Keesokan harinya, Raven bangun lebih dulu dari Emma. Namun, ia tak lantas bangkit dari tempat tidur karena Emma sudah menggeser posisi tidurnya. Jika semalam Emma tidur di ujung ranjang karena tak tahan dengan aroma shamponya, kini Emma terlihat tidur miring ke arahnya meskipun masih ada di ujung ranjang.
Raven tersenyum tipis seraya mengulurkan tangan ke wajah Emma. "Cantik sekali," gumam Raven. Ia bahkan berniat untuk pindah ke sofa tadi malam karena tak ingin Emma merasa tak nyaman. Namun, ternyata Emma tidur dengan sangat cepat. Mungkin Emma sudah sangat mengantuk tadi malam.
Raven membiarkan Emma tidur lebih lama karena istrinya itu memang butuh waktu istirahat di tempat tidur. Dokter sudah membolehkan Emma turun dari tempat tidur, tetapi jika tidak terlalu mendesak Emma disarankan untuk lebih banyak berbaring dulu hingga pekan depan.
Raven memutuskan untuk segera mandi pagi dan bersiap kerja, tetapi ketika ia mengambil shamponya, ia berpikir sejenak. "Mau ganti yang apa? Ini yang paling aku suka dan cocok."
Raven menggeleng pelan lalu ia melemparkan shampo yang masih banyak isinya itu ke dalam tong sampah. Ia yang selalu keramas setiap mandi pun kini hanya bisa menggaruk kepalanya. Ia melihat shampo Emma yang beraroma bunga.
"Masa aku pakai shampo Emma?" Ia bergumam. "Kayaknya nggak papa, nanti aku bisa beli shampo yang lain. Daripada Emma mual dan muntah."
Raven mengusap kepalanya dengan handuk usia mandi. Kini ia memiliki aroma segar yang agak identik dengan Emma. Ia tersenyum sendiri karena merasa begitu konyol. Padahal ia memakai shampo wanita. Namun, demi Emma ia mau melakukannya.
Raven lantas keluar dari kamar mandi. Dan ketika ia masuk kamar, Emma terlihat sudah bangun meskipun masih linglung. Ia tersenyum tipis karena ekspresi Emma yang lucu.
"Emma, kamu mau ke toilet?" tanya Raven.
Emma mengangguk. "Aku harus buang air. Aku juga mau cuci muka."
"Kamu bisa melakukannya sendiri?" tanya Raven seraya mendekati ranjang.
Emma mengangguk dan memasang ekspresi waspada karena kini Raven hanya mengenakan jubah mandi. "Aku bisa sendiri, Raven. Kamu bersiap kerja aja. Aku masih libur."
"Ya. Sebaiknya kamu libur selama beberapa hari," kata Raven. Ia hampir membalik badan, tetapi kemudian ia kembali menoleh pada Emma. "Aku ... sudah membuang shampo yang nggak kamu suka. Dan aku minta shampo kamu sedikit."
"Apa?" Emma membelalak. Ia menatap Raven yang berlalu ke walk in closet-nya. "Dia ngomong apa? Masa iya Raven pakai shampo gue."
Emma yang penasaran pun segera ke kamar mandi. Ia menatap ke tempat sampah lalu melihat shampo Raven tergeletak di sana.
"Dia bersungguh-sungguh," gumam Emma. Ia berdecih pelan. "Dia melakukannya agar aku tidak menolak ketika dia minta cium. Pasti begitu. Dasar m***m!"
Emma meraba perutnya sebelum ia duduk di kloset. Ia berpikir banyak selama ia duduk di sana. Ia sedang hamil dan kehamilannya disorot oleh media. Ia membaca banyak sekali komentar positif tentang Raven. Ia yakin, Raven mau mengakui di depan publik hanya untuk kepentingan popularitas semata. Jelas, Raven hanya memanfaatkan dirinya. Namun, Emma tak menyalahkan Raven. Masih bagus Raven tidak langsung mencampakkannya.
"Bukannya hari ini Raven mau ketemu Kalisa," gumam Emma yang tiba-tiba juga kepikiran dengan pacar Raven itu. Seperti apa sosok Kalisa? Apakah dia cantik? Kata Erik, Kalisa jauh lebih cantik darinya. Namun, sungguh aneh karena Raven tidak memilih Kalisa sebagai istrinya di saat kedua orang tuanya juga suka dengan Kalisa.
"Ngapain gue mikirin Raven dan Kalisa?" Emma mencebik. Ia segera membersihkan diri lalu mencuci muka dan gosok gigi. Ia tak ingin terlalu penasaran dengan kehidupan pribadi Raven. Ia masih memiliki masalah besar. Ia harus menemukan Jax, pria yang kemungkinan besar sudah menghamilinya.
***
Sebelum Raven berangkat kerja. Raven berpesan Tum, kepala asisten rumah tangganya, agar memastikan Emma baik-baik saja selama ia bekerja. Ia juga meminta mereka menyiapkan makanan yang Emma sukai apapun itu.
Dan sepanjang hari, Raven tidak absen untuk mengecek kondisi Emma di rumah. Ia mengirim pesan singkat pada Emma sesekali, menunggu balasannya dengan gelisah dan kadang menelepon Tum untuk tahu kebenaran kondisi Emma.
"Erik, kita mampir ke supermarket. Aku harus membeli sesuatu," kata Raven.
"Apa Tuan mau berbelanja?" tanya Erik.
"Ya. Aku harus membeli shampo baru," jawab Raven.
Erik mengangkat alisnya. Ia tahu Raven bukan tipe orang yang mudah berganti sesuatu jika sudah cocok. Termasuk shampo dan parfum. Ia agak heran dengan tuannya hari ini.
"Tumben Anda memutuskan untuk ganti. Apa sudah bosan?" tanya Erik lagi.
"Tidak. Tapi Emma tidak tahan dengan aroma shampo yang aku pakai. Dia langsung mual. Apa wanita hamil bisa seperti itu, Erik?" tanya Raven.
Erik mengangguk. "Ya. Bisa saya, Tuan. Mantan istri saya dulu juga begitu. Dia lebih suka saya tidak mandi daripada membaui aroma segar shampo dan sabun saya."
"Oh." Raven tampak terkejut. "Bisa seperti itu? Dan kamu ... kamu benar-benar tidak mandi?"
"Tentu saja ... saya mandi, Tuan. Tapi saya juga harus mengganti semua sesuai yang dia suka. Punya istri memang merepotkan," kata Erik. Erik sudah menduda sejak setahun yang lalu karena sering berseteru dengan mantan istrinya. Kini, mereka tinggal terpisah dengan satu anak yang ikut dengan Erik.
"Itu dia. Aku juga mau ganti merek. Bantu aku memilih. Oke?"
Erik mengangguk saja. Ia yakin sebenarnya ia tak dibutuhkan untuk memilih karena ia tahu bagaimana tabiat Raven.
Benar saja, ketika mereka berdua tiba di sebuah supermarket, Raven langsung memborong banyak sekali merek shampo yang belum pernah ia pakai. Awalnya ia mencoba mengendusnya dan memilih mana yang ia suka, tetapi ia ingat, ia membeli ini demi Emma. Jadi, ia akan meminta pendapat Emma saja di rumah. Itu artinya lebih baik ia membeli semua.
"Tuan yakin mau membeli semua ini?" tanya Erik yang benar-benar tercengang dengan tingkah tuannya.
"Ya. Kamu yang bayar. Buruan," kata Raven. Pria itu mengangkat bahunya karena ia tak mau dianggap sebagai pemborong shampo. Dan tak lama, ia meninggalkan Erik dengan troli belanjaannya yang hampir terisi penuh dengan shampo.
"Dasar pria gila," umpat Erik begitu tuannya tak terlihat lagi.
Ketika Raven keluar dari supermarket, ia tiba-tiba merasakan ponselnya bergetar. Ia merogoh kantong celananya lalu melihat siapa yang menelepon. "Ah, Kalisa."
Raven melirik jam di pergelangan tangannya. Ia baru sadar, ia melupakan sesuatu. Hari ini hari ulang tahun Kalisa dan seharusnya malam ini ia makan malam di sana. Ia bahkan sudah berjanji kemarin. Gara-gara ia memikirkan shampo barunya, ia jadi lupa dengan Kalisa.
"Hei, Lis," sapanya ketika ia mengangkat panggilan telepon Kalisa.
"Raven, katanya kamu mau ke sini. Aku udah masak banyak nih. Kamu udah di jalan?" tanya Kalisa dengan nada suara riang.
"Ehm, aku ... aku datang besok aja ya," kata Raven.
"Apa? Kamu kan udah janji, Raven. Kenapa kamu nggak bisa datang? Aku udah masak macem-macem buat kamu," kata Kalisa dengan nada kecewa. "Ini ulang tahun aku, Raven. Kamu tahu aku selalu sendiri kalau ulang tahun. Masa kamu nggak mau datang?"
Raven menggigit lidahnya. Ia sudah terlanjur janji pada Kalisa dan memang setiap tahun ia menemani Kalisa menghabiskan hari ulang tahunnya berdua. Jika mereka tidak begadang dengan makan cemilan dan minum soda di pantai, mereka hanya akan makan malam di rumah lalu menonton film hingga pagi. Dan mereka akan bertaruh, siapa yang tidur lebih dulu maka harus membayar sejumlah uang.
"Oke. Aku ke sana," kata Raven cepat. Ia tak ingin membuat Kalisa marah. Apalagi ia berutang budi dengan Kalisa.
"Serius? Jangan lupa bawa kado!" Kalisa berseru senang di seberang.
Raven tertawa kecil karena mendengar nada ceria Kalisa. Mungkin tak apa ia datang ke rumah Kalisa lebih dulu. Ia bisa berpamitan jika sudah makan malam dan menyerahkan hadiah.
"Tuan, ini belanjaan Anda," ujar Erik pada Raven yang berdiri di dekat mobilnya.
"Ya, masukkan saja ke bagasi. Antar aku ke rumah Kalisa sekarang," kata Raven.
"Apa?" Erik yang sedang membuka pintu bagasi pun terkaget. Sejak tadi Raven berkata sudah ingin buru-buru pulang dan kini, Raven ingin mampir ke rumah Kalisa. "Anda yakin? Anda tak ingin segera bertanya pada Nona Emma mana shampo yang tidak membuatnya mual?"
"Tidak, Erik. Ini hari ulang tahun Kalisa. Aku bahkan melupakannya. Aku harus membeli kado untuk Kalisa dulu. Apa yang bagus untuknya?" tanya Raven meminta saran.
"Anda bisa membelikan Nona Kalisa bunya dan perhiasan. Atau jam tangan," kata Erik menyarankan.
"Oke, itu saja. Kita mampir ke toko bunga dan perhiasan," ujar Raven sebelum masuk ke mobil.
Raven tersenyum lebar ketika membaca pesan dari Kalisa. Kalisa juga mengirimkan foto masakannya yang cukup banyak terhidang di meja. Ia sudah sering mendengar desakan dari ibunya dulu, agar ia menikahi Kalisa saja. Kalisa sangat cantik, baik dan pandai memasak. Sayangnya, Raven merasa lebih cocok berteman dengan Kalisa.
"Emma pasti baik-baik saja," gumamnya ketika ia membaca laporan dari Tum bahwa Emma sedang bersiap turun untuk makan malam.
Raven tak tahu bahwa di rumah, Emma baru saja mendengar sesuatu yang mencengangkan tentang dirinya. Dan hal itu akan mengubah persepsi Emma terhadap dirinya.