BAB 22 - Ayah

996 Kata
Halo, Fellas. Kembali lagi dengan cerita bertema remaja dan misteri dariku. Berharap kalian menyukainya. Akan sangat menyenangkan jika kalian dapat menyukai dan memberikan komentar membangun pada ceritaku yang berjudul "Ten Reasons Why She's Gone." ini. Atas kekurangan yang akan kalian temukan dalam cerita ini, penulis memohon maaf. Terima kasih. *** • Selamat Membaca • Chapter sebelumnya... (Untuk mengingatkan pembaca pada part berikut.) "Kata sandi?" Sebuah permintaan kata sandi menyambut indera penglihatan Vanya. Yang justru membuatnya kebingungan seketika. Ia mengernyitkan keningnya dan menggaruk tengkuk lehernya secara reflek. "Apa kata sandinya ya?" Vanya membolak-balikan kertas kusut yang ada di tangan kirinya. Berharap ada jejak atau petunjuk tentang bagaimana seharusnya gadis itu mengisi kolom kata sandi yang terpampang di sana. Namun, tak ada apa-apa di atas kertas itu. "Apa gue isi asal-asalan aja ya?" Vanya berpikir dan menimbang-nimbang untuk sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mencoba kombinasi angka secara acak. "Oke, kita cobain aja." Percobaan pertama tampaknya tidak berjalan baik. Kata sandi dinyatakan salah dan terlihat bahwa gadis itu hanya memiliki dua kesempatan lagi. "Ah, coba yang gampang aja deh angkanya." Namun, gadis itu kembali membuat kesalahan dan kesempatannya hanya tinggal satu kali lagi. "Duh. Salah mulu. Ini kata sandinya apa ya kira-kira? Apa gue isi pake tanggal lahir gue aja?" Vanya tertawa pelan. "Tapi mustahil banget kata sandinya laptop Valerie malah pake tanggal lahir gue. Ah, gue coba aja deh tapi. Kalau salah ya yaudah, artinya gue emang harus hidup di rumah ini sebagai Valerie. Anggap aja gue punya kehidupan baru. Cobain deh." Perlahan, Vanya mulai mengetikan tanggal lahirnya di papan keyboard dan terakhir, begitu selesai, gadis itu pun menekan tombol enter. "Hahaha gue pasti udah gila karena berpikir kata sandinya dia itu--anjir!" Halaman utama yang akhirnya terbuka membuat kedua mata Vanya membulat seketika. Ia bahkan sampai menutup mulutnya karena hampir berteriak. Vanya benar-benar terkejut. "Gi-gimana dia tahu gue bakal ada di sini dan tanggal lahir gue?" Vanya melihat secarik kertas yang dia simpan di dekat laptop dan berbicara, "Sebenarnya lo itu siapa sih, Valerie?" Seolah-olah kertas itu adalah Valerie. Vanya mencoba menarik napas dalam-dalam, menstabilkan tubuhnya yang mungkin saja akan mendapatkan serangan jantung jika saja usianya jauh lebih tua. Ia kemudian mulai mengutak-atik layar. Namun tak ada apa-apa di sana, selain sebuah folder bertuliskan, Untuk Vanya. Yang hanya membuat gadis itu semakin kebingungan. Ia pun menggelengkan kepalanya perlahan dan mengumpat, "Anjing! Dia bahkan tahu nama gue." *** Chapter sebelumnya... "Heh, dasar anak kurang ajar!" Broto pun menendang kaki Ardito dengan keras hingga ia merintih kesakitan. Namun laki-laki dengan seragam sekolahnya itu sama sekali tidak beranjak. Ia masih di sana, berusaha melindungi ibunya dari seorang pria yang begitu jahat kepada mereka berdua. "Awas aja ya lu, berdua!" Broto kemudian berbalik dan pergi setelah puas dengan apa yang dilakukannya kepada Maya dan Ardito. "Nak, yaAllah. Kamu baik-baik aja?" Tangis Maya belum mereda dan justru terdengar lebih sedih karena melihat putra satu-satunya itu terluka. "Lain kali biar ibu aja yang dipukuli, Nak." Ardito tersenyum pahit. Mana tega seorang anak melihat ibunya yang sudah tak berdaya semakin dibuat menderita oleh manusia busuk seperti Broto. Laki-laki itu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah pintu, tempat dimana pria yang telah menghancurkan keluarga utuh itu hancur lebur tak bersisa. Ia mengepalkan tangannya tanpa Maya tahu. Dan bersumpah di dalam hatinya, "Gue bakal balas semua perbuatan lo, Broto." *** Vanya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan jemarinya. Ia bahkan sama sekali tak bisa membuat syaraf-syaraf di bagian wajahnya melonggar karena keterkejutannya. Mata hitam kecokelatan itu masih menatap bingung ke arah layar laptop milik Valerie. "Kenapa ... dia bisa tahu kalau gue bakal ada di sini dan bahkan dia tahu tanggal lahir gue?" Namun pertanyaan itu justru dijawab oleh sebuah dorongan di pintu. Pintu kamar Valerie tiba-tiba saja terbuka dan membuat Vanya panik bukan kepalang. Ia pun buru-buru menutup layar laptop tanpa sempat mematikannya, seperti saat Bi Inah mendatanginya. Namun kali ini, Wina lah yang berdiri di ambang pintu. Masih dengan senyum lembut khas milik seorang ibu yang begitu bahagia karena akhirnya bertemu dengan putri semata wayangnya yang sempat hilang. Vanya hanya bisa membalas senyum itu dan berharap wanita yang kini menghampirinya tak menyadari sikapnya yang mencurigakan. "Kamu lagi ngapain, Sayang?" tanya Wina. Dan gadis itu pun menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Ia menggumam sebelum kemudian tersenyum kikuk dan memberikan alasan. "Uhm, aku-aku ini lagi coba ingat-ingat. Barangkali kalau duduk di sini, pegang meja belajar ini atau barang-barangku, ada kenangan yang bisa pulih, Ma." Wina tersenyum pahit. Ia tak bisa membendung kesedihan karena ucapan Vanya barusan. Lantas, wanita itu pun mengusap lembut puncak kepala gadis muda yang dikiranya sebagai Valerie tanpa sedikitpun melepaskan senyum dari bibirnya. "Jangan berusaha terlalu keras, kamu bisa kecapean." "E-enggak, kok, Ma." "Kalau kamu mau coba lihat-lihat isi laptop ini, kata sandinya itu adalah tanggal lahir kamu sendiri, Sayang. Kamu ingat nggak tanggal lahir kamu?" Namun alih-alih merasa senang karena diberi tahu, Vanya justru merasa semakin syok dan kebingungan. "22 Juni 2003," sambung Wina. Dimana tanggal lahir itu justru sama persis dengan tanggal lahir Vanya. "Ah, Mama mau tanya, kira-kira kamu mau makan apa siang ini? Pak Jaka soalnya sekalian mau ke depan, barangkali kamu mau makan camilan atau apa gitu?" Vanya tersadar dari lamunannya. Ia pun terkesiap dan menjawab pertanyaan Wina seadanya. "E-enggak usah, Ma. Aku, kebetulan masih kenyang." "Oyaudah, kalau gitu kamu istirahat ya. Mama mau ke bawah dulu, mau kasih tahu pak Jaka takut dia nungguin." "I-iya, Ma." Dan setelah wanita itu pergi meninggalkan kamar, Vanya pun segera menuntaskan kegiatannya tadi. Ia membuka laptop dan tanpa berpikir panjang, langsung memilih satu-satunya folder di sana dan dibuka. "Untuk Vanya." Vanya memulai. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian melanjutkan untuk membaca isi dari file tersebut. "Ada tiga peraturan yang harus kamu ikutin di sini. Satu, jangan percaya sama siapapun. Siapapun." Kedua alis Vanya berkerut. "Harus banget ya siapapunnya ditulis dua kali? Hm, okelah. Lanjut lanjut. Dua, jangan membagi rahasiamu dengan siapapun. Dan tiga ... rahasiamu adalah bahwa kamu bukan Valerie Ananda." Lidah Vanya mendadak kelu, ia membeku sejadi-jadinya. "Gi-gimana kamu tahu segalanya? Siapa kamu? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN