Bab 6 - Sisi Lain

1565 Kata
Halo, Fellas. Kembali lagi dengan cerita bertema remaja dan misteri dariku. Berharap kalian menyukainya. Akan sangat menyenangkan jika kalian dapat menyukai dan memberikan komentar membangun pada ceritaku yang berjudul "Ten Reasons Why She's Gone." ini. Atas kekurangan yang akan kalian temukan dalam cerita ini, penulis memohon maaf. Terima kasih. *** • Selamat Membaca • Tiga Hari sebelum Menghilangnya Valerie. Setelah mati-matian menahan sakit karena mengobati lukanya sendiri, Valerie kini dapat sedikit lebih lega. Ada beberapa sobekan kecil yang terjadi pada permukaan kulit kakinya dan gadis itu sungguh beruntung, pecahan beling yang berada di dalam dirinya berhasil dikeluarkan dengan bantuan pinset dan gunting. Edwin adalah seorang dokter bedah dan Valerie sedikit banyaknya paham soal mengobati luka semacam ini. Seharusnya luka ini menjadi keahlian Edwin. Namun rasa-rasanya, untuk melihat pria itu di sana, di dekatnya, Valerie terlalu muak dan sakit hati. Siapa sangka, cinta pertamanya itu justru mengecewakannya. Memberikannya sebuah bekas luka yang entah bisa diobati atau tidak. Manik hitam milik gadis itu mengarah ke dinding, pada jam berbentuk lingkaran yang senada dengan warna kesukaannya, lilac. Jarum panjang menunjuk ke angka sembilan, sementara jarum lainnya berada di atas. Pukul sembilan. Bukankah sudah terlalu malam untuk meributkan masalah rumah tangga? Namun sepertinya Edwin dan Wina sudah terlanjur ingin sekali berpisah. Mereka sampai tidak mau repot-repot menunggu keesokan pagi hanya untuk membuat keributan besar, hingga menyebabkan putri mereka menjadi korban. "Aku seharusnya nggak ada di sini. Mungkin Mama dan Papa berpisah karena ada aku. Apa aku pergi aja ya?" Keraguan menyelimutinya. Ia sungguh ketakutan. Kenyataan memang terlalu mengerikan untuk dihadapi. Namun, semua masalah ini seolah membuktikan bahwa dirinya memang tidak punya pilihan lagi. Ia harus melangkah pergi. Meninggalkan sisa-sisa harapan yang dia miliki. Kemana saja, asal hatinya tak teriris lagi. Nekat, Valerie mengambil kardigan ungunya untuk menutupi gaun tidurnya yang berwarna hitam. Ia berusaha berjalan meski linu menjalar di kedua permukaan kakinya. Dengan bertatih-tatih, Valerie berusaha menggapai rak sepatu di sudut kamar, lantas mengambil sepasang yang paling mudah. Ia kemudian berdiri dengan sepatu tanpa hak berwarna putih. Hanya itulah satu-satunya yang mudah untuk dipakainya dalam keadaan sakit seperti ini. Sisanya ... dipenuhi tali dan sepatu sekolah. Valerie kemudian membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Air yang jatuh dari atas langit seolah ikut berduka bersamanya. Ia menengadah, wajahnya menatap langit yang gelap dan basah. "Kenapa harus hujan di saat seperti ini?" Namun sepertinya, cuaca tak menghalangi tekadnya untuk pergi. Sebenarnya, Valerie juga tak memiliki tujuan. Ia hanya ingin menenangkan pikiran di suatu tempat. Ia ingin melepaskan semua kekesalan, kemarahan serta kekecewaan yang membelenggunya. Beberapa kenyataan pahit seperti orang tua yang bercerai, orang tua yang bahkan tidak lagi memperhatikan dirinya dan kesepian yang selalu setia berada di sisinya, membuat isi kepalanya hampir meledak. Ia adalah bom waktu yang siap menumpahkan semua yang dimilikinya. Menghancurkan setiap apapun yang menghalangi jalannya. Gadis itu kemudian turun dari lantai dua menggunakan tali. Ia mendapatkan tali dari sisa-sisa perlengkapan naik gunung yang dibelikan Papanya tahun lalu. Meski sebenarnya, gadis itu sama sekali tak memakainya sampai sekarang. Ia bahkan tak memiliki teman untuk pergi jalan-jalan ke gunung atau pantai. Ironi yang menyedihkan. Dan setelah bersusah payah, akhirnya Valerie sampai di halaman belakang tanpa diketahui oleh siapapun. Bi Ina dan Pak Jaka pastilah ada di kamar mereka. Tak akan berani keluar karena ribut-ribut yang terjadi pada kedua tuan pemilik rumah. Dengan berhati-hati Valerie membuka pintu gerbang. Ia seolah tak peduli pada hujan yang terus membasahi tubuhnya. Mata sipit milik gadis itu mulai kesulitan untuk melihat. Belum lagi tetes-tetes air yang berhasil menyelinap masuk ke dalam perban yang membalut kakinya. Ia mulai merasa menyesal karena meninggalkan rumah dalam situasi seperti ini. Bukannya mendapat ketenangan, Valerie justru harus membelah hujan hanya demi bisa menjauh dari rumah. Ia telah memperparah nasibnya sendiri. Atau ... takdir memang berlaku kejam kepadanya. Sampai di persimpangan jalan, kedua mata Valerie yang sudah dihantam oleh tetesan hujan yang semakin besar tak dapat diandalkan lagi. Pandangannya mulai tak jelas. Sesekali gadis itu menyeka wajahnya, berusaha tetap bertahan meski tubuhnya mulai menggigil kedinginan. Ia gemetaran dan yang dapat dilakukannya hanyalah bersedekap, berharap merengkuh dirinya sendiri dapat mengurangi rasa dingin yang sudah menusuk sampai ke tulangnya. Hingga pada saat gadis itu akan menyebrang, sesuatu terjadi. Sebuah motor dari arah lain tak melihat keberadaan dirinya di tengah-tengah hujan dan hampir saja menabraknya. CIIT!!! Rem ditarik sekencang-kencangnya secara dadakan. Membuat Valerie jatuh terduduk di tengah jalan karena syok. Sementara sang pengendara motor merasakan jantungnya berdetak lebih kencang di sana. Ia nyaris menabrak seseorang. Setelah merasa baikan, sosok di balik helm dan motor hitam besar itu mematikan mesinnya. Ia membuka helm dan menyimpannya di atas motor. Dengan segera laki-laki muda itu berlari menghampiri Valerie yang masih terdiam di posisinya. Ia merendah dan mencoba memastikan, "Kamu nggak apa-apa?" Mendengar suara yang tak asing itu. Valerie pun mendongak perlahan. Ia sempat takut dan ketakutannya menjadi nyata. Ada sosok Ardito di hadapannya. Menatapnya tak percaya sekaligus cemas. "Loh, Val, lo ngapain di sini malam-malam?" Ardito panik, ia pun buru-buru memapah kedua tangan Valerie. Berusaha membantunya untuk kembali berdiri meski gadis itu terlihat sangat lemah. "Di sini hujan deras banget. Biar gue antar balik, ayo!" "Gue nggak mau balik!" pekik Valerie. Suara hujan yang deras membuat Valerie harus meninggikan suaranya. Ia kemudian menepis tangan Ardito darinya dan justru memijit kepalanya dengan frustasi. "Kenapa sih, dari sekian banyak orang yang bisa nabrak gue, kenapa harus elo?!" "Hah?" Ardito yang sama sekali tak mengerti dengan maksud ucapan Valerie pun hanya bisa terdiam dengan sesekali menyeka wajahnya. Ia juga berusaha dengan susah payah melawan hujan yang terus jatuh membasahi jalanan. "Hidup gue sekarang udah hancur asal lo tahu. Semua yang gue punya sekarang udah nggak ada!" "Ini soal Andreas?" "No, no, no! Bukan cuma dia, gue kehilangan hidup gue!" Ardito berusaha mengabaikan kata-kata putus asa yang keluar dari mulut Valerie dan sekali lagi, berusaha untuk menarik tangannya, dengan niat membawanya pergi dari jalanan dan mengantarkannya kembali ke rumah. Namun kali ini, Valerie tak menepis tangannya. Ia justru menarik Andreas dan memeluknya dengan cepat. Membuat laki-laki muda itu terkejut setengah mati. Sesuatu pasti sedang terjadi. "Kenapa dunia ini nggak adil buat gue, Dit? Kenapaaaaa?" Dan di sanalah, Ardito sadar bahwa masalah yang sedang dihadapi oleh Valerie bukanlah sesuatu yang mudah untuknya. Ia pun terpaku di jalanan, dengan Valerie bersembunyi di balik dadanya yang bidang. Air mata yang bersatu dengan hujan memang kombinasi yang terlalu menyakitkan untuk disaksikan. Namun Ardito sadar, keadaan itu akan jauh lebih membuat perasaan Valerie merasa lega. Dan momen ini, momen dimana dirinya sangat dekat Valerie ... jelas tak akan pernah terulang kembali. *** INFO TIME. Bagi beberapa pasangan, perceraian mungkin menjadi pilihan paling masuk akal dalam mengatasi masalah-masalah yang dialami berdua. Namun tentu saja, bercerai bukanlah sebuah keputusan yang mudah serta melibatkan banyak hal, mulai dari pekerjaan, keluarga besar, hingga anak-anak. Selain sisa masalah yang harus diselesaikan, perceraian juga bisa saja memicu trauma. Trauma usai perceraian bisa menyerang siapa saja yang terlibat, baik suami, istri, hingga anak-anak. Kabar buruknya, trauma yang terjadi setelah perceraian bisa memengaruhi kualitas hidup orang yang mengalaminya. Maka dari itu, perlu dilakukan penanganan segera untuk menangani kondisi ini. Lantas, bagaimana cara menghadapi trauma yang terjadi usai perceraian? Tips Menghadapi Trauma Usai Perceraian Saat perceraian terjadi, sangat wajar jika muncul perasaan sedih, kecewa, atau marah. Hal ini juga bisa memicu munculnya trauma selama atau setelah proses perceraian berjalan. Hal itu sangat wajar terjadi. Namun, kondisi ini tidak boleh disepelekan begitu saja. Lantas, bagaimana tips dan cara menghadapi trauma usai perceraian? Bersedih Secukupnya Sangat normal untuk merasakan sedih setelah perceraian. Namun, sebaiknya jangan biarkan hal ini berlarut-larut dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Bersedihlah secukupnya, terima bahwa perpisahan adalah hal terbaik, kemudian mulai susun rencana untuk melangkah kembali. Fokus pada Anak-Anak Salah satu pihak yang paling rentan dalam perceraian orangtua adalah anak-anak. Maka dari itu, sebaiknya jangan mengabaikan anak dan cobalah berfokus dalam mengurus segala kebutuhannya. Dengan begitu, trauma yang mungkin dialami bisa lebih cepat diatasi. Jika bagi orang dewasa saja perpisahan adalah hal yang berat, bagaimana dengan anak-anak? Minta Bantuan Keluarga dan Teman Meski begitu, jangan terlalu memaksakan diri. Jika memang masih merasa sedih, rasakan hal itu terlebih dahulu. Jika dibutuhkan, cobalah untuk meminta bantuan pada anggota keluarga lain atau teman untuk melewati masa sulit serta trauma setelah perceraian. Kamu bisa menghabiskan waktu bersama kerabat atau keluarga untuk sejenak keluar dari kesedihan. Jangan hanya menunggu, sebab bisa saja orang lain tidak mengetahui perasaan kamu, sehingga cobalah untuk meminta bantuan. Terapi Jika dibutuhkan, tidak ada salahnya untuk menjalani terapi psikologis untuk mengatasi trauma setelah perceraian. Cobalah untuk berlatih teknik menenangkan diri, seperti teknik pernapasan atau meditasi. Kamu juga bisa mencoba bergabung dengan komunitas atau kelompok pendukung perceraian untuk meringankan gejala trauma. Mengatasi trauma setelah perceraian juga bisa dilakukan dengan menjaga kebugaran tubuh sehingga ketenangan pikiran bisa dicapai. Kamu bisa menjaga kesehatan tubuh dengan menerapkan gaya hidup sehat, termasuk mengonsumsi multivitamin secara rutin Susun Rencana ke Depan Bagaimanapun, semuanya sudah terjadi dan perceraian sudah menjadi pilihan. Daripada terpaku dan membuat trauma memburuk, cobalah untuk fokus merencanakan masa depan. Kamu bisa membuat rencana kehidupan untuk dua tahun atau lima tahun ke depan. Pikirkan dan percayalah bahwa semuanya akan membaik seiring berjalannya waktu. Pernikahan kamu dan pasangan mungkin gagal, tapi bukan berarti kehidupan berhenti gagal. Hadiah untuk Diri Sendiri Self-rewards alias memberi hadiah untuk diri sendiri mungkin bisa dicoba untuk membantu meredakan atau menghadapi trauma setelah perceraian. Selain berbentuk barang, kamu juga bisa memberi hadiah pada diri sendiri berupa melakukan hal-hal yang menyenangkan dan menenangkan, misalnya menjalani hobi, berkebun, atau traveling.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN