Ulah Edo

1299 Kata
Andin melotot saat seorang guru pria berjalan mendekatinya, sedangkan Edo hanya cengengesan. Dia tau banget apa yang akan guru pria itu lakukan setelah menangkap mereka berdua dengan keadaan seperti itu. “Apa kata-kata Edo benar?” tanya pak guru. Andin masih dalam mode bingung dan juga shock. “Enggak, i—itu sama sekali nggak benar. Ini anak bohong, Pak.” Andin membela dirinya. “Pak, aku ini ganteng. Bapak tau ndiri, fans aku itu banyak. Termasuk siswi baru ini. Dia udah dua kali ciuman kek gini sama aku lho Pak.” Andin melotot, Edo makin nggak waras aja, keknya nih anak emang jebolan RSJ, udah super narsis. Omongannya makin nggak jelas juga. “Pak, dia bohong banget. Dia nyium aku secara paksa!” sergah Andin. Pak guru geleng kepala. “Bapak nggak peduli! entah itu paksaan atau apa! yang jelas kelakuan kalian tidak mencerminkan kelakuan seorang pelajar. Saya tidak bisa mentolelir tindakan kalian. Keluar dari kelas saya!” usir Pak guru. Andin geleng kepala. “Pak, tolong. Sayan benar-benar nggak bersalah. Ini murni keisengan nih anak.” Andin menunjuk kearah Edo. “Keluar!” seru pak guru mutlak. Namanya juga Edo, dia dengan senang hati berjalan melenggok keluar kelas. Melempar tas dia ke Febian. Langsung ditangkap oleh Febian. Andin masih diam di tempatnya. Pak guru menatap tajam Andin. “Kamu kenapa masih berdiri di situ! Keluar sekarang!” usir si guru. “Pak, Andin nggak bersalah. Ini murni ulah Edo.” Lusi berusaha membela Andin. “Kamu mau keluar juga? silahkan ikut saja …” Pak guru menunjukkan pintu untuk Lusi. Nyali Lusi langsung menciut denger ucapan si guru. Dia lebih memilih untuk diam. “Kamu keluar sekarang!” Masih saja nih guru ngusir Andin. Tanpa protes lagi, Andin terpaksa keluar dari kelasnya. Menyerahkan tas dia ke Lusi. “Pak! kita nggak di suruh keluar juga!” Celetok Leo. Langsung dapat tatapan tajam dari pak guru. “Kalau kalian ingin dikeluarkan, silahkan …” ujar si guru. Febian narik tas Leo. Memberi isyarat ke dia untuk tetap berada di dalam kelas. *** Andin dengan sangat terpaksa berdiri di depan kelasnya bersama dengan Edo. Emang sial sekali nasib dia hari ini, udah dikeluarin dari kelas. Masih juga di suruh berdiri di depan kelasnya. Emang dasar apes! Andin melirik sinis Edo yang tengah tersenyum mengejek ke arahnya. “Napa lo Markonah! masih berani ngelawan gue!” sinis Edo. Andin makin geram dengan tingkah menjengkelkan Edo. “Diem lo Import! Dua kali lo seenak jidat nyium gue, kalau lo berani dan punya nyali, lo hadepin gue setelah pulang sekolah.” Edo tersenyum sinis saat mendengar ucapan Andin. “Gue Cowok sejati, nggak ada dalam kamus gue ngelawan Cewek, apalagi Cewek cengeng model kek lo!” Andin makin dibuat geram dengan kata-kata Edo. “Import! Dengerin ya … gue ini bukan Cewek cengeng kek omongan lo tadi. Apa jangan-jangan lo takut sama gue!” Ini Andin pe-de banget, Edo mana ada takut sama orang lain. Edo sedikit membungkuk, mendekatkan wajahnya dengan wajah Andin. Merasa terancam, Andin sedikit mundur. “Dengerin gue ya Markonah, nggak ada istilah takut dalam kamus seorang Edo. Cewek itu buat enak-enakkan, bukan untuk di pukul!” Edo kembali berdiri tegak. Meninggalkan Andin yang masih berdiri di depan kelas dengan ekspresi sebalnya. Pengen banget Andin nimpuk wajah Edo yang sangat amat menyebalkan. “Eh, itu demit mau kemana …” gumam Andin. Yang heran aja sama Edo yang kelihatan santai banget. *** Ini Edo emang sepertinya kebal banget sama namanaya hukuman dari guru. Di suruh berdiri di depan kelasnya, dia malah sengaja banget pergi ke kantin. Emang anak super bandel. Ibu kantin yang emang sudah hafal banget dengan ulah Edo, nggak ngerasa heran lagi. Langsung bertanya sama Edo. “Lho, Nak Edo sendirian? mau pesen apa?” Meskipun Edo pecicilan dengan anak seusianya. Tapi Edo cenderung akan bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua, tak terkecuali dengan Papanya yang emang sudah membuat Edo kecewa. “Iya, Bu. Seperti biasanya, saya pesen soto sama jeruk anget.” Hanya bericara seperlunya saja. Edo memilih sebuah tempat duduk. Karena emang ini jam pelajaran, makanya kantin sepi. Ibu kantin langsung membuatkan pesenan Edo, mengantar pesenan Edo ke tempat Edo duduk. Kalau kantin sepi gini, pasti pesenan di antar ibu ke tempat duduk Edo. Edo tersenyum ramah. “Makasih, Bu.” Ibu kantin membalas ramah senyuman Edo. “Sama-sama, Nak Edo.” Karena emang lapar, tadi pagi tidak sempat sarapan di rumahnya. Edo langsung melahap makanan yang dia pesan. Seorang cewek berseragam olah raga mendekati Edo. Duduk di depan Edo, seperti biasanya … Edo nggak peduli. Si cewek tetap saja mendekatinya. “Lo nggak ikut pelajaran, Do?” Edo diam, asyik menikmati makanannya. Si cewek mencebikkan mulutnya. “Do, jawab pertanyaan gue!” Edo melirik sebentar. “Lo nggak lihat, gue lagi makan!” Ini orang emang ketus banget. Si Cewek tersenyum. “Iya, gue lihat lo lagi makan, lo kenapa lagi. Sampai nggak ikut pelajaran?” Edo tersenyum sinis. “Lah lo juga ngapain di sini, ini jam pelajaran juga, meskipun olah raga ‘kan?” Bukannya menjawab pertanyaan. Ini anak malah balik nanya. “I—iya juga sih. Tadi aku ijin mo ke belakang, ternyata liht kamu di sini. Langsung aja aku samperin kamu ke sini.” “Lo kurang kerjaan ya Mir. Ngapain juga nyamperin gue ke sini!” Ini orang ketus banget. Cewek yang ternyata bernama Mira, hanya bisa ngelus dadanya. Edo emang terkenal bermulut pedas, apalagi dengan cewek yang nyata-nyata suka padanya. “Galak banget sih, Do.” “Emang! Masalah buat lo!” Makin ketus aja si Edo. Karena merasa nggak enak aja dengan ibu kantin yang kadang menatapnya, Mira akhirnya memilih pergi dari hadapan Eďo. “Gue duluan,” ucap Mira. “Serah lo!” Ini mulut emang kejem banget, yinggal bilang ‘ya’ aja kenapa. Mira pun pergi dengan hati yang kesal bukan main. Edo diam-diam menyunggingkan senyumnya. Beda banget dengan anak baru yang namanya … eh, sapa nama anak baru yang dia panggil Markonah. Au ah! Edo lupa nama anak itu. Intinya, tuh cewek beda banget dengan para cewek yang selalu memujanya. Edo yang sudah selesai dengan sarapannya, berjalan mendekati ibu kantin, ngambil minuman jus jeruk. Ngambil satu lembar uang kertas berwarna merah dan menyerahkanya pada ibu kantin. “Ambil aja kembaliannya.” Itulah yang selulu Edo lakukan. Ibu kantin tersenyum. “Makasih Nak Edo.” Edo hanya mengangguk, untuk selanjutmya dia pergi meninggalkan kantin. *** Sudah hampir satu jam Andin berdiri di depan kelasnya, belum ada tanda-tanda tuh guru matematika keluar dari kelasnya. Kakinya bener-bener ngerasa pegel banget. Mana si import pergi entah kemana? pokoknya setelah ini dia bakalan minta uang sama Papanya. Biar nggak ditagih terus sama si import sialan. Dan dia bisa terbebas dari import yang selalu saja ada di sekitarnya. “Nih, minum!” Baru saja Andin selesai berhenti berandai-andai, tiba-tiba saja import datang, dan yang bikin kesel … Edo menyodorkan minuman kotak dingin tepat di dadanya. Andin melotot, tapi nerima juga pemberian Edo. “Bisa nggak! ngasihnya yang bener dikit. Nih dadanya gue kediginan!” Andin mengucapkannya dengan menunjukkan dadanya. Otomatis Edo langsung terbayang benda kenyal yang tadi pagi dia pegang. Wajah Andin merona, dia langsung nangkep apa yang Edo fikirkan. Langsung aja Andin menutup dadanya. “Dasar playboy! mesummnya nggak ketulungan!” kesal Andin. Edo terbahak, sumpah nih cewek tomboy yang kelihatan feminim banget, bikin dia terhibur dengan tingkah lucunya. Dan satu yang bikin Edo geli, udah marah-marah nggak jelas, minuman yang dia kasih langsung aja di minum sama Andin. “Yah, habis!” celetuk Edo. “Terserah gue, orang minumannya udah lo kasih ke gue.” Ini Andin emang nggak ada jaim-jaimnya sama Edo. “Lo itu lucu!” “Emang gue tukang lawak!” ketus Andin. Lah kok jadi kebalik, yang ketus malah Andin, bukannya Edo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN