10. Mertua Bahagia

1549 Kata
Kepala Emma berputar keras. Pertunjukan pernikahan saja sudah melelahkan. Sekarang, ia harus berpura-pura lagi. Bukankah harusnya ia merasa senang dan lega karena Raven mau mengakui bayinya padahal mereka belum melakukan hubungan seks sama sekali? Namun, Emma menebak Raven memiliki niat yang lain. Ia tak tahu pasti apa, tetapi hatinya berkata seperti itu. "Kenapa kamu melakukan ini, Raven? Kenapa kamu mau mengakuinya?" tanya Emma. "Udah aku bilang. Itu hanya untuk pertunjukan publik, Emma. Orang-orang akan suka jika keluarga kita terlihat bahagia. Ini hanya untuk konsumsi publik, aku yakin kamu mengerti," kata Raven. Yah, sekali lagi hanya demi reputasi Raven dan perusahaannya. "Jadi, bagaimana jika nanti bayinya lahir?" "Bukankah itu masih lama? Kamu harus menemukan siapa ayah kandungnya! Itulah yang aku lakukan. Aku memberi kamu waktu," kata Raven. Emma mengangguk. Yah, ia memang perlu menemukan pria itu. Ia juga penasaran. Berpura-pura di depan publik mungkin tidak begitu berat, pikir Emma, tetapi jika ia harus berpura-pura di depan orang tua dan mertuanya. Emma merasa ini adalah beban yang luar biasa. Ia akan mengecewakan semua orang. "Beristirahatlah lagi, Emma. Kamu nggak boleh terlalu stres juga," kata Raven yang melihat Emma hanya melamun. Ia kembali mengatur posisi ranjang agar Emma bisa berbaring sempurna. "Ini masih dini hari dan sebaiknya kamu tidur lagi." Emma memperhatikan bagaimana Raven menarik selimutnya lebih rapat. Ia berdebar sekaligus ngeri karena aksi baik Raven. Ia baru bisa membuang napas panjang ketika Raven kembali duduk. Ia menatap kedua mata Raven yang merah dan berkantung. Apakah Raven tidak tidur semalaman? Emma tak bisa berlama-lama menatap wajah tampan Raven yang penuh dengan misteri itu. Ia segera memejamkan matanya. Raven mungkin mencemaskan citra baik perusahaannya semalam suntuk. Ia hanya akan membuat berita negatif jika ketahuan hamil dengan pria asing. Yah, Raven memutuskan untuk mengakui kandungannya karena tak ingin reputasinya hancur. Emma yakin sepertinya begitu. "Kamu juga harus tidur, Raven," kata Emma yang baru saja membuka matanya kembali. "Aku nggak ngantuk. Kamu tidur aja," kata Raven. *** Sementara itu, di tempat lain, Asri dan Sadewo baru saja tiba di rumah Raven. Mertua Emma itu berniat untuk memberikan selamat pada Raven atas penghargaan yang diterimanya tadi malam sekaligus mencari tahu kenapa putranya tidak datang di acara sepenting itu. "Selamat pagi, Nyonya, Tuan," sapa Tum, kepala pelayan di sana. "Ya. Mana Raven dan Emma? Kami ingin sarapan bersama di sini," ujar Asri. Tum mengerjap, ia mengira Raven sudah memberitahu bahwa Emma ada di rumah sakit. Namun, nyatanya Raven sedang dipusingkan dengan kehamilan Emma yang mendadak. Jadi, Raven sengaja belum memberitahu orang tuanya. "Ehm, sebenarnya tadi malam tuan Raven buru-buru membawa nona Emma ke rumah sakit," ucap Tum. "Apa?" Asri dan Sadewo yang sangat menyukai Emma tentu kaget karena mendengar menantu mereka sakit. "Apa yang terjadi pada Emma?" tanya Sadewo cepat. "Saya kurang tahu, tapi nona Emma sakit perut. Tuan Raven hanya berkata bahwa nona Emma pendarahan," jawab Tum yang juga tak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi. Asri dan Sadewo saling menatap. "Apa Emma sudah hamil?" Sadewo tersenyum penuh harap. "Apa itu benar, Mbok?" Asri tampak terharu menatap asisten rumah tangga Raven. "Maaf, saya kurang tahu. Tuan Raven langsung pergi semalam tanpa bicara apapun. Sepertinya kondisi nona Emma darurat," kata Tum. Asri dan Sadewo baru saja kehilangan senyum mereka. Karena mendengar kata darurat dan pendarahan, mereka juga cemas. "Kita ke rumah sakit sekarang, Ma. Di mana Emma dirawat?" Tum memberikan gelengan kepala pada kedua orang tua Raven. Sadewo tak menuntut. Ia segera mengajak Asri keluar rumah lalu masuk ke mobil. "Jalan, Pak!" perintah Sadewo pada Ikhsan, sopir pribadinya. "Coba Mama telepon Raven. Tanya di mana Emma dirawat dan bagaimana kondisinya. Jangan sampai Emma mengalami keguguran. Papa khawatir." "Bentar, Pa. Ini aku coba telepon Raven," kata Asri. Beberapa kali Asri mencoba menelepon Raven, sayangnya pria itu tak menjawab. "Raven nggak aktif kayaknya, Pa. Ini nggak dijawab. Apa dia nggak bawa ponsel?" "Erik! Pasti Erik tahu." Asri mengangguk. Ia segera mencari kontak Erik dan menelepon asisten Raven. "Halo, Erik." "Halo, Nyonya. Ada masalah apa?" tanya Erik di seberang. "Katakan, di mana Emma dirawat sekarang? Kami dari rumah Raven, tapi katanya Emma sakit " kata Asri. "Nona Emma di bangsal VVIP Flamboyan 1, Rumah Sakit Harapan Medika, Nyonya," jawab Erik. Asri segera memberitahu Ikhsan agar sopirnya membawa mereka ke rumah sakit tersebut. "Emma sakit apa? Kenapa mendadak? Kata mbok Tum, Emma pendarahan. Apa Emma sedang hamil?" "Tuan Raven belum bicara dengan Nyonya?" tanya Erik. Asri mendengkus. Ia butuh jawaban alih-alih pertanyaan balasan. "Raven tidak menjawab telepon kami. Katakan saja, apa Emma dan bayinya baik-baik saja?" "Ya, semua baik-baik saja. Nona Emma hanya butuh istirahat di tempat tidur," jawab Erik. Asri menutup bibirnya karena gejolak riang mengisi hatinya. Menantunya hamil secepat ini. Tentu saja ia begitu bahagia. "Terima kasih, Erik. Kembalilah bekerja!" "Bagaimana, Ma? Emma benar-benar hamil?" tanya Sadewo tak sabar. Asri mengangguk. "Sepertinya begitu, Pa. Tapi ... Emma harus banyak istirahat. Sepertinya itu hanya pendarahan ringan." "Alhamdulillah. Papa senang kalau Emma sudah mengandung cucu kita. Papa nggak sabar buat ketemu Emma!" *** Ketika tiba di rumah sakit, Asri dan Sadewo malah berdebat singkat karena mereka tidak membawa buah tangan untuk Emma. Karena terburu-buru ingin menjenguk menantunya itu, mereka sama-sama lupa. "Udah, nggak papa. Yang penting kita lihat dulu bagaimana kondisi Emma," kata Asri. Sadewo mengangguk. Dengan hati-hati pria itu membuka pintu kamar Emma. Ia tersenyum lebar begitu melihat di atas ranjang ada Emma yang terlihat kaget dengan kemunculannya bersama Asri. "Oh ... Mama, Papa." Emma mencoba untuk duduk. "Tiduran saja," desak Asri. "Bukannya dokter meminta kamu untuk tidak banyak bergerak." Emma mengangguk. Ia merasakannya tatapan haru kedua mertuanya. Asri bahkan menyentuh bahunya dengan lembut sebelum duduk di kursi pembesuk. "Emma, kami dengar kamu hamil," kata Asri tak sabar. Emma menatap mereka dengan rasa bersalah. Pada Raven, ia sudah merasa bersalah. Dan kini, kedua orang tua Raven pasti mengira ia sedang mengandung cucu mereka. Itu menyiksa sanubari Emma. Padahal, Raven memintanya untuk berpura-pura. "Selamat, Emma. Kamu baik-baik saja? Bayinya juga?" tanya Sadewo. "Ya. Semuanya baik. Aku kira janinnya nggak selamat, tapi dia baik-baik saja," jawab Emma. "Kamu harus bersyukur. Kandungan yang masih muda memang sangat rentan. Jangan sampai kelelahan," kata Asri seraya meraih tangan Emma. Emma hampir menangis karena melihat mertua yang meneteskan air mata lebih dulu. "Kamu tahu, Emma. Kami butuh waktu hampir 