14. Pertama Kali Tidur Seranjang

1524 Kata
"Halo, Kalisa." Emma mendengar nama Kalisa disebut oleh Raven. Ia tak ingin penasaran, tetapi ia juga tak bisa menahan dirinya mengepalkan tangannya. Ia tahu, Raven bertemu dengan Kalisa sekali ketika ia masih dirawat di rumah sakit. Ia penasaran, apakah ada pertemuan lainnya yang tak ia ketahui? Emma mencoba untuk tak peduli, tetapi beberapa kali ia melihat Raven tersenyum atau tertawa kecil ketika bicara dengan Kalisa. "Aku nggak sabar. Aku ke rumahmu besok. Ya, seperti biasa," ucap Raven sebelum mematikan panggilannya. Emma masih meremas ujung gaunnya. Jika ia menikah, sebenarnya ia ingin memiliki pasangan yang mencintainya. Namun, nyatanya sekarang suaminya memiliki wanita lain. Raven menoleh pada Emma yang langsung memalingkan wajahnya. Ia melihat kepalan tangan Emma di atas pahanya. Ia tak yakin Emma baru saja cemburu atau tidak, tetapi entah bagaimana jika benar Emma merasa cemburu, Raven akan sedikit puas. "Kita sampai, Tuan, Nona. Saya akan siapkan kursi roda untuk Nona Emma," kata Erik. "Tidak perlu, biar aku bawa Emma," ujar Raven. Emma terkesiap, karena tanpa permisi Raven langsung menyelipkan lengan besarnya di bawah lekukan lututnya dan menggunakan lengan satunya untuk menahan punggungnya. "Raven, kamu nggak perlu gendong aku," kata Emma seraya menahan d**a Raven dengan tangannya. "Kita di rumah, Emma. Jangan lupa, kamu ini istri aku dan istri aku sedang sakit. Jadi ... lebih baik kamu jangan mencoba berjalan," kata Raven dengan seringaian di wajahnya. Emma mendengkus. Ia tak punya pilihan lain karena mau melompat turun saja ia tak bisa. Ia bagaikan selembar bulu yang diangkat oleh lengan besar Raven. Dan tak lama, mereka di sambut oleh Tum dan Desi, dua asisten rumah tangga mereka. "Nona Emma sudah sehat, Tuan?" tanya Tum. "Ya, Alhamdulillah. Tolong siapkan makanan dan air untuk Emma karena malam ini Emma akan makan di kamar," kata Raven mengumumkan. "Baik, Tuan." Mereka berdua menyahut dengan cepat. Selagi mereka menaiki anak tangga, Emma mencoba untuk tak menatap wajah tampan Raven. Ia tak percaya, Raven bisa berubah seperti ini. Dulu Raven memiliki rambut acak-acakan dan selalu memakai kacamata, Raven juga akan mengancingkan kemejanya hingga bagian atas. Ia tahu, Raven cerdas di sekolah, Raven juga sering membantunya mengerjakan tugas praktek di sekolah. Namun, ketika Raven menyatakan cintanya, ia langsung menolak dengan sadis. Dan kini, di depannya, Raven berdiri gagah bahkan sedang menggendongnya menaiki anak tangga. Raven memiliki potongan rambut berbeda, mata yang indah tanpa ditutupi lensa, garis rahang yang tajam dan ia berpakaian dengan modis. "Apa kamu sudah terpukau denganku yang sekarang, Emma?" tanya Raven ketika mereka berhenti di depan pintu kamar. "Apa?" Emma terkesiap. Ia baru saja membandingkan wajah lama Raven dengan yang baru. Ia bahkan berpikir apakah Raven melakukan operasi plastik untuk mempertampan wajahnya? "Kamu menatapku terus sepanjang perjalanan kita naik tangga," kata Raven sambil tersenyum miring. "Jangan menyangkal, Emma. Katakan saja." "Nggak. Aku nggak akan terpukau," ujar Emma menyangkal. Emma menyenggol daun pintu lalu memutar kenop. "Kita sudah di kamar, kenapa nggak masuk?" "Ya, ya. Aku tahu kamu nggak sabar untuk masuk ke kamar dan berduaan sama aku," kata Raven. "Ngawur!" Emma memukul d**a Raven. Emma memanas seketika karena ucapan Raven. Yah, berada di kamar berdua saja memang menggelisahkan, tetapi ia hanya akan tidur di sofa. Seharusnya seperti itu. Namun, kali ini Raven mendaratkan tubuhnya di atas ranjang. "Kamu tidur di sini mulai malam ini." Raven duduk di tepi ranjang dengan Emma di bawah tubuhnya. Wajah mereka begitu dekat hingga Emma merasa semakin panas. "Tapi, kenapa?" tanya Emma. "Kamu sakit, Emma. Aku mau kamu beristirahat dengan nyaman," kata Raven. Ia menarik selimut lalu menutupi tubuh Emma. "Kamu tidak perlu beraktivitas banyak. Istirahat saja hingga besok. Kata dokter, kamu tidak apa-apa dan kandungan kamu juga baik-baik saja. Tapi, aku orangnya protektif. Aku nggak suka barang-barang milik aku cacat ataupun rusak. Kamu adalah milik aku, ingat? Kamu juga nggak boleh lama-lama sakit." Emma meremas ujung selimut Raven. "Raven, kamu punya pacar, kenapa kamu harus menikahi aku? Kenapa kamu memperlakukan aku layaknya barang seperti itu?" "Ehm, aku hanya ... aku ingin kamu tahu aku bisa melakukan banyak hal yang aku mau. Aku bukan Raven yang dulu," kata Raven. "Sekali kamu menjadi milikku, itu berlaku selamanya. Aku bebas melakukan apapun termasuk menyakiti hati kamu atau sebaliknya. Kamu bisa memilih, Emma. Mana yang kamu mau." Emma memalingkan wajahnya. Ia sudah takut sejak Raven berkata bahwa pria itu memiliki niat balas dendam padanya. Dan ia juga benci dengan kenyataan bahwa Raven memiliki kekasih. Itu menyakiti hatinya, ia membenci segala bentuk perselingkuhan dalam rumah tangga. Dan terakhir, ia masih tidak mengerti dengan sikap baik Raven karena semua terkesan seperti pura-pura. Emma ingin berkata, ia hanya ingin disayangi. Namun, egonya terlalu besar. Ia takut Raven akan mencemooh dirinya dengan kata-kata itu. Ia yang dulu menolak kini mendambakan kasih sayang. "Kenapa kamu diem aja?" Raven mendengkus. Ia pun segera berdiri karena merasa Emma tak mau membuka hatinya. Raven sangat ingin mengungkapkan isi hatinya pada Emma, bahwa ia masih menyukai Emma. Sangat! Namun, ia takut jika Emma akan menolaknya lagi jika ia bersikap lemah dan jujur. Lebih baik, ia menunjukkan sisi arogan dan mendominasi daripada ia harus ditolak secara mengenaskan. "Kamu istirahat aja, aku mau mandi." Dan Raven tak terlihat lagi di kamar. Sementara Emma mencoba untuk memejamkan matanya meskipun ia tak sedang mengantuk. *** Malam itu, Raven sibuk bekerja di depan laptopnya. Sementara Emma makan seorang diri di atas tempat tidur sembari menatap Raven yang duduk di ujung ruangan. Tadinya, Raven menawarkan diri untuk menyuapi Emma makan, tetapi wanita itu langsung menolak karena mereka hanya berdua di kamar dan tak perlu bersandiwara lagi. "Apa yang sebenarnya ada di kepala kamu, Raven?" Emma bergumam ketika ia selesai makan. Ia menumpuk piring kotor dan mangkuknya. Lalu memindahkan baki ke atas nakas. Emma berpikir sejenak, haruskah ia membawa baki itu ke bawah ataukah ia harus menelepon Tum agar naik atau ia bisa memberitahu Raven? Emma yang sangat bosan di atas tempat tidur memiliki pilihan yang pertama. Ia segera turun dari atas ranjang lalu mengangkat baki kotornya. Baru saja Emma membalik badan, ia hampir bertubrukan dengan Raven yang mendadak sudah berdiri di belakangnya. "Raven, astaga. Kamu bikin aku jantungan," kata Emma. Emma tak sadar, Raven memperhatikan dirinya sejak tadi. Pria itu langsung mengambil baki dari tangan Emma. "Tetap di sini. Kamu istirahat saja." Emma kembali duduk ketika Raven meninggalkan kamar dengan cepat. Ia mengelus dadanya karena masih kaget dengan kemunculan Raven. Padahal, ia yakin Raven tadi masih duduk di tempat kerjanya. Sungguh tak terduga. Malam semakin larut. Emma sudah bosan membaca buku dan ia mulai mengantuk. Ia ingin mengatakan pada Raven agar lampu kamar dimatikan karena ia ingin tidur. Namun, Raven masih terlihat bekerja. Ia sedikit maklum, mungkin Raven begitu sibuk karena kemarin ia harus menunggui dirinya di rumah sakit. Emma akhirnya meletakkan bukunya, lalu mematikan lampu tidur yang ada di sisi kiri nakas. Ia mencoba memejamkan mata, tetapi itu cukup sulit karena lampu kamar masih menyala. Hal itu tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba, ia merasakan lampu kamar tiba-tiba menggelap. Ia menatap meja kerja Raven yang telah kosong karena sang empunya sudah berdiri di dekat ranjang. Kemudian, Emma merasakan sisi ranjang itu melesak sebagai tanda bahwa Raven telah bergabung di sebelahnya. "Emma, bisakah kamu tidur menghadap ke sini?" tanya Raven. Ia memiringkan tubuhnya dengan lengan yang terlipat sebagai tumpuan kepala. Ia mencolek pinggang Emma hingga gadis itu terkesiap. "Raven, kita tidur saja," kata Emma seraya menelentangkan dirinya. Ia menoleh pada Raven selama sedetik. Pria itu terlihat tampan di bawah remangnya lampu kamar. Dan ini adalah pertama kalinya mereka tidur di atas ranjang yang sama. Ini menggelisahkan bagi Emma. "Aku nggak mau ngapa-ngapain, Emma. Aku hanya mau liat wajah kamu sebentar," kata Raven. Emma membuang napas panjang. Karena ia tak mau berdebat dengan Raven, ia pun memiringkan tubuhnya ke kanan, ke arah Raven yang tersenyum penuh kemenangan. Raven menarik lengan kirinya yang semula menjadi tumpuan kepala. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Emma hingga wanita itu terkejut. "Jangan takut." Raven menahan wajah Emma dengan telapak tangannya. "Kamu cantik sekali, Emma." Napas Emma langsung naik turun karena ucapan Raven. Itu bukan pujian pertama yang pernah ia dengar karena ia memang sangat cantik. Ia sudah bosan dengan pujian itu. Namun, ini Raven! Emma cemas jika Raven memujinya hanya untuk bermain-main. Emma merasakan wajah Raven semakin dekat. Ia yakin, Raven ingin menciumnya sekarang juga. Ia berdebar semakin keras ketika bibir Raven menyentuh lembut bibirnya. Ia merasakan sensasi aneh seketika. Aroma shampo! "Uuekk!" Emma menarik kepalanya mundur dari Raven lalu menahan diri agar tak muntah. "Apa yang terjadi?" tanya Raven kaget. Baru saja ia hendak mencicipi bibir Emma, tetapi Emma langsung mual dan terlihat mau muntah. "Jangan dekat-dekat, aku mual," kata Emma. Ia membalik badan dari Raven yang terlihat bingung sekaligus kecewa. "Kamu mual gara-gara aku cium? Atau ... apa? Apa kamu hanya pura-pura?" Raven tak terima dengan penolakan Emma malam ini. Ia hanya ingin mengecup bibir Emma. Jadi, ia mencoba mendekati Emma lagi. Sayangnya, Emma benar-benar langsung mual. Sama seperti tadi. "Raven, stop! Aku benar-benar ingin muntah. Aku nggak suka aroma shampo kamu." "Shampo?" tanya Raven. Ia menarik kepalanya dari bantal Emma. "Hanya karena shampo?" "Dan parfum. Aku menahan mual setiap pagi," ungkap Emma jujur. "Oke, shampo dan parfum," gumam Raven tertegun. Ia tersenyum tipis karena mengira Emma mual dengan bibirnya. "Aku ganti shampo mulai besok. Tenang saja, Emma."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN