9. Penjelasan Emma

1539 Kata
Raven menemani Emma hingga periksaan dokter selesai meskipun ia masih sangat bingung dengan situasi ini. Emma hamil. Dengan siapa? Sejak kapan? Dokter bilang Emma sudah hamil 9 minggu. Sedangkan mereka baru menikah selama satu setengah bulan. Jadi, dengan siapa Emma melakukan hubungan seks? Raven mengikuti brankar Emma hingga mereka tiba di sebuah kamar pasien VVIP. Raven menatap Emma yang dipindahkan ke tempat tidur lebar itu. Emma masih terlelap karena pengaruh obat dan dokter meminta Raven untuk tak terlalu cemas karena Emma dan bayinya baik-baik saja Raven duduk di kursi kecil di sebelah Emma. Ia memakukan tatapannya ke perut Emma. Siapa yang berani menanamkan benih ke rahim istrinya? Ia bahkan belum menyentuh tubuh Emma seutuhnya. Kedua tangan Raven mengepal. "Siapa yang melakukan ini padamu, Emma? Siapa?" Raven hanya bisa bermonolog. Raven membuang napas panjang. Ia meletakkan keningnya di tepi ranjang Emma sembari berpikir. Namun, ia tak menemukan jawaban apapun. Ia tak bisa menebak dengan siapa Emma tidur hingga hamil begini. Raven segera menghubungi Erik. Ia butuh bantuan untuk menyelidiki semua ini karena ia khawatir Emma tak akan jujur padanya. Erik yang baru saja hadir di acara penghargaan itu pun harus menelan kesal karena permintaan tuannya yang mendadak menginginkan ia datang. Namun, ia tak punya pilihan lain. Hampir satu jam menunggu, akhirnya Erik pun tiba di rumah sakit. Pria itu langsung masuk ke ruangan Emma dan duduk bersama Raven di kursi pengunjung yang ada di dekat pintu kamar. "Apa yang terjadi dengan nona Emma, Tuan?" tanya Erik. Ia melirik wanita yang tak lain adalah istri dari Raven itu. "Dia mengalami pendarahan di usia kehamilan muda," jawab Raven. Kedua mata Erik membola. Ia tak mengira istri dari tuannya itu sudah hamil. Padahal ia tahu, Raven masih ingin bermain-main dengan Emma. "Oh, selamat, Tuan. Itu cukup cepat." Raven mendengkus. "Itu bukan bayiku, Erik. Emma hamil dengan pria lain." "Apa?" Kali ini Erik menatap tuannya tak percaya. "Jadi ... jadi dengan siapa nona Emma hamil?" "Aku tak tahu. Apa kamu benar-benar menyelidiki Emma sebelum kami bertunangan?" tanya Raven dengan nada sangsi. Ia sudah memberikan tugas pada Erik untuk melihat kehidupan Emma selama berbulan-bulan. "Ya, Tuan. Nona Emma tidak berpacaran dengan siapapun. Terakhir kali ia dekat dengan seorang pria adalah enam bulan sebelum pertunangan kalian berdua," kata Erik meyakinkan. "Dan setelah nona Emma putus, dia tidak terlibat dengan pria lain secara khusus. Tak mungkin Nona Emma melakukan hubungan dengan mantan pacar terakhirnya. Jika nona Emma memiliki kekasih, saya pasti sudah laporan pada Anda." Raven kini bertambah bingung. Akan lebih mudah jika ia tahu siapa pria itu. "Kamu yakin, Erik? Aku nggak mau ada skandal, tapi ini sudah terjadi. Bagaimana menurutmu? Aku harus bagaimana?" Erik tampak berpikir sejenak. Ia tahu tujuan awal Raven untuk menikahi Emma adalah membalas dendam. Namun, lambat laun ia tahu bahwa yang diinginkan Raven hanyalah cinta Emma. Dan sekarang, belum apa-apa Emma sudah menghancurkan hati Raven. Terlihat sekali raut kecewa sekaligus bingung di wajah Raven saat ini. "Saya rasa, jika kehamilan nona Emma diketahui oleh publik itu akan bagus. Anda sudah cukup lama terkenal sebagai seorang pria dengan tipe ayah ideal. Jika Anda memiliki seorang bayi, itu akan membuat publik semakin yakin dengan predikat itu," kata Erik yang menyuarakan pendapatnya. "Publik akan menyukainya." "Tapi itu bukan anakku, Erik! Aku harus mengakui anak itu?" tanya Raven dengan nada tak terima. "Saya tidak bilang seperti itu. Ini hanya untuk pencitraan, Tuan. Maksud saya adalah, Anda bisa memanfaatkan kehamilan nona Emma untuk menambah citra baik Anda dan perusahaan," kata Erik. "Masalah siapa ayah kandung bayi itu, itu bisa dirahasiakan. Anda bisa melayangkan gugatan cerai pada nona Emma kapan saja jika benar itu bukan bayi Anda." "Tapi ...." Raven tidak melanjutkan kata-katanya. Ia tak ingin menceraikan Emma. Tak akan pernah, batinnya. Ia terdiam selama beberapa detik dengan kedua mata tertuju pada Emma. "Kamu yakin ini baik? Memberitahu publik bahwa istriku sedang hamil?" "Kita tidak perlu memberitahu publik cepat-cepat. Karena beberapa orang melihat Anda masuk ke rumah sakit ini, mereka sudah memiliki spekulasi sendiri. Saya yakin berita kehamilan nona Emma akan segera menjamur tanpa kita perlu bersusah payah. Anda bahkan tidak hadir di acara penghargaan tahunan," kata Erik meyakinkan. "Bagaimana acara penghargaan itu?" tanya Raven mencoba mengalihkan obrolan. "Dua film produksi kita mendapatkan penghargaan terbaik, tiga aktor dan dua aktris kita mendapatkan penghargaan juga. Itu bagus, Tuan," jawab Erik. Raven mengangguk. Ia agak kecewa karena tak bisa hadir secara langsung. Apalagi tadinya ia akan hadir bersama dengan Emma. Namun, karena Emma sakit, semuanya menjadi berantakan. Ketidakhadirannya di acara tersebut pasti sudah mengundang tanya banyak orang. Kepala Raven rasanya mau pecah sekarang. "Aku akan mempertimbangkan saranmu, Erik. Kamu bisa keluar. Aku harus menunggu Emma hingga sadar. Kuharap, dia mau buka mulut." *** Hampir sepanjang malam, Raven menemani Emma yang terlelap. Dokter berkata, Emma tidak boleh banyak bergerak. Emma harus lebih banyak di atas tempat tidur. Emma tidak boleh menjalani aktivitas seksual seperti sebelumnya. Padahal, mereka belum melakukan apapun! Memikirkan itu membuat Raven merasa benar-benar bodoh. Namun, jika ia sudah melakukan hubungan dengan Emma dan tiba-tiba Emma hamil begini, ia pasti akan mengira bayi dalam kandungan Emma adalah bayinya. Ia mungkin akan merasa sangat bahagia alih-alih bingung seperti sekarang. "Emma?" Raven terkesiap ketika merasakan gerakan lembut tangan kecil Emma. "Kamu udah bangun?" Emma mengernyit, lalu tak lama ia pun membuka mata. Butuh beberapa detik bagi Emma untuk menyadari situasinya. Tadinya ia sedang bersiap untuk pergi dengan Raven, lalu perutnya sakit dan ia pendarahan, lalu Raven membawanya ke rumah sakit dan Raven tahu ia sedang hamil. Emma berdebar keras sekarang, ia harus menghadapi reaksi Raven padanya. Namun, tunggu! Bukannya ia keguguran? "Emma, apakah ada yang sakit?" tanya Raven lagi. Emma menggeleng pelan. Ia mencoba duduk, tetapi kedua bahunya ditahan oleh Raven. "Aku nggak papa, Raven." "Dokter memintamu untuk lebih banyak berbaring," kata Raven menjelaskan. Ia mengatur posisi tempat tidur Emma agar bisa sedikit tegak. "Kamu tidak boleh banyak bergerak atau kami bisa pendarahan lagi." Kedua mata Emma bergetar mendengar ucapan Raven. Jadi, bayi itu tidak meninggalkan tubuhnya? Padahal, mungkin akan lebih baik seperti itu. "Raven ... maafin ku," ujar Emma lirih. Ia tak tahu apakah meminta maaf cukup baginya. Ia juga tak tahu apakah ia memang perlu meminta maaf pada Raven. Bukankah Raven tidak mencintainya? Raven hanya peduli dengan reputasinya. "Siapa ayahnya?" tanya Raven. Emma hanya terdiam di depannya. "Katakan, Emma, siapa yang menghamili kamu!" Emma menggeleng. "Kamu nggak tahu?" Emma menggeleng lagi. Nyalinya menciut seketika karena nada mencela yang dilayangkan oleh Raven barusan. "Aku nggak bohong, Raven. Aku nggak tahu siapa pria itu. Aku mabuk. Dan ketika bangun tidur, aku ada di kamar hotel." Kedua alis mata Raven terangkat. "Kamu melakukan itu ... hanya sekali dan kamu hamil?" "Aku kira itu bukan apa-apa. Pas aku bangun, aku masih berpakaian dan nggak ada tanda-tanda kami ... pokoknya aku kira aku tak akan hamil, Raven. Aku bersumpah. Aku nggak bohong. Aku baru tahu aku hamil dua minggu yang lalu," tutur Emma. "Dan kamu menyembunyikan semua ini dariku," tukas Raven. Ia teringat ketika Emma mengeluh sakit. Apakah waktu itu Emma baru tahu ia sedang berbadan dua? "Kamu benci sama aku. Aku tahu kamu bakalan lebih benci kalau kamu tahu aku hamil dengan pria lain. Aku udah nyoba cari siapa pria itu, Raven. Tapi aku nggak menemukan petunjuk," ujar Emma. Raven tertegun. Emma masih berpikir bahwa ia membencinya. Ia pun terdiam dengan napas naik turun. Hanya karena ia sering berkata bahwa ia berniat balas dendam dengan pernikahan ini, Emma pasti berpikir seperti itu. Seharusnya, itu menggemaskan, tetapi sekarang rasanya tidak. "Raven, apa kamu akan menceraikan aku?" tanya Emma di sela-sela keheningan mereka. Raven tersenyum miring hingga ia membuat Emma merasa gentar. Di benak gadis itu muncul banyak spekulasi. Barangkali Raven akan memintanya menggugurkan kandungan. Barangkali Raven akan semakin menyiksa batinnya karena ia sudah bermain di belakangnya. "Aku nggak akan menceraikan kamu," jawab Raven mengagetkan Emma. "Apa? Jadi ... jadi kamu akan menerima bayi ini?" Kedua mata Emma yang bergetar kini mulai basah. "Aku nggak bilang begitu. Aku bilang ... aku nggak akan menceraikan kamu. Tapi, kita juga harus menemukan pria yang menghamili kamu. Bayi itu membutuhkan sosok ayah kandungnya," ujar Raven. "Tapi ... bagaimana? Dia hanya pria asing," ucap Emma lemah. "Apa kamu nggak inget apapun tentang dia. Namanya atau wajahnya? Tak mungkin dia pergi begitu saja tanpa meninggalkan apapun," kata Raven dengan nada menuntut. Emma terdiam dan tampak berpikir. "Dia tampan, tapi aku nggak begitu ingat wajahnya. Aku benar-benar mabuk. Dan namanya, dia bilang namanya adalah Jax. Aku tak tahu dia meninggalkan sesuatu atau tidak. Ketika bangun, aku dibuat buru-buru karena kita janjian sarapan bersama di hotel itu," kata Emma yang mengingat-ingat kejadian itu. Raven mengangguk paham. "Jadi, karena itu tubuh kamu beraroma lain. Aku masih ingat. Kamu baru saja bercinta dengan pria itu." Emma mendadak malu. Raven bahkan bisa mengendus aroma tubuhnya. "Maafin aku, Raven. Itu tidak sengaja." "Aku mengerti, Emma. Aku mengenal kamu dengan baik dan kamu ... memang sering menghabiskan malam dengan pacarmu. Tapi sekarang, kamu sudah menikah. Kamu menikah dengan publik figur, Emma. Untuk sementara, kamu harus berpura-pura bahwa kamu hamil setelah kita menikah. Kamu paham?" "Maksud kamu ... kamu ingin kita bersandiwara bahwa aku sedang mengandung bayi kamu?" tanya Emma. Raven mengangguk. "Bukannya kamu bilang pernikahan kita hanya pertunjukan. Mari kita buat pertunjukan selanjutnya. Aku akan mengaku di depan publik bahwa istri aku sedang hamil anak pertamaku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN