Hidup ini memang tak adil. Itulah yang dirasakan Kiren. Ia sudah melakukan segala cara untuk membuat hidupnya bahagia. Latar belakang keluarganya juga bukan dari keluarga biasa, kondisi perekonomian yang mapan, wajahnya yang rupawan, tubuhnya yang proporsional, tapi hubungan asmaranya selalu saja bermasalah. Kenapa hidup ini seakan tidak pernah adil untuknya?
Setelah perdebatannya dengan Rio, Kiren memilih untuk ke kafe kopi di seberang gedung agensinya. Mungkin dengan menenangkan diri sejenak dan mengisi perutnya dengan makanan kecil bisa membuatnya lebih tenang dan bisa menguasai emosinya sendiri.
Udara sejuk dari pendingin ruangan dan aroma kopi serta roti yang baru saja matang membuatnya hatinya menjadi lebih baik. Ia memesan vanilla latte dan roti bakar coklat untuk menemaninya duduk di sisi kiri depan jendela kafe.
“Apa mungkin aku terlalu berlebihan sama Aurel,” ucapnya dengan suara menyesal.
Tarikan napas berat ia hembuskan. Seharusnya, ia tidak mencampur adukkan hubungan pribadi dengan pekerjaan. Ia sebenarnya tahu kalau Aurel begitu memperhatikannya, dulu sewaktu ia masuk rumah sakit Aurel lah yang paling bersedih bahkan sahabatnya itu menangis seharian dan menyalahkan dirinya sendiri.
“Tapi… hatiku tak ingin berbagi apapun dengan Aurel. Aku…” Kiren menatap jendela kafe dengan nanar.
Sementara itu Fabian menenangkan Aurel yang masih menangis sambil menyalahkan dirinya sendiri. Sudah berbagai macam cara ia lakukan agar Aurel tenang dan tidak selalu merasa yang paling bersalah.
“Bi, aku yang salah. Aku terlalu memaksakan Kiren untuk ikut makan siang sama aku.” Aurel masih menyalahkan dirinya sendiri.
“Sudahlah Rel. Jangan terlalu diambil hati perkataan Kiren. Mungkin dia lagi stress dengan kerjaan,” ucap Fabian membelai lembut punggung kekasihnya.
“Aku ga mau nanti Kiren sakit lagi. Dia hanya terlihat di luar saja kuat, tapi hatinya hancur Bi. Aku khawatir kalau Kiren terlalu sibuk kerja yang ada masuk rumah sakit lagi. Aku takut kehilangan Kiren hanya dia sahabatku yang selalu ada untukku, Bi.” Aurel menggelengkan kepalanya perlahan.
Fabian hanya bisa menghela napasnya. Ia tak sanggup lagi berkata-kata dan ia sangat tahu kalau Aurel begitu perhatian, peduli, bahkan sayang ke Kiren. Kedua orang tua Aurel telah meninggal karena kecelakaan dan Kiren lah yang dulu menemani kekasihnya. Kiren yang menguatkan Aurel dan bisa menghadapi kenyataan. Seandainya, Aurel tahu apa yang telah dilakukannya dengan Kiren belum tentu Aurel akan bersikap seperti saat ini.
Office boy membawa keluar berkas-berkas yang telah kena kopi keluar ruangan Kiren. Aurel melihat itu langsung beranjak dari kursinya dan mengambilnya.
“Rel, apa yang kamu lakukan?” Fabian melihat Aurel heran.
“Aku harus bisa membersihkan semua ini supaya Kiren ga marah lagi,” ucap Aurel mencari berkas-berkas yang sudah kotor itu.
“Rel, ga usah seperti itu. Aku akan bantu kamu untuk ngeprint lagi dan menaruhnya di meja Kiren,” ujar Rio yang baru tiba.
“Benarkah?” Aurel menatap Rio dengan tak percaya. “Tolong Rio, tolong bantu aku. Aku ga mau Kiren memaafkan aku dan marah lagi sama aku. Please…”
Rio menganggukan kepalanya. Ia akan membantu Aurel dan Kiren untuk berbaikan lagi. Aurel sangat bersemangat membantu Rio dalam mengerjakan semuanya demi mendapatkan maaf dari Kiren. Fabian melihat itu semua dengan sangat kesal, hanya masalah berkas-berkas saja Kiren bersikap di luar kendali. Ada apa dengan wanita itu?
1 jam sudah berlalu Aurel menatap semua tumpukan berkas-berkas baru dengan lega. Akhirnya, ia bisa membuat semuanya menjadi lebih baik dan pastinya Kiren tidak akan marah lagi padanya.
“Rio, kamu tau di mana Kiren?” tanya Aurel.
“Mungkin pulang. Aku juga ga tau di mana dia,” ucap Rio.
“Apa Kiren sudah makan belum ya.” Aurel masih saja memikirkan kesehatan Kiren.
Aurel keluar dari ruangan Kiren menuju ruangan Fabian yang terlihat sibuk dengan pekerjaan juga. Laki-laki itu sedang sibuk menatap layar komputer menyiapkan semua berkas-berkas yang harus ia bawa besok ke luar kota. Ia akan menemui klien di sana.
“Bi, kamu bisa cari Kiren. Aku khawatir dia sakit,” ucap Aurel.
“Sebentar yaa Rel. Aku masih banyak kerjaan,” ujar Fabian yang hanya menoleh Aurel sekilas.
“Ayolah Bi. Ini cuman sebentar aja kok nanti kamu bisa melanjutkan lagi. Aku takut Kiren sakit kalau belum makan siang apalagi sekarang sudah jam 14.00 lebih.”
“Sebentar lagi Rel.”
“Aku ga mau ada kata sebentar lagi, tapi aku mau nya sekarang Bi.”
Aurel terus merengek manja memaksa Fabian untuk mencari Kiren. Tentu saja hal tersebut membuatnya sangat kesal ditambah Aurel menggoyang-goyang tubuhnya membuatnya tak bisa berkonsentrasi menatap layar monitor. Ia jadi mengerti kenapa Kiren begitu kesal pada Aurel.
Mau tak mau Fabian harus menunda semua pekerjaannya daripada Aurel akan terus menerus merengek manja mengganggunya. Terkadang ia tak suka dengan sifat Aurel yang suka memaksakan keinginannya, tapi ia tidak tega sendiri kalau kekasihnya itu menjadi sedih dan menyalahkan dirinya sendiri.
“Iya. Kamu juga harus makan dulu kalau kamu juga ga makan. Aku ga mau pergi mencari Kiren,” ucap Fabian.
“Iya aku akan akan, tapi janji setelah aku makan kamu cari Kiren,” ujar Aurel.
“Iya.”
Fabian memanggil Office Boy untuk membelikan Aurel makan siang. Ia akan menemani kekasihnya makan dulu baru akan mencari Kiren, tapi Aurel malah tidak mau makan kalau ia tidak mencari Kiren. Dengan helaan napas ia pun menuruti keinginan wanita yang dicintainya.
Fabian sangat tahu ke mana Kiren. Kiren selalu saja bersantai di kofi seberang gedung agensi. Ia segera menuju ke sana untuk membujuk Kiren agar wanita itu mau memaafkan Aurel. Begitu tiba di depan pintu cafe ia sangat kesal melihat Kiren sedang tertawa bersama seorang pria.
“Siapa yang sama Kiren?” tanyanya dengan nada cemburu sambil berjalan mendekati Kiren.
Kiren tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon dari Kenzi, temannya 1 universitas dulu. Pertemuannya dengan Kenzi juga tidak di sengaja, lelaki itu sedang membutuhkan agensi periklanan untuk membantu mempromosikan krim perawatan wajah milik perusahaannya.
Tentu saja kesempatan itu tak di sia-siakan oleh Kiren. Semua pekerjaan akan ia lakukan untuk menyibukan dirinya sendiri dari berbagai macam masalah hidupnya.
“Lagi ngapain kamu, Ren?” tanya Fabian yang menatap Kiren tajam.
“Eh, Bian ngapain kamu di sini?” Kiren balik bertanya ke Fabian. “Ooh iya, Ken perkenalkan ini Fabian Valentino, bagian marketing agensi periklanan kami dan ini Kenzi Wijaya teman aku kuliah dulu.” Fabian bersalaman dengan Kenzi.
“Ken, kamu masih ingat Aurel?” tanya Kiren.
“Aurel… Aurel mana yaa. Yang aku ingat itu cuman kamu,” ucap Kenzi menggoda Kiren.
“Hahaha… kamu bisa aja sih Ken. Itu Aurel Yunita yang dulu sering bareng aku, yang rambutnya pendek.”
Kenzi mencoba mengingat-ingat Aurel dan langsung berkata, “ooh iya, Aurel yang kecil, rambutnya pendek itu kan. Yang suka bareng kamu ke mana-mana.”
“Nah, itu inget. Ini si Fabian, pacarnya Aurel.”
“Owalah ternyata dunia ini berputar-putar di situ-situ aja yaa.”
Kiren dan Kenzi tertawa lagi berdua tanpa memperdulikan adanya Fabian yang sedang menatap mereka dengan wajah memerah. Fabian sama sekali tidak suka kalau wanitanya, Kiren malah asyik bercengkrama dengan pria lain selain dirinya.