik aja kan di sana. Maaf, hari ini Ana tidak sempat mengunjungi Ibu karena sangat sibuk.” Ucap Diana sambil berusaha menahan air matanya. Jangan sampai ibunya tahu kalau dia sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Selama ini ibunya berpikir kalau hidup Diana bahagia dengan Bima. Karena yang dia tahu, Bima lah yang telah bermurah hati telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk pengobatannya. Ibunya sama sekali tidak mengetahui jika semenjak putrinya menikah setahun yang lalu, Diana tidak pernah merasakan ketenangan. Hidupnya jauh dari kata bahagia.
“Iya, nduk. Ibu baik-baik saja di sini. Kau istirahat saja ya. Kamu juga jaga diri baik-baik. Jangan membantah kata suami. Bima itu orang baik, kamu harus selalu menghormati suamimu ya, nduk.” Tutur sang ibu.
“Iggih Bu, Ana akan ingat pesan ibu, jaga kesehatan ya. Kalau ada waktu nanti Ana akan berkunjung”. Jawab Diana sambil menggigit bibir menahan air matanya. Ibu, andai kau tahu yang sebenarnya. Batinnya.
Keesokan harinya, setelah menyelesaikan rutinitas rumah tangga seperti biasa, Diana bersiap untuk ke sekolah. Tidak seperti biasa, suaminya dalam sebulan ini tidak pernah mengganggunya lagi di malam hari. Dan itu membuatnya sangat bersyukur, seperti halnya tadi malam. Bima juga sama sekali tidak pulang, bahkan sampai sekarang. Tetapi Diana sama sekali tidak peduli, dia malah merasa senang Bima tidak ada di rumah. Kalau bisa jangan pernah pulang sekalian.
Dengan wajah segar dia keluar dari kamar mandi, menuju lemari pakaian. Dia memilih baju pink dan rok putih tulang lalu memakainya, rambutnya yang masih tergerai panjang sebahu di ikatnya dengan rapi kemudian dibungkus oleh jilbab cantik bermotif bunga. Diana begitu anggun dan cantik. Wajahnya yang hanya di poles dengan makeup sederhana semakin membuat keindahan alaminya terpancar. Setelah siap dia lalu keluar kamar menuju meja makan.
“Selamat pagi, nyonya kelihatan sangat cantik seperti biasa.” Sapa bi Mun dengan senyumnya.
“Pagi, Bi. Hari ini masakan Bibi juga sangat enak seperti biasa.” Balas Diana sambil menyantap makanannya.
“Ah nyonya selalu gitu kalau di puji. Nyonya tahu tidak, nyonya itu kalau di bandingkan dengan anak sekolahan eh..atau siswa nyonya deh. Ga ada bedanya. Bahkan kalau nyonya berseragam sekolah bisa lebih cantik dari mereka.” Seloroh Bi Mun dengan jujur. Sontak saja air yang tadinya ingin masuk ke kerongkongan Diana langsung tertahan sehingga air hampir menyembur keluar dari mulutnya. Diana kaget mendengar ucapan ngawur bi Mun tadi.
“Aduh Bi, hampir saja aku tersedak mendengar ucapan aneh bibi. Ada-ada saja.” Ucapnya Diana.
“Ini beneran loh Nya. Nyonya itu sangat cantik.” Ucap Bin Mun lagi.
“Iya deh terserah bibi saja. Aku ke sekolah dulu ya.” Ucap Diana kemudian melangkah menuju pintu depan. Seperti biasa dia menunggu jemputan ojek online untuk mengantarnya ke sekolah. Semalam Dia mendapat kabar kalau tukang ojek langganannya untuk sementara waktu tidak bisa mengantarnya dulu karena anaknya sakit, jadi terpaksa Diana menghubungi ojek online yang lain.
Dia terlihat masih sibuk menunggu jemputan sambil menunduk mengetik sesuatu di ponselnya ketika sebuah mobil Merci hitam berhenti tepat di hadapannya.
“Selamat pagi, Miss Diana.” Sapa seseorang di balik jendela mobil. Serta merta Diana mengangkat wajahnya dan melihat Gio sudah tersenyum ke arahnya.
“Gio..?! Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya bingung. Kenapa anak ini tidak langsung le sekolah saja. Malah main ke sini segala.
“Ya mau jemput Miss lah, ayo naik.” Jawab Gio dengan enteng. Dia bahkan sudah membukakan pintu mobil untuk Diana masuk dan duduk di sebelahnya.
Sontak Diana kaget.
“Apa? Kau..kau menjemput Miss? Tapi kan saya tidak minta? Lagi pula ojol sebentar lagi datang. Kasian kalau orderannya di batalkan.” Elaknya heran.
“Sudah, itu tidak usah di pikirkan. Miss masuk dulu, sisanya biar saya yang bereskan.” Jawab Gio seenaknya. Diana hanya menggeleng tidak mengerti.
Tidal lama kemudian sang ojek online pesanan Diana datang. Melihat Diana yang tampaknya akan menaiki mobil mewah itu membuat sang driver merasa kecewa.
“Jadi gimana dong Nona, jadi gak nih?” tanyanya tanpa semangat.
Mendengar itu Gio langsung mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dan di serahkan kepada sang driver.
“Apa ini sudah cukup? Kembaliannya kau ambil saja." Ucapnya.
Wajah suram sang driver berubah ceria seketika. Dia menerima uang itu dengan senyum lebar.
“Terima kasih ya, wah ini lebih dari cukup. Pacarmu sangat baik Nona. Baiklah saya permisi.” Tanpa sempat mendengar protes keras dari Diana, ojek online itu pun melaju meninggalkan mereka berdua.
“Dasar tukang ojek itu, bisa-bisanya dia menganggapku pacarmu. Pacar dari mana coba, apa matanya rabun? Dasar.” Ucap Diana morang-maring. Sedangkan Gio hanya menahan senyumnya. Di dalam lubuk hatinya dia merasa senang dengan ucapan driver ojol tadi.
“Ya sudah Miss, jangan di pikirkan. Dia kan gak tau, ayo masuk, nanti keburu telat loh nugguin Miss marah-marah.” Ucao Gio bercanda. Diana hanya mendelik sebal ke arah Gio. Tapi baru saja Diana akan masuk ke dalam mobil, tiba-tiba sebuah mobil merah berhenti tepat di hadapan mobil Gio.
Pintu mobil itu terbuka dan muncullah seorang pria bertubuh jangkung dengan tatapan dingin melangkah ke arah mereka.
“Mas Bima?!”