BAB 10 - Menghilang

1568 Kata
Halo, Fellas. Kembali lagi dengan cerita bertema remaja dan misteri dariku. Berharap kalian menyukainya. Akan sangat menyenangkan jika kalian dapat menyukai dan memberikan komentar membangun pada ceritaku yang berjudul "Ten Reasons Why She's Gone." ini. Atas kekurangan yang akan kalian temukan dalam cerita ini, penulis memohon maaf. Terima kasih. *** • Selamat Membaca • Hari menghilangnya Valerie. Suara alarm yang berbunyi dengan keras secara berulang, seharusnya membangunkan sang pemiliknya. Namun, penghuni di kamar lain lah yang justru terbangun. Wina terusik setelah indera pendengarannya menerima musik-musik keras yang diingatnya memang sengaja dipasang Valerie sebagai alat untuk membantunya bangun. Alarm di jam beker. Perlahan wanita yang tidur di kamarnya sendirian itupun membuka matanya. Ia terbangun dari tidur yang memang tak pernah nyenyak akhir-akhir ini karena memikirkan proses perceraiannya dengan Edwin. Matanya yang bulat pun mengerjap beberapa kali, memastikan bahwa sang pemilik alarm tersebut memang enggan beranjak hanya untuk sekadar mematikan bunyi berisik itu. "Valerie belum bangun atau gimana ya, tumben," batinnya. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, Wina pun bangkit dari ranjang besarnya yang kini ia gunakan sendirian. Sejak pertengkaran dan isu perselingkuhan yang melanda rumah tangganya, Edwin memang jarang pulang ke rumah. Sekalinya pria itu pulang, mereka sudah tak lagi tidur bersama, di ranjang yang sama. Wanita bertubuh kurus itupun menarik kardigan abu-abu yang menggantung di balik pintu dan memakainya untuk menutupi piyama tidur berbahan tipis. Ia kemudian membuka pintu dan tak menemukan tanda-tanda keberadaan semua orang. Ia tak peduli apakah Edwin masih tidur di kamar tamu atau sudah berangkat lagi. Wanita itu sejatinya telah berusaha membiasakan diri untuk menganggap sang suami tak lagi di sisinya, agar perpisahan yang suatu hari nanti pasti akan terjadi, tak menyebabkan bekas luka yang lebih parah di dalam hati. Langkahnya pun terhenti di depan pintu kamar Valerie. Ia menarik napas karena keributan yang dibuat anaknya pagi-pagi begini. Dan untuk beberapa waktu setelahnya, Wina pun mengetuk pintu. "Val, bangun. Alarm kamu udah bunyi terus, tuh." Namun tidak ada jawaban dari dalam sana. "Valerie?" "Val, ayo bangun. Alarm kamu berisik banget. Bangun terus matiin alarm kamu ya." Pintu itu tak bergerak sedikitpun, sedangkan bunyi berisik yang berasal dari dalam kamar sama sekali enggan untuk menyerah. Yang ternyata juga membuat Edwin terbangun dari tidurnya yang tak begitu lelap. Ia menghampiri Wina untuk memastikan situasi. Masih dengan piyama tidurnya itu, Edwin pun menghampiri Wina. "Ada apa, sih? Valerie belum bangun?" Wina mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Baru kali ini Valerie nggak bangun-bangun. Udah diketuk beberapa kali juga, tetap nggak ada jawaban." "Coba biar sama saya," kata Edwin. Wanita itu bergeser, sedikit memundurkan langkahnya agar sang suami dapat dengan mudah memeriksa. Edwin pun mencoba melakukan apa yang dilakukan oleh Wina. Ia mengetuk pintu, kali ini dengan sedikit lebih keras. "Valerie?" Tidak ada respon apapun. "Val, bangun. Udah siang ini. Nanti kamu kesiangan." "Valerie?" Wina pun menyela. "Tuh, benar kata aku 'kan. Ini tumben-tumbenan Valerie kaya gini. Apa jangan-jangan ada sesuatu?" Edwin mendesah pendek. "Ah, pikiranmu itu suka kemana-mana. Coba kita masuk aja." Dengan sangat perlahan dan berhati-hati, Edwin pun menggerakkan gagang pintu yang kini digenggamnya. Sejujurnya, ia merasa tak enak karena tak pernah melakukan ini sebelumnya. Masuk ke dalam kamar sang anak tanpa seizinnya, padahal mereka sudah membuat kesepakatan privasi terlebih dahulu. Edwin telah melanggar kesepakatan itu, tetapi ia berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dilakukannya saat ini adalah untuk hal yang baik. Begitu pintu berhasil dibuka, perasaan Edwin justru berubah tak enak. Ia pun melihat Wina yang masih berdiri di belakangnya dengan penuh rasa penasaran. "Pintunya nggak dikunci." "Tuh 'kan. Benar-benar aneh. Yaudah ayo masuk." Edwin mengangguk setuju. Rasa percaya dirinya meningkat, karena setidaknya ada seseorang yang akan membelanya jika Valerie marah karena batas privasinya telah dilanggar oleh seseorang. Pria dengan baju tidur abu-abunya itu pun mendorong pintu kayu di hadapannya dan pemandangan mengerikan segera menyambutnya. Kamar Valerie yang diketahuinya selalu rapi, kini tampak sangat berantakan. Barang-barang berserakan di lantai, beberapa elektronik seperti televisi, remot AC dan printer tampak rusak seperti habis dipukuli atau dijatuhkan berkali-kali. "Ap-apaan ini, Win?!" Wina menutup mulut dengan kedua tangannya. Mereka berdua pun masuk ke dalam Valerie secara perlahan. Berhati-hati karena banyak beling di lantai. Semua barang tampak sangat berantakan, seperti telah terjadi keributan besar tadi malam dan kedua orang itu sama sekali tak menyadarinya. Wina pun menarik selimut tebal yang menutupi seluruh bagian ranjang dan tak menemukan Valerie di sana. Hanya ada guling yang ditutupi seolah-olah itu adalah Valerie. Edwin memeriksa beberapa barang berharga di kamar itu dan mendapati semuanya menghilang. "Apa ini perampokan?" tanya Edwin. "Valerie nggak mungkin kabur dari rumah, 'kan?" Wina tiba-tiba saja berteriak. "Win! Edwin!" Yang sontak saja membuat pria itu berlari menghampiri Wina di sudut kamar. Ia yang sangat penasaran pun langsung menemukan sebuah petunjuk tanpa perlu repot-repot bertanya kepada Wina. Ada banyak darah di sisi lain tempat tidur. Ia pun melihat Wina dan berkata, "Kamu telpon Mama, coba tanya Valerie ada di sana atau enggak. Aku juga bakal cek ke rumah orang tuaku. Kalau Valerie nggak ada dimana-mana, artinya ... ini memang kejahatan." "Oke. Aku tanya sama Bi Inah dan Pak Jaka dulu." "Yaudah aku langsung berangkat sekarang." "Oke." Dan mereka berdua pun pergi mencari Valerie dengan melupakan masalah masing-masing untuk sejenak. Sayangnya, kemanapun mereka melangkah, tak ada petunjuk tentang keberadaan gadis itu. Bahkan meski Bi Inah dan Pak Jaka turut berkeliling kota untuk mencari, Valerie tetap menghilang. Dan setelah dua puluh empat jam, Valerie pun dinyatakan telah menghilang. Edwin tak pergi ke rumah sakit. Pikirannya terlalu kalut memikirkan putri sematawayangnya pergi. Karena bisa saja gadis itu melarikan diri dari rumah karena sikapnya yang berlebihan di hari sebelumnya. Seandainya pun Valerie memang diculik, Edwin juga merasa menyesal karena tak bisa menyelamatkannya padahal mereka berada di kamar yang sama. Pula dengan Wina. Ia tak bisa pergi ke kantornya. Berurusan dengan klien dan para model hanya akan membuat otaknya berputar hebat. Ia menangis sepanjang malam dan enggan menyentuh makanan yang sudah disiapkan oleh Bi Ina. Keluarga ini sudah hampir hancur, tetapi kepergian Valerie telah membuat mereka lebih menderita. Untuk kali pertama, Edwin dan Wina menyesali perbuatan mereka sendiri kepada Valerie. Anak mereka yang tak tahu apa-apa, tapi harus terkena imbasnya hanya karena keegoisan mereka untuk saling berpisah dan mementingkan perasaan mereka masing-masing. "Kamu mau kemana?" tanya Wina dengan nada suara yang sudah lirih. "Aku mau cari Valerie lagi." "Tapi kamu udah cari Valerie dari kemarin." Wina pun beranjak. "Biar aku aja. Kamu kalau mau ke rumah sakit, berangkat aja." Namun belum sempat wanita itu bergerak, tubuhnya sudah lebih dahulu jatuh ke pelukan Edwin. Matanya tertutup dan Wina kehilangan kesadarannya. "Wina!" *** INFO TIME. Perceraian tidak hanya menjadi keputusan terberat dan menguras emosi bagi orangtua yang menjalaninya, tapi anak-anak pun juga bisa terkena imbasnya. Perceraian orangtua ternyata dapat memberi dampak besar pada anak, terutama bagi kesehatan mentalnya. Anak-anak pastinya ingin memiliki orangtua yang lengkap, saling menyayangi, dan selalu ada untuk mendukungnya. Namun sayangnya, perceraian kadang-kadang tidak bisa dihindari sebagai satu-satunya solusi atas permasalahan rumah tangga yang dialami orangtua. Namun, sebelum memutuskan untuk bercerai, ada baiknya orangtua mempertimbangkan perasaan anak. Sebab, perceraian dapat memengaruhi psikologis anak, bahkan tidak jarang menyebabkan gangguan mental pada anak. Dampak Perceraian Orangtua pada Kesehatan Mental Anak Dilansir dari laman Verywell Family, penelitian menemukan bahwa anak-anak mengalami kesulitan paling berat dalam satu atau dua tahun pertama setelah perceraian orangtuanya. Mereka cenderung merasa tertekan, marah, cemas, dan tidak percaya. Perceraian juga meningkatkan risiko masalah kesehatan pada anak-anak dan remaja. Terlepas dari usia, jenis kelamin, dan budaya, anak-anak yang orangtuanya bercerai mengalami peningkatan masalah psikologis. Namun, penelitian juga menemukan tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi pada anak-anak dari orangtua yang bercerai. Banyak anak dapat bangkit kembali setelah mengalami kesedihan yang mendalam atas perceraian orangtuanya. Mereka dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dalam rutinitas harian mereka dan merasa nyaman dengan keadaan yang baru. Pada beberapa anak lainnya, mereka mungkin tidak akan pernah benar-benar kembali pulih setelah menghadapi perceraian orangtua mereka. Hal itu karena dampak perceraian pada tiap anak bisa berbeda-beda. Dilansir dari The Guardian, sebuah penelitian menemukan bahwa dampak perceraian orangtua pada kondisi mental anak ternyata juga ditentukan oleh usia. Perceraian orangtua nampaknya berdampak lebih besar pada anak yang berusia setidaknya 7 tahun ketika hal itu terjadi. Anak-anak yang berada di antara usia 7 hingga 14 tahun saat orangtua berpisah, berisiko 16 persen lebih tinggi mengembangkan masalah emosional, seperti kecemasan dan gejala depresi, serta berisiko 8 persen lebih tinggi dalam mengembangkan gangguan perilaku. Sebaliknya, perceraian yang terjadi saat anak masih berada di bawah usia 7 tahun dinilai tidak terlalu berdampak pada kondisi mental anak. Anak-anak yang orangtuanya berpisah saat mereka masih berada di usia antara 3 hingga 7 tahun lebih kecil kemungkinannya untuk mengembangkan masalah emosional tersebut. Dampak perceraian dirasakan lebih besar oleh anak-anak yang berusia di antara 7 hingga 14 tahun, karena pada usia tersebut, mereka sudah mulai mengenal pola hubungan manusia. Mereka sudah bisa mengerti bahwa perceraian membuat mereka harus kehilangan sosok orangtua, dan hal itu bisa memengaruhi jiwanya. Selain itu, kesehatan mental anak juga bisa terganggu bila anak menjadi sasaran emosi orangtua, terutama selama proses perceraian berlangsung. Ada banyak hal dari perceraian yang memengaruhi anak secara psikologis. Berkurangnya kedekatan dengan salah satu orangtua dan berkurangnya kasih sayang dari orangtua setelah perceraian adalah beberapa di antaranya. Namun, bagi beberapa anak perpisahan dengan orangtua bukan bagian tersulit. Hal-hal yang menyertainya itu yang membuat perceraian menjadi paling sulit, seperti harus pindah sekolah, pindah ke rumah baru, dan tinggal dengan orangtua tunggal yang juga merasa lelah dan stres. Itulah dampak perceraian orangtua pada kesehatan mental anak yang perlu diketahui.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN