Kiren menatap Okin tak percaya. Ia mengerjapkan matanya 2 kali berharap pria itu hanya bercanda.
"Kak, aku serius," ucap Okin.
"Kamu gila, Okin!" Kiren menggelengkan kepalanya.
"Aku ga gila Kak. Aku serius dengan apa yang aku ucapkan."
"Kamu berpikir aku bisa dengan mudah gonta-ganti laki-laki gitu! Kamu sama aja berpikir aku murahan."
Kiren pergi meninggalkan Okin, ia kecewa pada dirinya sendiri. Masa lalu yang dengan mudah menyerahkan diri pada Tian dan Fabian sekarang menghantuinya. Malah adik sahabatnya berbuat sama seperti pria-pria yang lainnya.
Okin sangat terkejut dengan reaksi Kiren. Berkali-kali ia memanggil bahkan mengejarnya, tapi wanita berusia 3 tahun lebih tua darinya tak sekalipun mengindahkannya. Sekarang, Kiren pergi entah ke mana.
"Apa Kiren berpikir aku sama kayak laki-laki yang memanfaatkannya ya," ucap Okin merasa bersalah sendiri.
Okin mencintai Kiren meskipun tahu kalau wanita itu kemungkinan besar sama sekali tak pernah mencintainya.
"Aku ga boleh menyerah! Aku harus mendapatkan Kak Kiren. Kapan lagi ada peluang seperti saat ini." Okin menyemangati dirinya sendiri.
Di saat Okin sibuk menyemangati dirinya sendiri untuk tidak menyerah mendapatkan wanita yang dicintainya. Malah Kiren yang sudah sampai di apartemennya tak percaya bisa ada pria yang mau mendekatinya setelah tahu tentang keadaannya yang sudah tak sempurna lagi.
"Kayaknya Okin cuman iseng-iseng aja deh. Ga mungkin dia suka sama aku," ucapnya mencoba menyangkal semua kebenaran yang ada.
Dering telepon genggam Kiren berbunyi, ia melihat nama Fabian tertera di layar ponsel.
"Ngapain lagi Bian telepon aku," ucapnya sambil mengernyitkan dahinya. "Angkat ga ya."
Kiren bimbang. Mau kayak apapun ia masih memiliki perasaan pada Fabian. Meskipun, Fabian tidak bisa bersikap tegas memilih dirinya atau Aurel, tapi ada sesuatu tentang hubungannya dengan Fabian yang tak bisa dijelaskan.
Dengan menghela napasnya, Kiren menjawab telepon dari Fabian.
"Halo Bian, ada apa?" sapa Kiren dibalik telepon dengan suara datar.
"Kenapa kamu berubah Ren?" tanya Fabian.
"Kalau ga ada yang penting aku tutup."
"Ren, please jangan kamu tutup."
"Lalu apa maumu?"
Kening Kiren berkerut untuk sesaat tak mendengar suara Fabian. Laki-laki itu mulai berprilaku aneh.
"Aku tutup teleponnya." Tanpa menunggu jawaban dari Fabian, Kiren langsung memutuskan komunikasi mereka.
Kiren menutup matanya dengan bersamaan secara perlahan menghela napas berat. Kenapa rasa sakit berpisah Fabian malah lebih sakit daripada berpisah dari Tian?
***
Sudah 2 minggu berlalu Okin dengan gigih berusaha mendekati Kiren di kantor. Awalnya Kiren merasa risih, tapi lambat laun mulai terbiasa. Malah Okin bisa membuatnya selalu tertawa lepas dibalik penatnya segala macam pekerjaannya.
Yang tidak Kiren ketahui sepasang mata tajam selalu memperhatikan kedekatannya dengan Okin. Netra coklat yang menatap dengan pandangan sedih dan tak berdaya. Bahkan, harus tetap berpura-pura tak merasakan apapun melihat senyuman wanita yang mencuri hatinya bahagia bersama pria lain.
Seperti saat ini hatinya terasa sakit melihat Kiren dan Okin tampak bahagia berdua. Ingin rasanya ia menarik lengan Kiren dan meminta dengan tegas untuk tidak tersenyum bahagia dengan pria selain dirinya, tapi lagi-lagi ia tak mampu melakukannya.
Kenapa sulit untuk merelakanmu, Ren? Aku ga sanggup melihatmu bahagia dengan pria lain. Fabian berkata dalam hatinya.
"Sayang nanti malam jadi kita nonton?" Aurel bertanya pada pemilik mata sendu tersebut.
"Iya." Fabian menjawab tanpa memalingkan pandangannya ke arah Kiren dan Okin.
Aurel memperhatikan arah tatapan Fabian. Ia mendapatkan ide untuk mengajak Kiren dan Okin nonton bersama mereka.
"Mereka pasangan yang cocok yaa, Bi," ucap Aurel.
"Cocok darimana? Apa kamu ga bisa melihat kalau mereka ga ada cocok-cocoknya sama sekali!" suara Fabian terdengar ketus.
Aurel tersentak, wajahnya terkejut mendengar nada suara Fabian yang berbeda, seperti pria yang cemburu. Fabian menyadari perubahan raut wajah Aurel.
"Kenapa kamu?" Aurel bertanya curiga pada Fabian.
"Kamu jangan salah paham dulu. Apa kamu ga melihat perbedaan usia Okin dan Kiren?" Fabian berusaha membuat Aurel tidak curiga.
"Ooh maksudmu, Okin brondong gitu."
"Iya."
Aurel terkekeh. "Ayolah Bi jangan kaku begitu. Okin ga bisa dibilang brondong hanya berbeda 3 tahun saja ga terlalu masalahlah, lagian Okin juga pria baik dan aku akan sangat senang kalau Okin bisa menggantikan Tian."
Fabian merangkul Aurel. "Sekarang sudah merasa sok pintar ya sekarang."
Aurel memajukan bibirnya. "Iya dong. Aku bukannya sok pintar, tapi memang pintar."
Fabian tersenyum menatap wajah kekasihnya. "Sudah kembali kerja jangan pacaran terus."
Aurel menggeleng kepalanya. "Aku mau kerja sambil pacaran."
"Ga boleh. Kerja yaa kerja, pacaran yaa pacaran."
"Ga apa-apa Bian ku sayang. Hanya di perusahaan ini yang memperbolehkan antar karyawannya berpacaran, perusahaan lain mana boleh."
"Terserah kamu lah, Rel. Mana bisa aku menang saat berdebat denganmu."
Aurel kembali terkekeh. Ia sangat senang kalau Fabian menuruti semua perkataannya. "Bi, gimana kalau nanti malam kita ngedate bareng."
Fabian mengerutkan dahinya. "Ngedate bareng? Bareng siapa?" tanyanya bingung.
"Itu pasangan terbaru." Aurel menunjuk ke arah Kiren dan Okin.
"Ga usah." Fabian dengan tegas menolak keinginan Aurel.
"Ayolah Bi, please…" Aurel memohon dan kembali Fabian menggelengkan kepalanya.
"Kalau kamu ga mau, kita ga usah nonton."
Fabian menghela napasnya. Lagi-lagi Aurel kembali melakukan paksaan dan marah jika keinginannya tak terpenuhi.
"Terserah," jawab Fabian kesal.
"Makasih Bi," ucap Aurel dengan semangat sambil mengecup pipi kekasihnya.
Aurel segera berlari kecil menghampiri Kiren dan Okin. Ia ingin mengajak mereka untuk nonton berduaan, akan tetapi mendapat penolakan dari Kiren.
"Ayolah Ren. Kapan lagi kita bisa nonton berempat." Aurel kembali merengek ke Kiren dan Kiren tetap tak ingin pergi menonton.
"Kak Aurel jangan kayak gitu," ucap Okin yang tahu kalau Kiren tak ingin nonton bersama.
"Udahlah Kin, kamu nurut aja napa sih."
"Kak, ini bukan masalah nurut atau gimana-gimana, tapi Kak Kiren kan ga mau pergi jadi jangan memaksa."
"Kamu tau apa sih! Bisa diam ga!"
Okin sebenarnya kesal dengan permintaan Aurel, tapi tak enak jika membantahnya. Kiren menolehkan kepalanya ke arah Fabian seakan mencari jawaban dengan kelakuan Aurel, tapi malah pria tersebut membuang mukanya.
"Ya sudah… kita pergi nonton," ucap Kiren yang tak ingin ada perdebatan antara Aurel dan Okin juga sangat kesal dengan Fabian yang tak memperdulikannya.
Menjelang malam Kiren, Okin, Aurel, dan Fabian pergi ke salah satu studio bioskop yang dekat dengan kantor mereka. Aurel menggandeng mesra lengan Fabian, sedangkan Kiren sangat kesal dan cemburu melihat pasangan tersebut.
Sial! Aku ga boleh kelihatan cemburu. Mending aku rangkul juga tangan Okin. Kiren berkata dalam hatinya.
Fabian sangat tidak nyaman dengan situasi ini. Di satu sisi Aurel selalu merangkul tangannya dan di sisi yang lain lirikan mata kesal terpancar dari tatapan Kiren, tapi sekarang malah ia jadi cemburu melihat Kiren merangkul lengan Okin.
"Aku beli tiket dulu yaa," ucap Aurel meninggalkan Fabian, Kiren, dan Okin.
"Kak Kiren mau beli popcorn atau cemilan lainnya?" tanya Okin.
"Iya boleh," jawab Kiren.
Setelah kepergian Aurel dan Okin tinggallah Fabian dan Kiren berduaan. Tak ada kata terucap dari bibir mereka hanya saling diam seperti orang yang tak saling kenal.
"Aku mau bicara denganmu," ucap Fabian membuka pembicaraan.
"Aku ga mau bicara denganmu," ujar Kiren membantah perkataan Fabian.
"Apa hubunganmu dengan Okin."
"Bukan urusanmu, urus saja urusanmu sendiri."
"Kamu sengaja membuatku cemburu ya."
Kiren terkekeh mengejek Fabian. "Buat apa membuatmu cemburu? Memang kita punya hubungan?" tanyanya meremehkan.
Emosi Fabian tersulut. Ia sangat kesal Kiren malah meremehkannya. "Kita ke parkiran! Aku ga mau bicara di sini."
"Ngapain ke parkiran? Memangnya kamu siapa memerintah aku?"
"Jangan keras kepala! Apa kamu mau aku menciummu dihadapan Aurel dan Okin."
"Jangan gila kamu, Bi! Aku akan membunuhmu kalau kamu melakukan itu."
"Aku ga peduli!"
Fabian mendekatkan kepalanya ke wajah Kiren. Laki-laki itu akan mencium bibir Kiren tanpa memperdulikan siapapun yang ada di sana.