10 tahun untuk memiliki Raven. Jadi, kamu bisa hamil secepat ini rasanya seperti sebuah keajaiban. Kami ikut senang. Kami bersyukur. Kami ... kami akan doakan yang terbaik untuk kamu dan bayi kamu. Raven pasti sangat bahagia bisa memiliki bayi dengan kamu." Air mata Emma meluruh seketika meskipun ia sudah menahannya. Ia bersalah. Ia berdosa karena berbohong pada wanita tulus di depannya. "Betul, Emma. Kamu harus banyak istirahat. Kamu nggak boleh capek dan stres," tambah Sadewo. "Kami sangat senang kamu bisa hamil begitu cepat. Kami minta tolong sama kamu, jaga baik-baik kandungan kamu. Jaga cucu kami. Oke?" Emma mengusap pipinya lalu mengangguk pelan. "Makasih, Ma, Pa." "Jangan nangis. Ibu hamil nggak boleh nangis gini dong. Kamu harus banyak tersenyum," kata Asri. Wanita itu menoleh ke atas nakas. "Kamu sudah sarapan?" "Udah. Tapi, tadi Raven keluar sebentar mau beli jeruk. Aku ... aku tiba-tiba pengen jeruk," kata Emma ragu-ragu. Rasanya, Emma begitu tak enak pada Raven. Pria itu menemaninya semalaman suntuk. Dan ketika ia makan sarapannya dengan tak berselera, Raven bertanya padanya apakah ia ingin sesuatu. Dan Emma tak punya pilihan lain karena benaknya sudah membayangkan buah jeruk yang begitu segar. "Itu wajar, namanya wanita hamil pasti menginginkan hal-hal khusus," kata Sadewo. "Waktu Mama hamil Raven ... Mama juga sangat suka makan jeruk. Barangkali, bayi kamu nantinya juga laki-laki seperti Raven," kata Asri dengan nada penuh harap. Emma tersenyum getir. Bayinya tak akan mirip dengan Raven karena tak mewarisi gen Raven sama sekali. Itu membuatnya merasa gelisah. Ia paling takut jika harus berdusta seperti ini. Jika suatu hari kebohongan ini akan terkuak, ia dalam masalah besar. "Kamu beritahu saja Raven, jika kamu ingin makan sesuatu. Seorang suami harus menuruti apa yang diinginkan istrinya ketika hamil," kata Sadewo menambahkan. Asri dan Sadewo terus bicara pada Emma. Mereka mendoakan hal-hal baik untuk Emma dan kandungannya. Sesekali mereka juga menceritakan tentang Raven sewaktu masih dalam kandungan. Terlihat sekali bahwa mereka berdua sangat bahagia atas kehamilan Emma. Mereka tak sadar bahwa Raven sudah berdiri di ambang pintu, sayangnya Raven memilih untuk segera menutup pintu lalu berjalan menuju rooftop. Ia tak bisa begini. Ia butuh udara segar. Karena sama seperti Emma, ia juga merasa berat sudah berbohong pada orang tuanya. Raven menaiki anak tangga kecil yang membawanya ke rooftop rumah sakit. Ia mengedarkan matanya hingga tiba-tiba ia melihat sosok yang tak asing. "Kalisa!" panggilnya pada seorang wanita yang berdiri di pagar pembatas. Ia berlari, mendekati Kalisa yang kaget dengan kemunculan Raven. "Kenapa kamu di sini? Kaki kamu udah sembuh?" "Udah dong. Berkat kamu yang ngerawat aku," ujar Kalisa yang begitu sering bertemu dengan Raven usai kecelakaannya. Raven begitu cerewet padanya agar ia menjalani pengobatan dan terapi pasca operasi. "Alhamdulillah, kamu sahabat terbaik aku. Aku nggak akan suka kalau kamu sakit," tukas Raven. Kalisa tersenyum kecut. Raven selalu menganggapnya sebagai seorang sahabat dekat. Tidak pernah lebih. "Aku nunggu jadwal terapi terakhir hari ini, makanya nongkrong di sini dulu. Apa yang kamu lakukan, Raven?" Raven membuang napas panjang. "Emma sakit, dia pendarahan tadi malam. Tapi beruntung, janinnya selamat." Kalisa terkesiap. "Emma ... Emma udah hamil? Bukannya kamu bilang ... kamu nggak pernah tidur sama dia?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN