BAB 8 - Mencari Jalan Keluar

1102 Kata
Halo, Fellas. Kembali lagi dengan cerita bertema remaja dan misteri dariku. Berharap kalian menyukainya. Akan sangat menyenangkan jika kalian dapat menyukai dan memberikan komentar membangun pada ceritaku yang berjudul "Ten Reasons Why She's Gone." ini. Atas kekurangan yang akan kalian temukan dalam cerita ini, penulis memohon maaf. Terima kasih. *** • Selamat Membaca • Dua Hari Sebelum Menghilangnya Valerie. Setelah mengeluarkan unek-uneknya tersebut, Valerie pun keluar dari kelas. Ia bahkan tak peduli dengan Abigail yang meringis dan berteriak kepadanya karena gadis yang merupakan salah satu murid berprestasi itu telah menabrak bahunya sebelum benar-benar pergi. Sudah sejak lama Abigail membenci Valerie. Sedangkan Valerie, memang tak pernah peduli kepada siapapun. Usut punya usut, Abigail tak suka disaingi oleh siapapun. Ia adalah anak dari salah satu donatur terbesar di SMA Harapan. Namanya harus terpandang. Berada di puncak selalu menjadi ambisinya. Dan hal inilah yang kemudian menyebabkan dirinya menjadi sangat antipati terhadap perasaan orang lain. Terutama Valerie. Semenjak gadis itu selalu berada di posisi teratas dalam beberapa ujian akademik, Abigail mulai dibanding-bandingkan. Seringkali Abigail mendapatkan posisi kedua dan nama Valerie yang selalu berada di atasnya menjadi awan hitam yang selalu membayang-bayangi. Valerie sebenarnya tidak peduli. Ia hanya berteman dengan Rain karena dia adalah gadis yang setia kawan. Namun ... kini Valerie tak memiliki siapa-siapa. "s**t!" Valerie bersembunyi di salah satu bilik ruang kesehatan. Ia duduk di tepi ranjang dan mulai menangis setelah menutup tirai dari masing-masing pembatas ranjang. Setidaknya, ada satu tempat dimana dirinya dapat menghindari semua orang dan tak perlu menjelaskan apapun untuk beberapa saat ini. Sampai kemudian, sebuah suara dehaman, mengusik ketenangan gadis itu. Valerie pun buru-buru menyeka kedua mata dan pipinya. Ia tidak ingin seseorang melihat wajahnya basah karena air mata yang mengalir tanpa permisi. Butuh beberapa saat, sebelum akhirnya gadis itu membuka tirai berwarna putih yang menutupi ranjangnya secara perlahan. Ada Ardito di sana. Gadis itu kikuk seketika. Ia menjadi salah tingkah dan bersikap dingin adalah pilihan yang diambilnya karena panik. "Ngapain lo ke sini? Ngikutin gue?" Ardito menghela napas, terdengar jengah, tetapi tak berarti apa-apa untuk Valerie. "Iya." Namun kekehan pendek yang terdengar merendahkan justru keluar dari mulut lawan bicaranya. "Ck. Kenapa? Lo kasihan sama gue gara-gara kemarin?" "Enggak gitu, Val." "Gue nggak butuh dikasihanin sama siapapun. Okay?" Ada jeda untuk beberapa saat. Ardito memilih menutup mulutnya sementara. Tidak ingin buru-buru menanggapi perkataan yang keluar dari mulut Valerie. Bahkan meski gadis itu bersikap dingin, Ardito tak peduli. Ia tahu sosok di hadapannya tengah membutuhkan seseorang. Dan Ardito mulai berpikir untuk menjadi seseorang itu. "Semua yang lo lihat kemarin ... Please forget that. Anggap aja hari kemarin itu nggak pernah ada. Dan lo nggak perlu-" "Gue peduli sama lo, Val," sela Ardito. Yang seketika membuat gadis itu terdiam. Ia cukup terkejut dan tak menduga lawan bicaranya itu akan mengungkapkan kepeduliannya secepat ini. Jika saja ... Ardito mengatakan hal semacam itu beberapa bulan yang lalu, Valerie mungkin akan langsung merasa senang. Karena gadis itu sempat menyukainya. Namun kali ini, situasinya telah berbeda. "Gue peduli sama lo. Itu sebabnya gue sekarang ada di sini," lanjut Ardito. "Dit, it's been a long time. You don't have to feel sorry about me, about everything. It just ... It just a past." "Tapi gue nggak lagi bicara soal masa lalu, Val." Kedua alis Valerie yang berwarna hitam dan sedikit tebal mengerut seketika. Ia tampak heran dan tak mengerti awalnya. Sampai akhirnya, laki-laki yang saat itu berdiri di hadapannya dengan tatapan serius, kembali menjelaskan. "Gue bicara soal kepedulian gue sama lo, as a friend." As a friend. Dan dahi yang sebelumnya mengernyit, mulai terlihat lebih lega. Valerie lantas membuang wajahnya, mencoba menyembunyikan semburat merah yang mungkin saja muncul di kedua pipinya karena malu. Gadis itu telah salah mengartikan perhatian yang diberikan oleh Ardito. Perasaan yang mereka miliki ternyata memang hanya ada di masa lalu. Dan mereka tak akan pernah kembali ke sana. "Well, thanks. Tapi gue nggak butuh rasa peduli itu." Valerie mengakhiri pembicaraan dengan meninggalkan Ardito. Ia kembali ke kelasnya dan pulang ke rumah dengan alasan mengalami sakit perut. Pak Jaka segera menjemputnya dan membawa anak sang majikan kembali ke rumah dengan selamat. Bahkan meski Valerie berbohong kepada guru-guru di sekolah, pria yang berprofesi sebagai supir pribadi di keluarga Edwin tahu bahwa gadis yang duduk di belakangnya itu tak benar-benar mengalami sakit perut. Sesuatu pasti telah terjadi di sekolah. "Kita sudah sampai, Non." Seperti biasa, Pak Jaka memberi tahu Valerie. Namun saat gadis itu hendak turun dari mobil, Pak Jaka buru-buru melanjutkan, "Hari ini Mama sama Papa ada di rumah, Non." Valerie mengernyit. "Tumben. Ada apa?" "Pak Jaka kurang tahu, Non." "Yaudah saya masuk dulu ya, Pak." "Iya, Non." Dan tubuh kurus itupun berjalan meninggalkan garasi. Dengan perasaan yang bercampur aduk, Valerie mencoba memasuki rumahnya. Mendengar Edwin dan Wina yang berada di rumah, membuat Valerie sedikit bingung. Sangat tidak biasanya kedua orang tuanya itu ada di sana. Sampai kemudian, kedua manik hitamnya bertemu dengan kedua sosok orang tuanya yang kini duduk di sofa ruang tamu. Mereka duduk bersebrangan dan atmosfer yang terasa di antara mereka terasa sangat canggung dan dingin. Valerie tahu, harapannya untuk melihat kedua orang tuanya kembali hangat dan intim seperti dulu, tak akan pernah terulang lagi. Ia pun berjalan mendekati Edwin dan Wina. "Tumben Mama sama Papa ada di rumah," sindir Valerie. Yang lantas membuat kedua orang tuanya itu menoleh ke sumber suara. Edwin adalah orang pertama yang membuka suara. "Kenapa kamu udah pulang?" Valerie mengangkat bahunya. "Sakit perut." "Tadi Papa di telpon sama wali kelas kamu." Gadis itu terdiam dan menekuk dahinya heran. Tidak biasanya juga sang wali kelas repot-repot menghubungi kedua orang tuanya yang selalu sibuk. Ada apa? "Nilai ujian kamu minggu lalu turun drastis katanya," sambung Edwin. Dan Valerie mengangkat kedua alisnya cepat. Ternyata karena nilainya yang ditukar oleh Abigail. Siapa sangka, masalah itu dapat membuat kedua orang tuanya tetap berada di rumah dan memperhatikannya. "Itu, sebenarnya-" "Apa Papa ngajarin kamu untuk jadi anak bodoh, Valerie?" Suara Edwin yang meninggi, berhasil menghentikan kata-kata Valerie. Ia bahkan tak mampu melanjutkan kalimat yang terasa di ujung bibirnya hanya karena melihat sang Papa marah untuk kali pertama. "Edwin, udahlah," kata Wina, mencoba menengahi. Namun sepertinya, stress di kepala Edwin membuatnya tak bisa menahan amarah. Dan Valerie ... adalah seseorang yang tepat untuk dijadikan tempat pelampiasan atas semuanya. "Kamu bikin malu papa kalau begini caranya. Tahu?" "Tapi, Pa-" "Kalau Papa lagi bicara, jangan disela-sela seenaknya begitu. Itu nggak sopan namanya," kata Edwin ketus. Yang justru membuat Valerie semakin kesal. "Papa kecewa karena kamu nggak bisa mempertahankan prestasi kamu di sekolah, Val." "Oh ya? Papa kecewa ya? Kalau begitu, aku juga mau kasih tahu Papa dan Mama kalau aku juga kecewa banget sama sikap kalian berdua!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN